Conte dan Zidane: Mengharumkan Italia, Mengharumkan Juventus

13 Juni 2017 19:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Zidane mengangkat trofi Liga Champions. (Foto: Eddie Keogh/Reuters )
zoom-in-whitePerbesar
Zidane mengangkat trofi Liga Champions. (Foto: Eddie Keogh/Reuters )
ADVERTISEMENT
Ajax Amsterdam boleh dibilang menjadi akademi nomor satu di dunia dengan para pemain bintang yang dicetaknya. Disusul dengan La Masia yang juga terbukti ampuh dalam mencetak bakat muda. Tapi tak ada yang sesukses Juventus dalam menelurkan seorang pelatih papan atas.
ADVERTISEMENT
Well, setidaknya untuk saat ini. Ada dua mantan penggawa mereka menjadi allenatore yang sukses bersama tim yang bukan berasal dari Serie A. Dua nama itu adalah Zinedine Zidane dan Antonio Conte. Sudah bikin bangga Juventus, bikin bangga Serie A juga. Sebab, hey… di mana keduanya mulai mendapatkan nama kalau bukan di Serie A?
Zidane berhasil meraih trofi "Si Kuping Besar” Liga Champions bersama Real Madrid dalam dua musim beruntun. Hebatnya, ia merupakan pelatih pertama yang meraihnya dalam dua musim beruntun sejak turnamen tersebut berformat Liga Champions. Tak hanya itu, pelatih berkepala pelontos itu juga sukses membuat Barcelona patah hati saat menjuarai La Liga 2016/2017.
ADVERTISEMENT
Satu catatan menterengnya adalah produktivitas yang disuguhkan Madrid. Di ajang Liga Champions saja, Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan berhasil menyarangkan 36 gol, jauh lebih banyak ketimbang Juventus —lawan yang ditundukkan El Real di final— yang hanya melesakkan 22 gol.
Kekuatan terbesar Zidane adalah kejeliannya dalam memanfaatkan kelemahan lawan dan memaksimalkan potensi pemainnya. Salah satu buktinya adalah keberhasilan ayah dari Enzo Zidane itu membongkar pertahanan kokoh Juventus di partai puncak Liga Champions.
Zidane pada laga melawan Bayern Muenchen. (Foto: Sergio Perez/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Zidane pada laga melawan Bayern Muenchen. (Foto: Sergio Perez/Reuters)
Pada 45 menit pertama,"Si Nyonya Tua" tampil dominan dan membuat Los Blancos tertekan. Akan tetapi di babak kedua Zidane menginstruksikan Isco sebagai playmaker yang kemudian membuat permainan Ronaldo, Toni Kroos, dan Luka Modric makin berkembang. Alhasil tiga gol tambahan berhasil disarangkan oleh Madrid sekaligus mengakhiri laga dengan skor telak 4-1.
ADVERTISEMENT
Sementara itu Conte memang belum mencapai taraf Liga Champions, akan tetapi dirinya berhasil menjadi pelatih Italia ketiga yang berhasil merengkuh trofi Premier League. Misi yang tentu tak mudah.
Karakteristik permainan Inggris yang cenderung direct dan mengandalkan fisik berbeda dengan Italia yang amat taktikal. Ini adalah sebuah perbedaan fundamental. Kendati begitu, Conte berhasil beradaptasi dengan baik. Darah kental Italia yang ada di dalam tubuh Conte bekerja secara natural; ia harus bisa mencari taktik yang pas untuk situasi yang dihadapi.
Terlebih, Conte adalah lulusan Coverciano. Kawah candradimuka para pelatih Italia itu mengajarkan keterbukaan, bukan hal-hal saklek. Taktik dan gaya main tidak mesti cuma satu saja.
ADVERTISEMENT
Conte bisa saja seperti Pep Guardiola yang moncer di awal tapi tercecer di akhir. Seperti diketahui, pelatih yang sukses merengkuh enam gelar dalam semusim bersama Barcelona itu telah mengibarkan bendera putih jauh sebelum berakhirnya Premier League 2016/2017. Padahal langkah Guardiola di awal musim cukup meyakinkan dengan menyapu bersih enam laga pertama. Namun, buruknya proses adaptasi taktik jadi salah satu alasan kegagalan Guardiola dalam menaklukkan Inggris. Bahkan edisi 2016/2017 lalu jadi musim terburuk dalam kariernya sebagai manajer.
Ya, kecermatan dalam menerapkan taktik jadi hal yang mendasar di sini. Jika menilik dari segi gelar, Zidane memang lebih sukses ketimbang Conte karena berhasil memboyong titel Liga Champions dan La Liga. Akan tetapi dari kemampuan adaptasi, Conte lebih unggul. Dia baru mengenal sepak bola Inggris di saat itu juga dan belum pernah mencicipi atmosfer Premier League sebagai pemain. Berbeda dengan Zidane yang sudah mengetahui seluk beluk Madrid dan La Liga sejak 2001 silam.
ADVERTISEMENT
Conte pada laga melawan Burnley. (Foto: Phil Noble/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Conte pada laga melawan Burnley. (Foto: Phil Noble/Reuters)
Ada beberapa faktor yang memungkinkan Zidane dan Conte mendapakan ide taktik mereka saat ini. Posisi bermain Conte dan Zidane berbeda menjadi salah satunya. Conte, yang dulu bermain sebagai gelandang bertahan, berhasil membangun Chelsea menjadi tim yang seimbang dalam bertahan dan menyerang. Sedangkan Madrid-nya Zidane, yang dulu bermain sebagai fantasista dan gelandang serang, mengandalkan kreativitas lini tengah.
Sementara kecermatan dalam menggunakan taktik, dan tak saklek pada satu gaya saja, didapat dari pengalaman bermain di Serie A. Ajang terebut merupakan salah satu atau bahkan yang paling kompleks di muka bumi, khususnya dari segi taktikal.
Karater natural sepak bola Italia yang menuntut setiap tim untuk saling beradaptasi dengan kemampuan lawan telah membuat mereka (para pelatih dan pemain) yang berkutat di dalamnya terbiasa untuk memikirkan jalan keluar yang tepat dan melatih insting mereka untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Melihat bagaimana Madrid-nya Zidane menggunakan umpan silang untuk membongkar pertahanan Bayern Muenchen adalah unjuk nyata kecermatannya melihat kelemahan lawan.
ADVERTISEMENT
Yah, sesungguhnya pun Juventus sendiri punya banyak mantan pemain yang akhirnya jadi pelatih oke —tidak cuma Zidane dan Conte. Dari pemain-pemain yang pernah memperkuat mereka di era yang sama dengan Zidane, ada juga yang mengembangkan sayap ke dunia juru taktik seperti Ciro Ferrara, Paulo Sousa, Gianluca Vialli, Didier Deschamps, hingga Filippo Inzaghi. Walaupun, ya, jujur saja… tidak semuanya sesukses Zidane dan Conte.