Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Menuju Pemilu 2024, Politik Identitas Tak Selamanya Petaka
19 Mei 2023 14:51 WIB
Tulisan dari Sarifatul Ula tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Politik identitas terus menjadi polemik di tengah masyarakat, lebih-lebih saat ini Indonesia menuju pemilihan umum 2024. Bukan untuk pertama kali, pemilu selalu dikaitkan dengan maraknya politik identitas yang dilakukan oleh sekelompok orang.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Wikipedia, politik identitas adalah alat politik yang digunakan suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya dan agama untuk tujuan tertentu. Misalnya sebagai bentuk perlawanan atau alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok. Saking maraknya politik identitas bisa saja menjadi tren pelanggaran dalam pesta demokrasi.
Salah satu contoh adanya politik identitas yaitu munculnya tokoh Islam dalam berpolitik sedangkan agama yang lain juga melakukan hal yang sama. Politik identitas terkait agama dianggap lebih mendominasi, khususnya agama Islam. Munculnya istilah agama Islam lebih mayoritas dan non muslim sebagai minoritas menjadi politik identitas terkait perbedaan agama kian membati buta.
Sebenarnya, politik identitas agama penting dan dibutuhkan dalam proses demokrasi. Akan tetapi, harus diberlakukan dengan cara yang nyaman, damai dan saling menjaga tanpa memandang perbedaan agama.
ADVERTISEMENT
Kemudian terkait kesukuan yang mana diisukan bahwa memilih calon pemimpin negara haruslah dari suku Jawa, Sumatera atau mungkin Kalimantan. Kelompok atau golongan tertentu yang merasa takut kalah dalam berpolitik, maka mereka akan terus meniupkan isu-isu politik identitas ke masyarakat hingga akhirnya menimbulkan perpecahan.
Politik identitas selalu dicamkan sebagai suatu hal yang buruk, tidak beradab dan berbahaya karena bisa saja memecah belah suatu kelompok hanya karena berbeda pandangan.
Pertanyaanya, bisakah politik identitas yang sudah terlanjur berjalan dapat dipandang sebagai kegiatan yang beradab, tidak berbahaya dan berjalan tanpa ujaran kebencian antar kelompok?
Seharusnya kelompok yang menerapkan politik identitas dapat melakukan hal tersebut dengan cara menyediakan nilai solidaritas dalam membangun kesadaran publik dan diskriminasi kelompok tanpa mempromosikan kelompok sendiri kemudian menebar isu kebencian terhadap kelompok lain.
ADVERTISEMENT
Jika kelompok tertentu sudah melangsungkan hal tersebut. Tinggal bagaimana cara kita memandang politik identitas dari sisi positif dan mengesampingkan sisi negatifnya.
Muhammad Habibi, ia menyampaikan dalam jurnalnya bahwa politik identitas juga memiliki nilai positif yaitu berupa upaya untuk melestarikan nilai budaya yang menjadi ciri khas suatu kelompok, sehingga upaya untuk menguatkan budaya dalam kelompok tersebut tidak kendur.
Meskipun dianggap berbahaya, namun nyatanya politik identitas diperlukan juga dalam demokrasi. Sebab adanya politik identitas merupakan salah satu indikator sehatnya demokrasi. Bahkan legitimasi sebuah negara demokrasi bisa dipertanyakan jika tidak memberikan ruang bagi politik identitas. Apabila politik identitas dikelola dengan baik justru akan menghadirkan implikasi positif bagi demokrasi tingkat lokal.
Politik identitas sah-sah saja dilakukan apabila tujuannya memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, merajut keragaman dan persaudaraaan. Diharapkan kedepannya para elite politik tidak memanfaatkann cara ini untuk menabur perbedaan sehingga menyulut perpecahan pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sarifatul Ula, mahasiswa jurusan hukum tata negara UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan