Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Rekreasi, Toleransi, dan Empati
6 Juni 2023 20:29 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Setiawan Muhdianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seperti diberitakan salah satu media nasional, Bandung arah Lembang dan sebaliknya macet 4 jam imbas libur long weekend Hari Lahir Pancasila dan Waisak. Jalur Puncak Bogor pun macet parah, begitu pula dengan berbagai area wisata lain seperti Ancol, Ragunan, TMII dan Anyer.
ADVERTISEMENT
Kemacetan terjadi karena masyarakat mengisi hari libur panjang dengan berwisata bersama keluarga. Melepas lelah dan penat sejenak setelah rutinitas harian mereka diisi dengan kerja dan kerja. Meski sepulang wisata justru lelah dan stres lah yang mereka dapat karena macet.
Long weekend awal Juni ini ada 2 hari libur yaitu lahir Pancasila tanggal 1 Juni yang jatuh pada hari Kamis. Pada hari Minggu tanggal 4 Juni merupakan Hari Waisak. Hari Jumat tanggal 2 Juni ditetapkan sebagai cuti bersama Hari Waisak. Para pegawai dan siswa bisa merasakan libur selama 4 hari.
Hari besar keagamaan ditetapkan sebagai hari libur nasional dimaksudkan untuk memberi waktu kepada warga negara agar tidak bekerja. Libur Waisak memberi kesempatan kepada umat Buddha untuk merayakan dan menjalankan kewajiban agamanya. Mereka bisa pergi ke vihara, kuil, candi atau tempat lain untuk merayakan Waisak.
ADVERTISEMENT
Adanya cuti bersama dimaksudkan agar umat Buddha bisa menyiapkan dan merayakan Waisak dengan khidmat dan leluasa. Selain itu, pemerintah memang sengaja memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berlibur.
Ironisnya sebagian besar masyarakat tidak tahu tanggal 1 Juni adalah Hari Lahir Pancasila. Yang mereka tahu, 1 Juni tersebut adalah tanggal merah dan 2 Juni adalah cuti bersama. Mereka sudah ancang-ancang sejak awal tahun untuk mengisi libur panjang. Karena jatuh di hari Minggu, mereka juga tidak tahu bahwa 4 Juni 2023 adalah Hari Waisak.
Tanggal merah digunakan oleh masyarakat saat ini sebagai waktu untuk berlibur. Mereka meluangkan waktu untuk diri sendiri maupun keluarga dengan melakukan kegiatan rekreatif. Mereka isi liburan dengan melakukan hobi dan bepergian.
ADVERTISEMENT
Berwisata, berekreasi, piknik, jalan-jalan tidaklah dilarang. Bahkan beberapa pihak justru menganjurkan. Masyarakat cukup jenuh “di rumah saja” selama 2 tahun lebih. Pergerakan masyarakat yang dibatasi akibat pandemi Covid-19 cukup menghantam pariwisata. Ekonomi masyarakat perlu dibangkitkan. Sektor pariwisata cukup ampuh untuk menggerakkan roda ekonomi, bahkan sampai pelosok.
Meski demikian, toleransi harus disertai dengan empati. Rasa atau kesadaran mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran seperti orang yang sedang merayakan hari besar agamanya.
Lihatlah, umat Buddha melakukan kebaktian di vihara dengan khidmat. Nun jauh di sana, ribuan umat Buddha dari berbagai daerah bahkan dari luar negeri melakukan ritual di Candi Borobudur dengan syahdu. Sementara, ribuan bahkan jutaan orang melampiaskan kegembiraannya. Bersantai, bermain, bernyanyi dan berpesta melepas kesenangannya di tempat hiburan dan lokasi wisata.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama terjadi ketika Idul Fitri, Nyepi, Natal dan Imlek. Ada kesyahduan ada pesta. Ada kekhusyukan di sisi lain ada hingar-bingar. Ada kekhidmatan namun juga ada hura-hura. Yang lebih miris, hal itu banyak dilakukan oleh penganut agama itu sendiri.
Lantas, apa yang harus dilakukan?
Mulailah untuk mengasah empati. Mencoba Merasakan seperti mereka rasakan. Merasakan kekhidmatan mereka, merasakan kesyahduan mereka, merasakan kekhusukan mereka. Sepertinya kurang elok kita melampiaskan kesenangan kita tanpa batas, di kala ada saudara kita sedang merayakan hari besarnya.
Tak perlu memang kita mengikuti dan melakukan ritual agama lain. Tetap lakukan ajaran kita masing-masing dengan taat. Sembari merenung, berkotemplasi, bertafakur.
Suasana kebangsaan seperti ini sungguh indah. Sangat sederhana. Tak perlu memproklamirkan diri dan berteriak paling toleran. Sementara di lain sisi sungguh semangat untuk menuduh pihak lain intoleran.
ADVERTISEMENT
Empati yang terasah selalu memberi dan memberi. Saru, pamali dan tidak elok jika empati justru dituntut pada orang lain.
----( S M )----
Live Update