Buka Bersama dan Reuni : Sebuah Refleksi (Bagian 2)

Rulli Rachman
mari bicara soal buku, kopi, bola, film dan engineering.
Konten dari Pengguna
21 Juni 2017 6:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rulli Rachman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Buka Bersama dan Reuni : Sebuah Refleksi (Bagian 2)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Namanya Kalam. Dinamai Kalam bukan karena bapaknya rajin tadarusan di musholla tiap selepas Isya. Kalam sebenarnya singkatan dari Kawan Lama. Kartono dan Kalam sudah berteman sejak kecil. Mereka bersekolah di SD dan SMP yang sama. Adapun Kadek adalah teman Kartono saat duduk di bangku SMA. Kadek pun bukan berarti ia berasal dari Pulau Dewata. Kadek berarti Kawan Dekat. Maklum, Kartono dan Kadek akrab menjadi teman sebangku selama 3 tahun.
ADVERTISEMENT
Bertiga bersama Kalam, mereka menjadi sahabat. Kemana-mana bertiga. Nonton konser, nonton siaran sepakbola di poskamling, begadang mengerjakan tugas ospek mereka selalu bersama.
Oleh karena itu Kartono sempat agak heran saat membaca pesan whatsap yang terakhir tadi. Kok tumben dua anak ini berdebat. Memang mereka bertiga sudah berpisah jalan semenjak lulus SMA. Kartono melanjutkan kuliah di Kota Geulis, Kadek tetap berada di Kota Gudeg meneruskan kuliah disana. Kalam? Ia memutuskan untuk tidak kuliah dan memilih untuk berdagang. Apa saja didagangkan olehnya. Handphone, buku, alat tulis kantor dan lain-lainnya sudah pernah menghiasi lapaknya.
“Otakku sudah tak mampu buat berpikir yang susah-susah No. Mending aku dagang sajalah, lebih jelas uangnya.” Begitu penuturan Kalam pada Kartono.
ADVERTISEMENT
Kartono pun tak mendengar kabar lagi dari Kalam. Pernah juga ia dengar desas-desus yang mengatakan bahwa Kalam sudah menjadi kontraktor yang sukses. Yang pasti mereka bisa bersua lagi via dunia maya, lewat teknologi whatsap.
“Syiah yang kalian dengar dan baca selama ini tidak benar! Memang ada aliran syiah yang ekstrim, mereka doyan melaknat khulafaur rasyidin sahabat Rasul. Tapi ada juga syiah yang alirannya tidak seperti itu. Makanya jangan terpengaruh oleh propaganda media!” tulis Kalam di grup WA.
“Coba kasih buktinya Lam, aliran syiah mana yang barusan kamu bilang itu. Jangan asal bicara ya.” Balas Kadek.
“Apa perlu bukti Dek? Apa kamu tidak menyadari, bahwa dalam Sunni pun banyak juga yang berbeda aliran. Sama dengan syiah juga!” sahut Kalam tak kalah sengit.
ADVERTISEMENT
Begitu fasihnya mereka sekarang bicara agama. Padahal seingat Kartono, dulu mereka bertiga sering kesusahan hanya untuk sekedar melafalkan doa harian; doa masuk kamar mandi, doa bepergian, doa memakai pakaian, doa bercermin dan lain-lain.
Hanya pesan itu yang sempat dibaca oleh Kartono dari sekian puluh pesan whatsap yang masuk. Ia sudah menyimpan lagi telepon genggamnya saat suara dalam kereta memberitahukan bahwa kereta sudah tiba di stasiun tujuannya.
***
Kartono tiba di mall Tamanria City, sesuai rencana untuk berbuka puasa. Agak kaget juga Kartono saat memasuki pintu mall. Ternyata banyak sekali orang-orang disana sore hari itu. Ada yang berbelanja baju, celana berikut sepatu atau sandal. Sepertinya beberapa outlet menawarkan diskon yang cukup besar sehingga menarik banyak orang untuk berbelanja disana. Selain itu ada juga yang berbelanja kebutuhan dapur atau sekedar jalan-jalan.
ADVERTISEMENT
Dalam hitungan hari bulan Ramadhan akan berakhir. Lebaran sudah didepan mata. Jelas itu salah satu alasan dan magnet utama yang menggerakkan orang-orang untuk berbondong-bondong ke mall ini. Hari-hari terakhir Ramadhan. Momen dimana Tuhan akan menganugerahkan malam Lailatul Qadar, malam yang keutamaannya melebihi malam seribu bulan. Malam yang layak untuk mereka yang beribadah pada malam itu, bertafakur, bermunajat kepada-Nya, memohon ampunan-Nya dan menghiasi malam dengan ayat-ayat suci.
Setidaknya itu yang Kartono dengar dari salah satu pemuka agama di kampungnya, ustadz Haji Kasim saat khutbah bada tarawih beberapa waktu yang lalu. Haji Kasim begitu bersemangat mengajak jamaah kampung untuk memanfaatkan sepuluh malam terakhir Ramadhan.
“Belum tentu kita masih diberikan umur panjang sehingga bisa menemui bulan yang suci ini lagi tahun depan. Maka ayo kita manfaatkan waktu kita sekarang ini. Tiap detik adalah berharga! Jangan lalai untuk terus beribadah!” demikian ajakan-ajakan Haji Kasim yang sebenarnya lebih mirip orasi. Walaupun sudah tidak muda lagi, Haji Kasim masih memiliki suara yang lantang.
ADVERTISEMENT
Namun sungguh tak disangka, Haji Kasim membuktikan omongannya bahwa umur adalah hak prerogatif Tuhan, tak seorang pun bisa menjamin hidup seseorang. Dua hari berselang setelah ‘orasi’ di mesjid tersebut, Haji Kasim berpulang kepada-Nya. Tanpa sakit, tanpa diduga, pak Haji meninggal usai tahiyatul akhir sholat Isya.
Yang membuat Kartono termenung bukanlah soal ajakan Haji Kasim untuk memanfaatkan sepuluh hari terakhir Ramadhan sebelum ia meninggal. Karena ajakan itu adalah umum, kita juga akan mendengarnya saat khotbah di masjid yang lain. Yang masih melekat dalam ingatan Kartono adalah keluhan Haji Kasim.
“Awal Ramadhan saya itu berkeliling cari masjid. Kesana kemari semua penuh, termasuk masjid komplek kita. Akhirnya saya memutuskan untuk sholat tarawih dirumah saja. Tarawih dirumah pada malam pertama Ramadhan. Bayangkan! Sekarang apa yang kita lihat? Untuk dapat shaf paling depan pun sekarang tidak sulit, bukan main…” itu kata-kata terakhir Haji Kasim sebelum menutup khutbah malam itu.
ADVERTISEMENT
Andai Haji Kasim masih hidup, mungkin sepulang dari mall itu Kartono akan berkunjung kerumahnya. Lalu sambil menyesap kopi hitam bikinan Bu Kartini istri Haji Kasim, Kartono akan menyampaikan jawaban atas keluhan Haji Kasim tersebut.
“Yaa pantas sepi pak Haji. Semuanya pada lari ke mall, cari sarung baru buat sholat ied nanti.” Itu yang mungkin akan disampaikan Kartono pada Haji Kasim. Dan mungkin akan disambut dengan tawa kecil guru ngajinya itu. Mungkin saja.
***
Kartono memasuki salah satu area tempat makan dan minum. Tak jauh beda dengan outlet baju, tempat makan ini pun sudah penuh dengan orang lalu lalang. Padahal waktu masih menunjukkan jam empat sore, masih dua jam sebelum waktu berbuka. Kartono membeli sebotol air mineral sebelum akhirnya memilih salah satu meja dengan kapasitas empat orang.
ADVERTISEMENT
“Mas, ada orang nya gak disini?” Tanya seorang ibu muda pada Kartono sembari menunjuk kursi kosong didepannya.
“Iya bu, ada orangnya. Maaf.” Jawab Kartono sopan.
“Mana mas orangnya? Itu mas-nya sendirian aja.” Ujar si ibu muda lagi, kali ini dengan nada ketus.
“Iya bu, teman saya belum datang.”
Area tempat makan ini memang cukup favorit untuk jadi spot berbuka bersama. Sehingga satu kursi kosong begitu berharga dan pantas untuk diperebutkan layaknya piala Thomas. Pantas saja muka si ibu muda tadi sedikit masam. Teman-temannya yang lain sudah berkumpul dalam satu meja dan hanya ia seorang yang tidak mendapat kursi. Kartono pura-pura tidak memperhatikannya.
Handphone Kartono berbunyi lagi. Ada dua pesan masuk.
ADVERTISEMENT
“Udah sampai No? duduk dimana?” pesan dari Kamilla.
“No, kau udah baca grup WA? Tolong bantulah aku ini, kasih tau si Kalam itu bahwa apa yang ia tulis itu salah.” Pesan dari Kadek.
Kartono memilih tombol reply dan mulai mengetik pesan. Pesan balasan. Untuk Kamilla.
(Bersambung)