Antologi Rasa: Berputar-putar di Situ Saja

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
19 Februari 2019 9:22 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★☆☆☆☆ | Shandy Gasella
Cast Film Antologi Rasa. Foto: Giovanni/kumparan
Film Critical Eleven, adaptasi dari novel berjudul sama karya Ika Natassa yang diproduksi Starvision dan Legacy Pictures di tahun 2017, menggaet hampir sejuta penonton.
ADVERTISEMENT
Kesuksesannya itu lah membuat produser film tergoda untuk kembali mencoba mengadaptasi novel karya Ika lainnya. Yang mengherankan, baik Starvision maupun Legacy Pictures justru emoh untuk kembali memfilmkan novel karangan Ika, kini malah Soraya Intercine Films yang mengadaptasi novel lain itu yang berjudul Antologi Rasa. Dirilis di Hari Valentine, seromantis apa sih filmnya?
Penasaran akan makna 'antologi' yang tersemat dalam judul, bertentangan dengan apa yang tertera dalam kamus besar bahasa Indonesia yang mendefinisikan kata 'antologi' sebagai 'kumpulan karya tulis pilihan dari seorang atau beberapa orang pengarang'.
Saya mendapati bahwa novelnya sendiri ternyata ditulis oleh Ika Natassa seorang, tanpa kolaborasi dengan pengarang lain, dan juga mengisahkan satu cerita dalam satu novel—bukan berupa kumpulan beberapa cerita terbaik yang sempat ditulisnya lantas dikemas dan diterbitkan ulang dalam sebuah buku. Bukan.
ADVERTISEMENT
Filmnya sendiri juga bukan sebuah omnibus (ekuivalen dengan 'antologi' dalam istilah perfilman).
Jadi, barangkali 'antologi' yang dimaksud dalam benak Ika Natassa berarti 'kumpulan' atau 'himpunan', alih-alih memberi judul 'kumpulan rasa' atau 'himpunan rasa', biar keren ia ganti kata 'kumpulan' itu dengan 'antologi' yang sesungguhnya memiliki arti tersendiri, bukan sinonim dari 'kumpulan' atau 'himpunan'.
Jelaslah di sini telah terjadi penodaan terhadap linguistik, sebuah ilmu yang mempelajari bahasa dan kaidah-kaidahnya, sebuah ilmu yang mestinya diimani dengan teguh oleh setiap penulis, kok diingkari begitu saja.
Antologi Rasa disutradarai Rizal Mantovani, dengan naskah skenario tulisan Ferry Lesmana (Suzanna Bernapas dalam Kubur) dan Donny Dhirgantoro (The Guys, 5 cm), menceritakan kehidupan tiga orang banker — bukan teller atau customer service yang bergaji UMR ya, tetapi mereka semacam officer-officer muda di kantor pusat dengan gaji dan bonus besar hingga mereka mampu tinggal di apartemen mewah, bermobil lumayan keren, dan bisa sering nonton balap mobil dan dugem di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Dibungkus dalam genre drama, bukan komedi romantis, mestinya pembuat film telah menyiapkan materi dan penggarapan yang serius, bukan yang receh-receh macam yang ada di film-film remaja kebanyakan.
Tetapi, harapan saya ketinggian. Saya yang mengidap CFA atau Cheap Film Allergy, merasakan pening dan mual yang luar biasa selepas menontonnya.
Mungkin akibat komplikasi dari rasa jengkel lantaran saya menontonnya pada akhir pekan di sebuah mal paling hits di Jakarta yang harga tiket bioskopnya setara dengan harga 7 Kg beras pandan wangi organik asli Cianjur yang dijual di supermarket, dan saya mesti bersusah payah menembus kemacetan Jakarta demi sampai ke mal tersebut.
Keara (debut Carissa Perusset), banker super kece sekece-kecenya, membuka film dengan bernarasi lewat voice over membicarakan sesuatu tentang traveling, dan kita melihatnya sedang berada dalam kabin pesawat menuju Singapura.
ADVERTISEMENT
Di sebelahnya duduk seorang cowok ganteng bernama Harris (Herjunot Ali, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, 5 cm), teman sekantornya. Keara bercerita bahwa ada satu cowok lagi yakni Ruly (Refal Hady, Galih dan Ratna, Orang Kaya Baru), juga teman sekantornya yang mestinya ikut bersama mereka hingga di menit terakhir ia membatalkan untuk pergi.
Lantas kita dibawa ke sebuah flashback yang menceritakan awal mula mereka berteman. Ketiganya bertemu di lift kantor, kenalan terus temenan. Harris jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Keara, tetapi ia pendam sendiri rasa itu.
Hingga pada satu malam, Harris dan Keara dugem dan keduanya mabuk berat. Ruly datang menjemput dan membawa mereka pulang. Subuh-subuh Keara baru tersadar dari mabuknya (entah dikasih jampe-jampe apa oleh Ruly sampai ia bisa sober secepat itu padahal beberapa saat sebelumnya mabuk berat) dan keluar kamar mendapati Ruly, teman sekantornya itu, tengah khusyuk menunaikan salat subuh.
ADVERTISEMENT
Keara sejak itu jatuh hati kepada Ruly yang tak hanya ganteng tetapi alim dan juga baik hati.
Oh ya, di kehidupan nyata, orang yang mabuk berat sehabis dugem, bangun tidurnya pasti siang—paling awal mungkin jam 9 pagi, itu pun karena kebelet kencing.
Akan lebih afdol rasanya bila adegan Ruly sholat subuh itu diganti dengan adegan salat duha, yakni sholat sunah yang dikerjakan pada waktu matahari telah terbit atau naik kurang lebih 7 hasta hingga terasa panas menjelang salat zuhur, sekitar jam 7 sampai jam 11, jadi akan terasa lebih pas timing-nya dan enggak dibuat-buat.
Senakal-nakalnya Keara (saya gak berani bilang bejat), nampaknya ia masih mendambakan seorang calon imam saleh dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
Sayang, Ruly sendiri sudah lebih dulu menambatkan hatinya kepada cewek lain bernama Denise, yang juga sudah memiliki imamnya sendiri. Maka terjadilah cinta segi banyak yang bertepuk sebelah tangan, yang semestinya menawarkan plot cerita yang menarik dan rumit, tetapi justru malah sebaliknya.
Film ini tak menawarkan cerita apa-apa selain Keara dan Harris yang tak henti-hentinya bergumam tentang perasaan mereka, lewat voice over.
Permasalahan terbesar film ini adalah skenarionya yang seolah-olah hanya tersusun dari logline demi logline tanpa disertai kejadian-kejadian turunannya.
Nah, logline adalah ringkasan singkat berupa satu sampai dua kalimat yang menyatakan konflik dari plot cerita, biasanya disertai unsur emosional biar menggigit.
Mari kita lihat misalnya adegan Keara dan Harris yang ngobrol sambil rebahan di atas rumput malam-malam di Singapura.
ADVERTISEMENT
Barangkali logline-nya begini: Harris menyatakan kepada Keara bahwa ia telah menemukan cewek yang tepat untuk dinikahinya, yang tak diketahui oleh Keara cewek itu adalah dia sendiri.
Lantas pengejawantahan logline tersebut berupa sebuah adegan yang menampilkan Harris berbicara kepada Keara bahwa ia telah menemukan cewek sempurna untuk dinikahinya tetapi ia sembunyikan identitasnya, padahal kita sebagai penonton tahu bahwa yang dimaksud dengan cewek sempurna itu adalah Keara sendiri.
Inti cerita dari adegan tersebut apa? Bahwa Harris jatuh cinta kepada Keara, tetapi Keara tak menggubris segala perhatian Harris lantaran ia sudah jatuh cinta kepada Ruly—yang mana cerita tersebut adalah tak lain dan tak bukan premis filmnya sendiri, dan kita, sejak film mulai dari menit awal, sudah tahu akan hal itu.
ADVERTISEMENT
Idealnya, secara teori setiap adegan atau sekuen dalam film mestilah dibuat berdasarkan pemahaman ini: seseorang menginginkan sesuatu, tetapi ia kesulitan dalam mendapatkannya. Ada konflik, stake (taruhan), dan goal (tujuan).
Saya tak menemukan konflik berarti yang membuat Harris tak bisa berterus terang kepada Keara, apa tujuan dia dengan menyembunyikan perasaannya, dan tak masuk akal pula bahwa Keara tak menyadari dirinya ditaksir Harris selama mereka mengenal satu sama lain.
Bahkan status persahabatan yang diakui oleh masing-masing karakter di film ini terhadap satu sama lain tak jelas wujudnya.
Karakterisasi ketiga tokoh dalam film ini tak simpatik dan tak pernah konsisten, untuk tak menyebutnya tak masuk akal.
Keara naksir Ruly untuk hal yang tak pernah terjelaskan, bila alasannya karena kealiman Ruly, tak terlihat pula wujud konkret kealimannya itu selain adegan salat subuh yang satu kali itu.
ADVERTISEMENT
Harris juga tak memperlihatkan satu pun alasan yang meyakinkan tentang betapa ia mencintai Keara selain pernyataannya sendiri secara verbal kepada kita yang menggambarkan Keara sebagai cewek cantik yang beda dengan cewek kebanyakan.
Lalu Ruly yang mencintai Denise dan tak menggubris Keara, lebih tak masuk akal lagi, lantaran sehedon, sebebas apapun gaya hidup, dan setinggi apapun latar belakang pendidikan para tokoh di film ini, dalam logika film ini, bila kau mencintai seseorang walaupun cintamu tak berbalas, kau tak akan mampu untuk jelalatan apalagi “selingkuh” dengan orang lain.
Senaif itu semua orang di film ini. Sesetia itu, bahkan pada dasarnya mereka semua jomblo tetapi setia terhadap... Ah, sudahlah.
Tanpa perlu saya jabarkan seluruh inkonsistensi dan ketidakmasukalan film ini, tetapi satu saja sudah cukup mewakili, misalnya Keara yang naksir Ruly karena ia alim dan kalem dan baik hati.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah kesempatan, di balik rasa cintanya yang besar terhadap Denise, Ruly sempat menyosor bibir Keara, dan hal tersebut tak mengubah persepsi Keara terhadap image Ruly sedikit pun.
Justru rasa cintanya terhadap Ruly dapat hilang seketika manakala ia menyadari bahwa Ruly sebegitu mencintai Denise—dimana hal tersebut memang demikian adanya sejak di menit pertama film ini dimulai dan Keara sudah tahu akan hal itu dari awal!
Saya jadi ikutan muter-muter menjabarkan ketidakberesan film ini padahal intinya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa cerita film ini muter-muter di situ saja, tak ada konflik berarti, tak ada satu pun tokoh yang memiliki karakter yang ajeg, selama lebih dari satu setengah jam film ini tak menawarkan apa-apa selain informasi bahwa Keara mencintai Ruly tetapi Ruly mencintai Denise, dan Harris mencintai Keara tetapi Keara mencintai Ruly.
ADVERTISEMENT
Bahkan andai kata di pertengahan film Keara diceritakan mati terlindas puluhan bajaj yang kocar-kacir akibat razia gabungan Dishub dan Polri di bilangan Thamrin lalu Keara dihidupkan kembali oleh seorang ilmuwan yang memberinya tubuh bionik, di tangan kedua penulis skenario film ini, hal itu tak kan mengubah plot cerita sedikit pun bahwa Keara mencintai Ruly tetapi Ruly mencintai Denise, dan Harris mencintai Keara tetapi Keara mencintai Ruly. Itu saja yang diulang-ulang ya Tuhan.
Itu baru soal cerita, saya bahkan belum menyinggung soal penyutradaraan dan seni peran para aktornya.
Penyutradaraan Rizal Mantovani tak terasa bermanfaat selain arahannya kepada penata kamera untuk membingkai setiap adegan tampil se-video-klip mungkin.
Sebagian besar berhasil, hanya saja tak maksimal lantaran untuk sekuen exterior di Singapura beberapa adegan diambil menggunakan kamera standar vlogging yang ketika disambung dengan shot/adegan lain yang diambil menggunakan kamera proper, menjadi terlihat belang dan menyakitkan mata.
ADVERTISEMENT
Tak adil rasanya untuk menilai seni peran Carissa Perusset, Herjunot Ali, dan Refal Hady di saat materi dan treatment sutradara yang mereka dapatkan seminimal itu.
Saya melihat ketiganya sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi saya agak penasaran, ketika membaca skenario film ini, apakah mereka tidak sempat menelaah secara seksama, menimbang-nimbang, kemudian mual-mual?