Menggugat Usulan Inkonstitusional

Rudi Hartono
Pengurus Forum Intelektual Nuhu Evav Malang
Konten dari Pengguna
10 Maret 2022 16:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rudi Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu Elektoral (Sumber: Pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu Elektoral (Sumber: Pixabay.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perdebatan mengenai Pemilu elektoral kembali menghangat setelah Ketum PKB, Golkar dan PAN terang mengusulkan pagelaran Pemilu 2024 ditunda. Terdapat beberapa alasan yang menyertai di balik usulan kontroversial itu, antara lain tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintahan Jokowi-KH Maruf, pemulihan ekonomi nasional, pandemi Covid-19, hingga instabilitas geopolitik global akibat konflik Rusia-Ukraina.
ADVERTISEMENT
Jika dicermati, wacana ini tampak sebagai kelanjutan dari wacana serupa yang berembus di tahun-tahun sebelumnya. Ada pihak yang mengusulkan perlunya perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Tujuannya untuk menjaga kesinambungan agenda pembangunan yang telah dicanangkan. Menariknya, presiden Jokowi sebelum itu mengambil sikap tegas!
Pada tahun 2019, presiden Jokowi merespons usulan perpanjangan/penambahan jabatan presiden dengan mengatakan, mereka yang mengusulkan hanya ingin menampar dirinya. Selanjutnya, pada tahun 2021, presiden kembali menegaskan jika dirinya tidak berminat menjadi presiden tiga periode. Sikap ini terang menunjukkan posisinya yang betul-betul loyal dan berkomitmen terhadap konstitusi.
Namun politik selalu berjalan dengan logika yang sangat sukar ditebak. Dinamika politik yang berlangsung cepat dan dinamis dari waktu ke waktu, dapat membawa konsekuensi berubahnya preferensi politik seseorang. Hal ini terlihat pada sikap presiden Jokowi yang cenderung lunak dalam merespons usulan penundaan Pemilu yang dimotori oleh Ketum PKB, PAN dan Golkar.
ADVERTISEMENT
Kalau sebelumnya presiden lantang menolak usulan perpanjangan/penambahan jabatan presiden. Maka kali ini, presiden justru berkilah dengan dalih demokrasi. Menurut hemat presiden Jokowi, usulan penundaan Pemilu 2024 yang baru sebatas wacana merupakan bagian dari demokrasi. Tentu saja semua orang berhak menyampaikan pendapat mereka. Tidak ada yang salah dengan itu.
Namun, secara prinsip, kebebasan di dalam demokrasi tidak ditujukan untuk membatasi, mencederai dan mengamputasi kebebasan pihak lain. Kebebasan juga tidak dimaksudkan untuk merusak tatanan demokrasi itu sendiri. Semua pihak harus saling memahami dan menghormati tanpa harus mencederai nilai-nilai dan norma dalam demokrasi. Tanpa itu semua, praktik demokrasi hanya membawa petaka.

Merawat Komitmen

Pernyataan Lord Acton sangat relevan dijadikan pengingat betapa bahayanya kekuasaan yang absolut. Kecenderungan kekuasaan untuk berlaku korup telah melahirkan tuntutan akan pentingnya kekuasaan itu diawasi dan dibatasi guna meminimalisasi atau mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Sebagai bangsa yang pernah hidup selama tiga dekade lebih (32 tahun) di bawah otoritarianisme, semestinya sejarah masa lampau itu menjadi koreksi dan evaluasi, bahwa pembatasan kekuasaan merupakan landasan prinsipil yang tidak perlu di otak-atik dengan alasan apa pun.
ADVERTISEMENT
Demokrasi memang membuka ruang bagi setiap orang menyampaikan pendapat mereka. Hanya saja, ruang kebebasan itu tidak serta merta dijadikan sebagai alat legitimasi untuk memaksakan kepentingan tertentu diterima tanpa harus mempertanyakan secara mendalam. Segala usulan yang bertentangan dengan nilai dan prinsip patut ditentang dan dipertanyakan dengan melihat konsekuensi potensial yang ditimbulkan kalau usulan itu hendak diterima serta diterapkan.
Setia dan loyal pada nilai-nilai demokrasi, yang secara prinsipil telah disepakati bersama, patut kita jaga dan rawat. Kendati, tentu saja, segala usulan dari pelbagai pihak patut didengar, namun manakala itu menyangkut dengan prinsip, maka para pemangku kepentingan harus berani mengambil sikap tegas! Sebaliknya, jika usulan untuk mengubah prinsip itu dikompromikan, sudah barang tentu masa depan demokrasi bangsa ini menjadi taruhannya.
ADVERTISEMENT
Walaupun sudah dua dekade lebih kita berada dalam ruang demokrasi seperti sekarang ini. Namun dalam perkembangannya, demokrasi Indonesia cenderung fluktuatif. Ada fase di mana bangsa ini mengalami perubahan positif yang ditandai oleh pelbagai upaya-upaya penyelesaian kasus masa lalu dan pelanggaran HAM. Bangsa ini juga pernah berada di fase stagnasi yang ditandai oleh terbunuhnya aktivis Munir Said Thalib dan kembalinya mantan komandan militer ke panggung politik.
Memang kemenangan Jokowi di Pemilu 2014 lalu membawa harapan akan konsolidasi demokrasi bisa diwujudkan di bawah pemerintahannya. Harapan publik terhadap dirinya bukan tanpa alasan. Sebagai seorang reformis yang tidak memiliki ikatan dan beban masa lalu menjadi alasan utama mengapa banyak orang yakin demokrasi bisa tumbuh. Tapi keyakinan itu perlahan pudar. Sejumlah pihak mulai meragukan komitmen presiden Jokowi terhadap demokrasi.
ADVERTISEMENT
Respons presiden yang cenderung lunak terkait wacana penundaan Pemilu 2024 sudah sepatutnya kita khawatirkan. Kendati Menkopolhukam, Mahfud MD, beberapa waktu lalu menyebut kalau presiden Jokowi setuju Pemilu dilaksanakan pada 24 Februari 2024. Tapi, sekali lagi, sikap pemerintah melalui Menkopolhukam bagi saya bukanlah jaminan. Presiden harus tampil sendiri menegaskan kembali sikapnya, seperti dua tahun lalu, agar spekulasi dan perdebatan ini dapat diakhiri.
Yang perlu dipahami adalah pembatasan jabatan presiden selama dua periode (10 tahun) masa jabatan telah menjadi landasan prinsipil dalam demokrasi di Indonesia. Nilai inilah yang harus dijunjung tinggi. Jika setiap usulan untuk mengubah hal-hal prinsipil dianggap sebagai kenormalan dalam demokrasi, tanpa memikirkan kembali konsekuensi yang nantinya terjadi, tentunya ini sangat membahayakan kelangsungan demokrasi bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Padahal, untuk isu tertentu, pemerintah sendiri telah menunjukkan komitmen dan loyalitas pada nilai dan prinsip berbangsa dan bernegara. Masih segar di ingatan, saat pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap kelompok yang dianggap radikal, baik secara pemikiran maupun gerakan, lantaran bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pertanyaannya adalah kenapa pemerintah tidak melihat itu sebagai bagian dari demokrasi, seperti halnya usulan penundaan Pemilu?
Memilih tegas di satu isu, tapi cenderung melunak dengan isu yang lain merupakan cerminan dari dukungan bersyarat terhadap demokrasi. Sikapnya tidak lagi didasarkan pada nilai-nilai dan prinsip, melainkan lebih kepada kepentingan yang sempit. Jika isu itu cenderung menguntungkan kepentingannya, tentu akan didukung. Sebaliknya, kalau isu itu cenderung merugikan kepentingannya, sudah tentu akan ditentang. Demokrasi di titik ini hanya berfungsi sebatas "tameng" belaka.
ADVERTISEMENT

Tantangan Sejarah

Menolak usulan penundaan Pemilu bukan semata-mata karena alasan konstitusi semata. Sebab konstitusi masih mungkin di amandemen. Lalu, jika bukan karena sekadar alasan konstitusionalitas semata, lantas karena apa? Menurut hemat saya, penolakan usulan penundaan Pemilu ini berkenaan dengan loyalitas dan komitmen kita terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang telah disepakati pasca lengsernya Orde Baru, bahwa kekuasaan harus dibatasi untuk dua periode: tak lebih, tidak kurang.
Komitmen terhadap demokrasi harus dijalankan secara utuh tanpa syarat. Di mana nilai-nilai dan prinsip dipegang teguh serta dijalankan tanpa harus berbicara siapa untung dan siapa yang rugi. Bagaimanapun juga, wacana penundaan Pemilu bukan hanya mengancam demokrasi dan kepentingan rakyat. Jika wacana ini dibenarkan, tentunya, ini memberikan karpet merah bagi kepentingan oligarki, serta mengundang kembalinya otoritarianisme. Inilah yang mesti di tolak.
ADVERTISEMENT
Godaan kekuasaan ini menjadi tantangan sejarah bagi presiden Jokowi. Sebab, wacana ini tidak menggema baru hari ini, melainkan telah berlangsung sejak masa pemerintahan sebelumnya. Kini, pulpen sejarah berada dalam genggaman tangan presiden Jokowi; apakah ia ingin mencatatkan sejarah yang sama seperti pendahulunya, atau memilih jalan yang berbeda?