Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengapa Kita Perlu Menderita?
5 Februari 2023 11:51 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Selando Naendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di Pulau Inisheer yang murung di Irlandia, Colm Doherty (Brendan Gleeson) hidup menghabiskan hari-harinya yang monoton dengan merokok, pergi ke pub, dan sesekali menulis lagu. Ia memberi Pádraic Súilleabháin (Collin Farrel), kawannya, sebuah ultimatum: setiap kali Pádraic mengajaknya berbicara, Colm akan memotong jarinya sendiri dengan gunting bulu domba.
ADVERTISEMENT
Colm memang laki-laki paruh baya kegemukan yang gemar mabuk. Tapi, ia mengatakan hal itu bukan sambil senewen. Ilham turun dari langit dan Colm sejurus punya hasrat buat meninggalkan jejak di dunia yang ia tahu bakal hancur ini lewat cara yang menakjubkan.
Pádraic, kawan terdekatnya, adalah halangan terbesar Colm buat mewujudkan hasrat itu: membuat lebih banyak lagu sebelum mati. Sampai film "The Banshees of Inisherin" (2022) karya Michael McDonagh itu berakhir, Colm berhasil menulis beberapa lagu dengan lima jari tersisa di kedua tangannya.
Orang bakal menganggap saya gila bila menyebut bahwa dengan memotong jarinya sendiri, Colm telah mencintai dirinya sendiri dalam kadar yang tak bisa dilampaui oleh siapapun.
Kehilangan waktu bersantai dan Pádraic dan lima jari adalah bukti bahwa Colm ingin menjalani hidup sepenuhnya di sisa umur yang ia miliki. Dan “hidup sepenuhnya”, menurut John Steinbeck dalam novelnya “The Winter of Our Discontent” (1961), cuma layak dicapai dengan memperbanyak “bekas luka”.
ADVERTISEMENT
Colm dan Steinbeck tentu tak hendak membikinkan kita, generasi kiwari, kampanye buat melakukan self-harm. Mereka cuma ingin kita paham bahwa hidup bukanlah waktu buat mengumpulkan kebahagiaan sebanyak-banyaknya.
Ketika kebanyakan orang, sebagaimana penduduk Inisheer, mengira bahwa keriaan dengan kawan-kawan, pekerjaan yang layak, atau keluarga yang menyayangi mereka seperti bayi baru lahir adalah alasan untuk bisa mati dengan tenang, Colm dan Steinbeck mengajak kita buat menjajal jalur lain: memandang penderitaan, dalam bentuk apapun, sebagai cara untuk meraih kepuasan hidup.
Anda, dan mungkin banyak orang pada umumnya, bisa jadi bertanya-tanya sambil menyangsikan keamanan jalur itu: “Lantas, apa kemungkinan paling buruk ketika orang terus-terusan menderita?” Kalau jawaban yang Anda bayangkan pertama kali adalah bunuh diri , maka mari kita sedikit menjelajah buat membuktikan bahwa jawaban itu jauh dari kata layak.
September 2020 lalu, saya sempat mengukur kepantasan buat menggorok leher saya sendiri. Pisau dapur rumah saya tajam, ayah membuka toko bahan bangunan dan menjual gerinda yang belum laku di etalase, dan keputusan sepenuhnya tinggal berada di tangan saya.
ADVERTISEMENT
Itu adalah momen ketika saya berpikir bahwa hidup tak pernah berpihak kepada saya. Tak berselang lama setelah ditinggal seorang kekasih, saya baru saja menyelesaikan masa magang di sebuah media yang telah menggembosi otak saya selama tiga bulan. Nilai traffic dari artikel yang saya tulis selama magang, kata seorang redaktur, ialah sekitar Rp 210 juta.
Saya mengambil kalkulator dan memastikan bahwa Rp 210 juta memang 42 kali lipat lebih besar ketimbang upah saya selama magang. Kabar baiknya: hampir seluruh upah itu dirampas oleh seorang kerabat yang bakal dibui bila tak membayar sejumlah uang pada seseorang dalam jangka waktu tertentu.
Dan kabar baiknya lagi: pada saat yang sama, saya tengah terlibat masalah dengan orang tua dan kabur ke rumah seorang kawan. Kepala saya mau meledak dan, astaga, saya betul-betul ingin mengakhiri semuanya pada saat itu juga.
Ketika kini menertawakan momen itu untuk kesekian kalinya, saya lalu sadar bahwa niat buruk semacam itu bukan datang dari ketidakmampuan menanggung penderitaan lebih jauh.
ADVERTISEMENT
Sebab, bila itu alasannya, kehilangan kekasih, upah magang, atau terlibat masalah dengan orang tua adalah derita yang kelewat sepele bagi pemuda yang sehari-harinya menghabiskan puluhan batang rokok sambil menyanyikan lagu NDX A.K.A seperti saya buat memutuskan untuk mengakhiri hidup.
Dalam “Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya” (2018), Dea Anugrah —sambil mengutip kata-kata filsuf Emil Cioran—menulis bahwa bunuh diri cuma bisa dilakukan oleh orang-orang optimis. Orang-orang itu digambarkan Dea sebagai mereka yang selalu “mencari yang ideal, yang tak ada, dengan cara yang dianggapnya paling jitu dan masuk akal ”.
Saya pada waktu itu, juga kebanyakan orang yang ingin menjemput maut secara mandiri, punya semacam masalah kimiawi di otak karena beranggapan bahwa hidup ini harus sempurna dan segalanya mesti baik-baik saja.
Pikiran konyol semacam itulah yang disebut Dea sebagai “pikiran optimistik yang selalu tak siap kecewa”. Padahal, kita tahu bahwa rasa aman yang ajek dalam hidup semacam itu cuma mitos. Dan bila keinginan itu tak kesampaian, putus asa—dan bunuh diri sebagai kemungkinan terburuk—adalah jawabannya.
ADVERTISEMENT
Dengan kedewasaan berpikir sebagaimana sekarang, bila kini harus menanggung penderitaan berkali-kali lipat lebih hebat ketimbang yang terjadi pada September 2020 lalu, saya tak akan menggeser kaki saya sedikit pun buat lari sambil berpikir bahwa dunia ini tak layak huni.
Saya tetap akan mencintai diri saya dengan membiarkannya bertumbuh, menyeberangi penderitaan yang satu ke yang lain, guna memandangi dunia ini secara utuh: sadar bahwa bahagia, derita, mala, keberuntungan, kehilangan, seluruhnya, mesti kita rengkuh setiap saat, dengan atau tanpa persiapan apa pun.
Pikiran sehat semacam itu setidaknya telah membuat saya paham bahwa kepuasan hidup, cinta pada diri sendiri, dan keinginan untuk terus membaik saban hari sangat bertentangan dengan ambisi buat merakusi kebahagiaan sebanyak mungkin.
Saya lantas ingat dengan kawan saya, yang dengan kepercayaan diri serupa peraih Nobel, berulang kali berujar bahwa kebanyakan orang salah paham dengan kata ‘passion ’.
ADVERTISEMENT
Bila setiap orang, sebagaimana kawan saya, tahu bahwa kata ‘passion’ berasal dari bahasa Latin, ‘passio’, yang berarti ‘menderita’, mereka bakal sadar bahwa Colm dan Steinbeck adalah lelaki tua dengan akal sempurna belaka yang patut didengar nasihat-nasihatnya.
Hari-hari tetap bakal berlalu, wajah mereka mengkerut, dan ambisi buat mencapai sesuatu makin terkikis: tapi mereka tak akan lagi berpikir bahwa dunia adalah tempat suci dari nasib buruk dan kemalangan, yang dengan pandangan itu, mereka bisa hidup sepenuhnya, sampai puas, sambil merengkuh bahagia dan derita secara bersamaan dalam satu helaan napas panjang yang kita sebut sebagai usia.