Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Dinamika Pasar LNG Global dan Implikasinya bagi Indonesia
18 Februari 2020 20:06 WIB
Tulisan dari Sampe Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dinamika Pasar LNG Global dan Implikasinya bagi Indonesia
Oleh : Sampe L. Purba
ADVERTISEMENT
Di tengah gelombang disrupsi (penjungkirbalikan tatanan) industri secara umum, bisnis LNG (Liquid Natural Gas – Gas Alam Cair) juga tidak terkecuali kena imbasnya. Tahun 1980 an posisi produsen LNG sangat kuat. Setelah gas ditemukan, kontrak penjualan gas lintas negara diikat untuk jangka panjang (hingga 20 – 30 tahunan) barulah kilang LNG dibangun. Proses dari gas ditemukan hingga pengiriman pertama LNG tidak lebih dari 5 tahun. Posisi nyaman yang seperti itu sempat dinikmati produsen gas Indonesia ketika lapangan gas Arun Aceh dan lapangan gas di lepas pantai Kalimantan ditemukan tahun 1970 an. Ketika itu, Indonesia adalah produsen LNG terbesar di dunia, dengan pembeli utama dari Jepang. Bahkan untuk pembangunan kilang LNG itupun dana mayoritas berasal dari lembaga keuangan dan grup korporasi pembeli utama LNG (yang dikenal dengan Western buyer). Produsen gas, praktis tidak menghadapi resiko pasar (volume dan harga) maupun kesulitan dalam pendanaan pembiayaan pembangunan kilang LNG.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan kemajuan teknologi, ditemukannya banyak lapangan gas di negara negara lain seperti Australia, Qatar dan Rusia, LNG membanjiri pasar global. Selain itu tersedianya berbagai sumber energi alternatif lainnya, maka premium kenikmatan produsen LNG di pasar dunia telah tereduksi. Hal itu terlihat dari beberapa fakta sebagai berikut.
Satu, untuk kontrak kontrak jangka panjang dan menengah (3 – 5) tahun, terdapat relaksasi terms/ persyaratan komersial. Rata-rata Kontrak LNG baru maupun perpanjangannya, saat ini mengandung beberapa klausul yang lebih favorable (menguntungkan) kepada pihak pembeli. Di antaranya adalah harga tidak lagi sepenuhnya dikaitkan/ diindeks dengan harga minyak mentah, Price Review yang lebih sering dan pendek waktunya, kontrak multi destinasi yang dapat dialihkan ke tujuan atau pembeli lain, jumlah komitmen pengambilan kargo tahunan yang tidak terlalu besar (jauh di bawah 1 juta ton/ tahun), pembeli dapat mendrop komitmen pengambilan kargo pada suatu tahun tanpa penalti yang berarti, dan clause hardship excuse yang lebih ringan dan mudah bagi buyer dalam hal tidak dapat mengambil kargo yang disepakati.
ADVERTISEMENT
Kedua, melimpahnya kontrak kontrak spot jangka pendek. Secara tradisional, yang menjadi benchmark/ acuan terhadap harga LNG ada tiga golongan besar. Untuk pasar Eropa mengacu kepada National Balancing Point (NBP) – yakni indeks harga di bursa Future market Inggris, di pasar Asia Pacific diindeks dengan minyak mentah (didominasi Japan Korea Marker – JKM untuk spot, sedangkan di pasar Amerika Serikat mengacu ke indeks harga gas pipa Henry Hub index.
Dalam kontrak kontrak gas yang bersifat spot/ ketengan/ eceran, pola pola seperti itu tidak lagi ditemukan. Sekalipun volume LNG yang diperdagangkan spot sangat banyak, tetapi harga spot sensitif dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak bersifat fundamental, seperti rencana akan dibangunnya satu fasilitas LNG (FID – Final Investment Decision), kapasitas bunkering gas, cuaca, tensi politik dan lain-lain. Hal ini akan memberikan resiko ketidak pastian yang tinggi kepada para pelaku bisnis.
ADVERTISEMENT
Saat ini ketika dunia ditakutkan dengan cekaman merebaknya virus corona di dataran Tiongkok, harga LNG spot turun ke titik nadir, hingga $3,512/ mbtu, sementara harga kontrak kontrak jangka panjang masih bertengger di 11% - 13% harga minyak mentah JCC (Japan Crude Cocktail). JCC merupakan acuan tradisional untuk kontrak kontrak LNG jangka panjang di Asia.
Harga LNG
Secara umum 1 barel minyak mentah equivalen dengan 6 – 7 mbtu gas. Dengan memperhitungkan biaya pemrosesan LNG, elemen transportasi, asuransi dan regasifikasi gas per mbtu di terminal penerima, maka harga LNG 11 – 14 % dari minyak mentah, dalam kasus normal adalah proxy harga ekuilibrium yang wajar.
Grafik : harga LNG terhadap minyak mentah
ADVERTISEMENT
Sumber : Reuters 2020
Ketiga, ketidak pastian monetisasi lapangan gas dan pengambilan keputusan untuk investasi (Final Investment Decision - FID).
Apabila suatu lapangan gas telah dinyatakan komersial, namun tertunda untuk jangka waktu lama untuk diproduksi adalah indikasi belum firm (yakin)nya operator lapangan gas terhadap monetisasi gas yang telah ditemukannya. Secara umum FID adalah milestone (titik penanda utama) yang diyakini bahwa lapangan gas akan dikembangkan. Dengan adanya FID, berarti isu marketing (harga, volume dan pembeli) telah selesai, demikian juga dengan skema pendanaannya, apakah dengan dana korporasi, pinjaman di pasar uang atau dengan project finance (pinjaman dengan jaminan pengembalian hutang dari hasil proyek).
Ada tiga resiko utama yang telah diperhitungkan dan dapat diterima pada saat FID. Yang pertama adalah resiko bawah permukaan/ cadangan gas, di mana ada kemungkinan gas yang dapat diproduksi meleset signifikan dari estimasi cadangan. Pada hal cadangan tersebutlah yang menjadi dasar dalam membangun besarnya kapasitas kilang, pengikatan kontrak jual beli, pengapalan dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kedua adalah resiko cost melunjak/ cost over run biaya pembangunan kilang LNG. Resiko ini umumnya dapat dimitigasi, segera setelah kontrak pembangunan kilang (EPCI – Engineering, Procurement, Construction, Installation) ditanda tangani. Apabila operator lapangan (sponsor) menunda tahap mulai konstruksi karena misalnya pembeli utama (anchor buyer) belum ditemukan atau kredibilitasnya rendah, resiko finansialnya akan Kontraktor EPCI akan menuntut pemilik kilang/ sponsor untuk mengkompensasi kerugian finansial yang timbul.
Dalam beberapa kasus, jika Pemerintah setempat terlihat sangat berkepentingan dengan terealisirnya pembangunan kilang LNG, operator/ pemegang interest di lapangan akan menggunakan ini sebagai posisi tawar untuk menekan agar sebagian resiko cost over run tersebut ditanggung oleh Pemerintah. Kelihaian berdiplomasi, menggertak halus dan sense of fairness dalam bisnis mutlak diperlukan para negosiator yang mewakili Negara/ Pemerintah. Tergantung kepada EPCI contractnya, resiko cost over run dapat timbul karena skedul pembangunan proyek yang molor, perubahan signifikan komponen utama, misalnya harga baja atau turbin, serta pekerjaan tambah kurang (major contract change order) atau reimbursable component yang besar.
ADVERTISEMENT
Yang terakhir adalah resiko finansial. Pembangunan kilang LNG yang mengandalkan pembiayaan eksternal baik dalam bentuk hutang korporasi, obligasi atau project finance, akan terpapar kepada resiko finansial, terutama apabila suku bunga pinjaman adalah suku bunga mengambang (floating rate). Kredibilitas finansial sponsor utama atau induknya yang diukur dengan credit rating, sangat menentukan dalam terms/ klausul dan persyaratan peminjaman. Termasuk di dalamnya adalah apakah sponsor tersebut secara historis memiliki pengalaman operatorship, portofolio yang luas, atau dukungan pemerintah negaranya. Pada umumnya kreditor (investment banking dan credit syndication) memiliki risk apetite tersendiri dalam mengukur kredibilitas operator, anchor buyer, tenor (jangka waktu pinjaman) dan kestabilan regulasi di negara tuan rumah.
Lansekap Pasar LNG saat ini
ADVERTISEMENT
Peta produser LNG berdasarkan Negara saat ini adalah sebagai berikut :
Dalam studi bersama International Energy Agency dan Korea Energy Economics Institution (EIA dan KEEi), menunjukkan bahwa pasar LNG masih akan bertumbuh pesat untuk memenuhi permintaan yang tinggi di pasar Asia. Pertumbuhan tersebut terutama adalah di pasar China dan Korea Selatan. Pasar Jepang akan sedikit stagnan karena reaktor nuklirnya akan direaktivasi bertahap pasca gempa fukushima tahun 2011.
Lebih dari 100 miliar meter kubik kapasitas LNG baru akan memasuki pasar antara 2018 hingga 2023. Karena pangsa pasar yang sempit, di tambah lagi diversifikasi sumber energi, termasuk mengalirnya gas pipa dan LNG dari Rusia ke kawasan Asia, mendorong negara negara produser berlomba lomba bersaing ketat memanfaatkan celah sempit ini. Australia, Qatar, Senegal dan Kanada memasuki gelanggang persaingan ini dengan menawarkan syarat syarat komersial yang lebih fleksibel.
ADVERTISEMENT
Grafik berikut menunjukkan trend peningkatan kontrak LNG yang lebih fleksibel, sementara kontrak kontrak fixed semakin berkurang.
Sumber : Studi EIA – KEEi, 2019
Ketatnya persaingan di pasar LNG ini dikonfirmasi oleh Dr. Fesharaki, seorang konsultan energi global, yang juga sangat mengikuti perkembangan dunia migas di Indonesia.
Dalam sebuah simposium internasional akhir bulan Januari 2020 yang lalu, secara gamblang beliau menunjukkan grafik (di bawah), bagaimana lebih dari 70% proyek LNG di dunia telah berani FID tanpa memiliki kontrak pembelian LNG oleh pihak ketiga. Selain keberanian, tentu itu juga merupakan sebuah kalkulasi untuk mengamankan pasokan energi maupun mempertahankan posisi di ceruk pasar yang semakin sesak.
LNG Indonesia
ADVERTISEMENT
Saat ini produksi LNG Indonesia ada sekitar 2.000 BBTU/ hari, yang mayoritas diproses dari kilang Bontang dan Tangguh Papua dengan proporsi yang relatif seimbang. Kontrak kontrak ekspor LNG Bontang ke Jepang akan berakhir dalam 5 tahun ke depan. Masa depan kilang LNG Bontang sangat tergantung pada pasokan gas dari lapangan ENI maupun Pertamina Mahakam, serta kemampuan menembus pasar ekspor.
Produksi lapangan Tangguh saat ini sekitar 50% dialokasi untuk domestik dengan pembeli utama (anchor buyer) PT PLN, yang akan disalurkan ke berbagai pembangkit di seluruh Nusantara (multi domestic destination). Hal ini dapat berarti dua hal, yakni semakin meningkatnya penggunaan domestik. Namun itu juga dapat dibaca sebagai sesuatu yang riskan, yakni tidak berhasilnya Indonesia menembus pasar ekspor. Kemampuan nyata untuk mengambil gas yang dialokasikan ke PT PLN sangat tergantung kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang menciptakan demand tambahan energi listrik berbasis gas.
ADVERTISEMENT
Harapan ketiga ada pada lapangan gas Abadi, yang dioperasikan oleh INPEX Masela di lapangan Abadi, dekat perbatasan Australia di ujung selatan laut Arafura kepulauan Tanimbar – Maluku.
Lapangan gas Abadi mengandung cadangan gas sangat besar sebanyak 18,5 TCF dan juga kondensat sebesar 225 juta barel. Lapangan ini diproyeksikan untuk memulai berproduksi pada akhir tahun 2027, dengan kapasitas 10,5 juta metrik ton per tahun (9,5 mtpa LNG, dan 150 mmscfd gas.
Ada beberapa hal yang patut mendapat perhatian, di antaranya adalah :
Temuan di lapangan gas ini telah dinyatakan komersial pada akhir tahun 2008, namun hingga saat ini belum FID. Memang diakui salah satu penyebabnya adalah perubahan skenario pengembangan lapangan, yang sebelumnya LNG terapung di proses di laut (FLNG), menjadi dirubah dengan fasilitas pemurnian gas tetap di laut, tetapi pemrosesan/ kilang LNG di darat. Yang kita baca di koran, perubahan tersebut dilakukan adalah untuk mendapatkan added value (nilai tambah) yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Pengalaman Indonesia di Bontang dan Tangguh hendaknya dapat menjadi pelajaran. Di Bontang misalnya, tidak perlu menunggu 5 tahun sejak lapangan gas dinyatakan komersial, pengapalan pertama LNG telah berhasil diwujudkan pada Agustus 1977. Presiden Suharto – Bapak Pembangunan – sangat visioner dan firm. Untuk mendapatkan devisa, gas yang mahal dijual dalam bentuk LNG, sementara untuk domestik gas dijual murah ke industri pupuk dan petrokimia. Hutan Bontang disulap menjadi kawasan industri modern. Hasil karya warisan Beliau masih kita nikmati hingga hari ini.
Kilang LNG Tangguh dibangun di daratan. Namun, hingga saat ini tidak ada LNG yang digunakan di Papua, walaupun telah diberikan alokasinya oleh Pemerintah. Pemanfaatan gas setempat tentu memerlukan infrastruktur seperti ada terminal penerima LNG dan regasifikasi, ada permintaan listrik yang tinggi atau pertumbuhan industri setempat untuk memanfaatkan gas sebagai bahan baku (feedstock) untuk pupuk dan petrokimia.
ADVERTISEMENT
Untuk mewujudkan gas dari lapangan Abadi menjadi kenyataan memerlukan kerjasama terpadu dan sinergis dari seluruh pihak.Di antaranya adalah, Pemerintah dan masyarakat setempat yang menyediakan lokasi, mempermudah perizinan dan fasilitasi fiskal, Pemerintah Pusat menetapkan kawasan industri lengkap dengan fasilitas kelistrikan dan fasilitas umum lainnya, pembangunan industri yang dapat memanfaatkan alokasi gas domestik, serta pasar ekspor yang terbuka. Yang juga lebih penting (atau mungkin yang terpenting) adalah kesungguhan dan keberanian operatornya untuk segera FID, tanpa harus memastikan ada kontrak ekspor. Bukankah seperti dalam grafik di atas, bahwa saat ini trend di dunia, operator lapangan gas dan kilang LNG pun telah berani FID dengan merangkap sebagai offtaker (pembeli utama) produk yang dihasilkan.
ADVERTISEMENT
Gambar : Lapangan Gas di sekitar Masela Block perbatasan Australia
Bagi Indonesia, lapangan gas Abadi tidak hanya bernilai ekonomis. Lapangan itu memiliki makna strategis dari aspek geo politis dan geostrategis memperkuat integritas dan pengamanan wilayah di perbatasan selatan. Itulah juga justifikasi sehingga proyek Abadi termasuk dalam Proyek Strategis Nasional.
Indonesia harus mengejar ketertinggalan dari Australia. Negara tersebut, pada waktu yang hampir bersamaan menemukan lapangan gas di Evan shoal, Gorgon, Bay Undan – bertetangga dengan lapangan Abadi. Berkat monetisasi gas dari lapangan tersebut, Australia segera mewujudkan kilang LNG Ichthys. Kilang LNG Ichthys dibangun dengan konsep LNG terapung (FLNG) tanpa ribut dan bising bising ala rajawali ngepret. Menariknya, Inpex adalah salah satu pemegang hak (interest holder) utama di situ. Berkat kilang Itchys dan kilang LNG lainnya seperti Darwin, Gorgon dan Wheatstone LNG, Australia menjadi eksportir LNG lima besar di dunia bersama sama dengan Qatar, Malaysia, Amerika Serikat dan Rusia.
ADVERTISEMENT
Gambar : Pertumbuhan kapasitas kilang LNG Australia
Indonesia perlu menunjukkan dan mempertahankan kehadirannya di pasar LNG dunia, untuk posisi diplomasi energi dan geo ekonomis yang strategis di kawasan Asia. Terutama untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia, secara keseluruhan.
Jakarta, Februari 2020
Penulis adalah Profesional Energi Global – Mahasiswa Doktoral Universitas Pertahanan