Konten dari Pengguna

Berdikari dalam Urusan Perut

Sartana
Dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
4 November 2024 9:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sartana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menjaga kedaulatan pangan bangsa Indonesia. Sumber : Gambar dibuat penulis menggunakan aplikasi Microsoft Designer.
zoom-in-whitePerbesar
Menjaga kedaulatan pangan bangsa Indonesia. Sumber : Gambar dibuat penulis menggunakan aplikasi Microsoft Designer.
ADVERTISEMENT
“Urusan manusia sepanjang jaman adalah urusan perut, urusan kerezekian." -Bung Karno-
ADVERTISEMENT
Di era digital dan global saat ini, perang antar negara tidak lagi mengandalkan senapan dan bubuk mesiu, melainkan lebih mengandalkan kekuatan halus (soft power). Soft power itu diantaranya adalah pengendalian pikiran, makanan dan kebijakan pemerintah sebuah negara. Lewat pengendalian isi dan algortitma informasi, jenis makanan, serta intervensi kebijakan bangsa-bangsa dapat ditundukan.
Penulis tidak bermaksud untuk mempromosikan gagasan anti (bangsa) asing dalam tulisan ini. Hanya saja, dalam relasi antara negara sebagai institusi politik dan ekonomi, hubungan saling menguasai hampir tidak bisa dihindarkan. Sehingga, relasi antar negara perlu untuk kita baca sebagai relasi kuasa, yang kerapkali berlangsung secara timpang, satu menguasai yang lainnya.
Sementara dalam relasi antar personal atau antar individu, tidak selalu diwarnai oleh muatan relasi kuasa demikian di dalamnya. Yang kerap mengemuka dalam hubungan antar personal adalah hubungan kemanusiaan. Bahkan, ketika kita menyadari orang yang kita anggap “orang lain” berasal dari bangsa berbeda, kita akan tetap menempatkan orang dari “bangsa lain” itu sebagai manusia yang setara dan memiliki sisi-sisi kemanusiaan yang sama.
ADVERTISEMENT
Karenanya, dalam tulisan ini, penulis membatasi asumsi bahwa perhubungan yang dimaksud penulis adalah perhubungan antar negara, yang masing-masing sedang memperjuangkan kepentingannya. Hubungan-hubungan yang sifatnya impersonal, dan kadang menihilkan dimensi-dimensi kemanusiaan, dan lebih mengedepankan kesejahteraan negara sendiri dibanding negara lainnya.
Dan dalam hubungan antara negara demikian, walaupun tidak ada perang terbuka dan para pemimpinnya juga berhubungan manis serta harmonis, sebenarnya selalu ada kelindan persaingan di belakang hubungan yang tampak baik-baik saja tersebut. Bahkan, dalam sebuah kerjasama pemerintah antar dua negara yang saling menguntungkan, nilai menguntungkan yang dimaksud antara satu negara dengan negara yang lainnya tidak pernah sama, melainkan selalu timpang. Ada negara yang lebih teruntungkan daripada yang lainnya.
Dalam tulisan ini, saya mengambil kasus hubungan yang timpang antar negara tersebut pada aspek pangan dan kuliner. Ketika kita bicara pangan, kuliner atau makanan, dalam hubungan antar negara, maka selalu ada satu negara yang lebih dominan dari negara yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Misalnya, ketika kita mencermati isu soal beras, kita akan melihat bagaimana relasi yang timpang antara satu negara dengan negara yang lainya. Beberapa negara berposisi tinggi karena mereka sebagai negara pengekspor beras, sementara beberapa negara yang lain berposisi rendah dan tergantung karena mereka sebagai negara pengimpor. Itu menjadi penanda bahwa beberapa negara lebih dominan atau berkuasa atas bangsa yang lainnya.
Tidak hanya beras, setiap bahan melahirkan hubungan yang timpang antar negara. Di dunia, ada negara-negara produsen makanan tertentu, yang bangsa lain harus impor di negara bersangkutan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Ketika negara pengekspor pangan tersebut menyetop kran ekspornya, bisa jadi bangsa bersangkutan mengalami krisis pangan, yang dapat memicu krisis ekonomi dan sosial, hingga berujung pada krisis politik atau kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif ini, untuk menguasai negara lain dapat dilakukan dengan membangun ketergantungan negara bersangkutan dalam hal pangan. Dengan mengendalikan lidah, lambung dan perut warga negara bersangkutan. Dan proyek pengendalian lambung dan perut ini kerapkali berlangsung secara halus dan tidak mudah disadari atau diamati.
Untuk di Indonesia, kita dapat menjadikan ketergantungan bangsa Indonesia pada gandum sebagai salah satu kasus yang dapat kita urai dan baca. Dalam catatan sejarah, gandum tidak pernah menjadi salah satu sumber bahan makanan masyarakat Indonesia. Karena gandum bukan tanaman asli Indonesia, melainkan tanaman subtropis yang sulit dibudidayakan di Indonesia.
Dalam catatan Historia, gandum adalah tanaman yang dibawa oleh orang-orang Eropa pada era kolonial, namun terlihat kurang berhasil ketika dibudidayakan di beberapa daerah di Indonesia. Setelah merdeka, tanaman itu kembali dibudidayakan di Indonesia, khususnya sejak era Orde Baru. Namun, dalam perjalanannya, pemerintah lebih memilih fokus pada swasembada beras dan kurang fokus untuk mengusahakan gandum.
ADVERTISEMENT
Dan mulai akhir tahun 1960an hingga awal tahun 1970an, ketergantungan kita pada gandum dimulai. Itu terjadi ketika Indonesia mengalami krisis pangan karena resesi ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri yang tidak mencukupi, Soeharto, presiden saat itu menyetujui tawaran bantuan gandum dari Amerika Serikat.
Dan orang Indonesia, kecuali kalangan kelas menengah, mulai belajar makan makanan berbahan olahan gandum sejak saat itu. Dengan dukungan penguasa, usaha pembiasaan kepada masyarakat untuk makan gandum tersebut sukses besar. Dan kini, perut dan lambung bangsa Indonesia sudah tergantung pada gandum, sementara kita tidak bisa memproduksi sendiri gandum tersebut. Sehingga, kondisi itu menyebabkan hari ini kita menjadi bangsa importir gandum terbesar kedua di dunia.
Menurut data perdagangan yang dianalisis oleh tim Dinas Pertanian Luar Negeri Departemen Pertanian AS di Jakarta, Impor gandum Indonesia pada tahun 2023-24 meningkat sebesar 33,4 persen. Import tahun sebelumnya adalah 9,45 juta ton, meningkat menjadi rekor 12,6 juta ton. Selama delapan bulan, dari Januari-Agustus 2024, pemerintah telah mengeluarkan uang sekitar 39 triliun untuk impor gandum.
ADVERTISEMENT
Ketergantungan kita terhadap gandum tersebut memiliki dampak berantai. Dalam arti, ia tidak hanya merugikan secara ekonomi, melainkan juga ada memiliki konsekuensi pada kehidupan budaya dan psikososial masyarakat. Seandainya uang triliunan itu dibayarkan pada para petani Indonesia, bukan petani di luar negeri, tentu banyak petani Indonesia yang hidupnya sejahtera.
Dampak selanjutnya adalah mereka dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang lebih tinggi, kesehatan mereka lebih terjamin, kebutuhan makan bergizi mereka terpenuhi, dan serangkaian dampak positif lainnya. Dan secara psikososial kebangsaan, kita terbebas dari rasa takut dan khawatir, juga merasa lebih bangga serta cinta terhadap Indonesia. Lebih dari itu semua, kita dapat benar-benar merasa sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka.
Oleh karena itu, sebagai bangsa, penting bagi kita untuk memerdekakan lambung dan perut kita ketergantungan terhadap bangsa lain. Menjadi bangsa berdikari dalam urusan perut dan lambung. Bangsa yang dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan pangannya secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Dan, hal itu sangat mungkin untuk dilakukan. Di Indonesia, di sekitar jalan-jalan yang kita lewati saat bepergian, kita melihat banyak sekali lahan yang menganggur tidak digunakan. Di sisi lain, banyak juga warga masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan. Dengan mengubah sedikit cara pandang serta gaya manajemen pemerintahan, situasi demikian dapat disulap untuk menghasilkan pangan. Dan banyak sekali potensi yang kita miliki untuk mengarah pada kemandirian pangan tersebut. Sehingga, apakah kita akan terus tergantung atau berdikari sebagai bangsa, semua tergantung pada visi dan keinginan kita.
Sartana, M.A.
Dosen Psikologi Sosial Fakultas Kedokteran Universitas Andalas