Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Dinamika Distribusi Film di Era Platform Streaming yang Semakin Booming
12 Oktober 2020 13:10 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ada masanya ketika kita dengan penuh semangat menunggu majalah film bulanan terbit, atau membaca koran edisi akhir pekan, untuk mencari tahu apa yang aktor-aktris pujaan kita sedang lakukan, dan apa saja judul film terbaru yang siap tayang di bioskop kesayangan kita. Tapi, kini semua telah berubah, kita dapat ngetweet dan mention idola kita secara langsung dan mengobrol dengan mereka, bahkan para idola kita tanpa diminta atau ditanya kesibukannya, dengan sukarela memberitahu kita lewat instastory Instagram mereka misalnya. Lewat media sosial, para selebritas dapat mengungkapkan pikiran dan curahan hati mereka tanpa mediator (media) yang terkadang suka menambah-nambahi pernyataan mereka dengan berbagai bumbu penyedap rasa.
Di lain sisi, produser film melihat ruang digital untuk mempromosikan film mereka, dengan biaya yang relatif lebih ekonomis, namun berpotensi menjangkau sebanyak-banyaknya calon penonton. Melalui internet kita dapat mengakses informasi tentang banyak hal, termasuk dunia film, hanya dengan mengandalkan kelincahan jempol kita. Industri hiburan saat ini menghabiskan miliaran rupiah untuk pemasaran digital. Kini sebagian besar film nasional telah memilih digital sebagai platform pemasaran, karena dianggap memiliki daya jangkau tertinggi dan mampu memanfaatkan basis penggemar para pemain filmnya dengan lebih efisien.
ADVERTISEMENT
Dalam pemasaran dan distribusi film di Indonesia, setiap rumah produksi memasarkan langsung dengan cara bekerjasama dengan pihak bioskop. Namun bagi rumah produksi kecil, mereka yang baru memulai, atau sudah lama berkecimpung tetapi belum pernah mencetak angka box office yang lumayan, kesempatan menjajakan film di bioskop biasanya relatif sulit, untuk tak menyebutnya dinomorduakan. Mengingat banyaknya jumlah produksi film nasional yang menyentuh angka lebih dari seratus judul per tahun, pihak bioskop menggunakan kalkulasi bisnisnya tentu memprioritaskan film-film besar dari rumah produksi ternama dengan bintang-bintang yang lebih menjual.
Sementara film-film dari rumah produksi kecil dapat menempuh jalan yang berbeda nan berliku agar dapat masuk ke bioskop, misalnya dapat dengan cara mengikuti festival baik dalam maupun luar negeri, seperti yag terjadi pada film berjudul ‘Siti’ produksi Fourclolours Film. Diproduseri Ifa Isfansyah dan disutradarai Eddie Cahyono, film berbujet kecil tersebut pada akhirnya tayang di bioskop setelah mendapatkan sejumlah penghargaan dari pelbagai festival film dan dibicarakan di ruang publik secara luas. Walau sangat terbatas, film-film “kecil” juga dapat tayang di bioskop alternatif (non komersil) yang jumlahnya tak seberapa di seantero negeri, atau ditayangkan secara roadshow dari satu kota ke kota lain, biasanya di kampus-kampus — ini cara yang melelahkan untuk mengais uang yang barangkali tak seberapa, kecuali pembuat filmnya juga memiliki misi kemanusiaan lain seperti turut serta secara aktif mencerdaskan dan memperkaya bangsa lewat literasi film.
Keterlibatan dalam festival film adalah cara yang paling ideal bagi para sineas yang kurang didukung modal mencukupi, dalam usahanya menjual film agar dapat tayang di bioskop lantas menemukan penontonnya sebanyak-banyaknya. Atau melalui festival film juga pembuat film dapat bertemu dengan calon investor serta mencari agen distributor jika film tersebut sedang dalam tahap produksi atau bahkan masih pra-produksi. Pada tahap tersebut, pemasaran dilakukan secara B2B (business to business) di mana rumah produksi melakukan promosi ke pemangku kepentingan lain untuk mengumpulkan dana produksi.
ADVERTISEMENT
Namun saat ini, lanskap digital yang muncul telah dan akan terus mengubah cara film didistribusikan, dan begitu pula cara penonton mengkonsumsinya. Era digital tidak hanya meningkatkan kualitas dan kemudahan akses bagi khalayak dalam menonton film, tetapi juga mengoptimalkan biaya bagi produser untuk menjangkau khalayak massa yang lebih luas. Karena alasan ini, pemain dalam industri film harus cukup fleksibel untuk beradaptasi dengan tren baru atau perubahan preferensi pasar terhadap konsumsi media.
Ada banyak cara di era baru transformasi digital ini yang telah dan akan terus mengubah pemasaran dan distribusi film. Seperti di antaranya:
Kebangkitan Media Sosial
Keriuhan digital dengan cepat menggantikan promosi dari mulut ke mulut dalam menjangkau pasar. Tren bergeser “dari mulut ke mulut” dalam platform media sosial lebih dari yang kita lakukan dalam percakapan langsung sehari-hari. Media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, YouTube, dan yang terbaru TikTok memainkan peran penting dalam pemasaran film, tidak hanya melalui iklan berbayar, tetapi juga melalui postingan biasa yang dapat dimulai oleh para influencer atau tokoh dengan jumlah follower banyak, lantas publik secara luas akan meneruskannya untuk diperbincangkan lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Meningkatnya Pengguna Ponsel
Seiring dengan terus berkembangnya era digital, telepon seluler menjadi semakin premier sebagai kebutuhan pokok dan sebuah keharusan untuk dimiliki kalangan milenial dan sebagian besar audiens di rentang usia produktif, di seluruh dunia. Di wilayah tertentu, sudah terlihat tren di mana tingkat penggunaan telepon seluler lebih tinggi daripada komputer dalam hal aktivitas online. Tren tersebut menyiratkan bahwa fenomena ini dapat direplikasi ke pasar lain, seperti film, maka di Indonesia misalnya, perusahaan penyedia layanan transportasi terbesar Gojek, akhirnya ikutan juga merambah bisnis film atau konten media dengan meluncurkan layanan Goplay yang menayangkan sejumlah film dan serial baik lawas maupun produksi asli. Dan pengguna dapat menyaksikannya dengan biaya berlangganan per bulan.
ADVERTISEMENT
Di Amerika bahkan ada satu perusahaan baru yang menawarkan konten film dan serial yang khusus diciptakan untuk dinikmati melalui layar ponsel. Layanan tersebut bernama Quibi, sebuah platform streaming dengan skema pembayaran langganan per bulan, dan penggunanya dapat menikmati film/serial dengan durasi singkat rata-rata lima hingga sepuluh menit per film/episode serial, dan sebagian bahkan ditampilkan dalam rasio vertikal laiknya kita menonton Instastory atau video TikTok, bukan horizontal seperti lazimnya konten film kita nikmati selama ini.
Berbagai Macam VOD
Seperti kita ketahui, disrupsi digital yang terus berubah juga telah mengganggu industri perfilman dan media pada umumnya, terutama dari sisi jalur distribusi. Alternatif distribusi dan model bisnis jadi lebih banyak, seperti munculnya tren VOD yang menggantikan DVD/Bluray dan siaran TV konvensional. VOD sendiri telah mengalami perubahan signifikan dengan munculnya pelbagai jenis model, seperti Transactional Video On Demand (TVOD), Ad-based Video On Demand (AVOD), dan Subscription Video On Demand (SVOD). Saat ini, bahkan model hibrid atau model gabungan dari ketiga jenis VOD mulai bermunculan demi menarik minat para penikmat konten media secara lebih masif, beberapa di antaranya seperti KlikFilm, Mola TV memberlakukan sistem berlangganan campuran dengan menyediakan pula akses film tertentu yang mesti membayar di luar biaya langganan bulanan.
ADVERTISEMENT
TVOD memberikan kesempatan kepada penonton untuk hanya membelanjakan uang untuk film/konten tertentu yang ingin mereka tonton, daripada membayar biaya langganan tetap per bulan untuk semua konten yang tersedia. Opsi ini lebih diutamakan bagi penonton yang memiliki minat film yang lebih spesifik dibandingkan mereka yang suka konten random (acak). Contoh dari TVOD di antaranya Google Play Film, iTunes, dan BioskopOnline.com.
Sementara itu SVOD, kemungkinan besar merupakan salah satu model paling populer yang saat ini diadaptasi, adalah video berbasis langganan sesuai permintaan, di mana orang dapat berlangganan dengan biaya tertentu, dalam jangka waktu tertentu, dan dapat menyaksikan sebanyak-banyaknya konten yang dimiliki penyedia layanan. Contoh dari SVOD di antaranya Netflix, HBO Go, Disney+ Hotstar, KlikFilm, dan masih banyak yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Mari kita bahas salah satu contohnya, KlikFilm, sebagai penyedia layanan streaming film milik perusahaan dalam negeri. KlikFilm merupakan anak perusahaan Falcon Pictures, perusahaan film yang memproduksi banyak film hits seperti Warkop DKI Reborn, Dilan, dan juga Si Doel The Movie, yang sekitar 10 tahun lalu telah memprediksi bahwa platform video on demand akan berkembang secara pesat di dunia. Lantas mereka turut serta membangun Viu Clip pada masa-masa awalnya (sekarang berubah nama menjadi Viu) lewat kepemilikan saham. Tetapi, tak berlangsung lama Falcon kemudian menjual kembali sahamnya, dan fokus untuk membangun sendiri platform video on demand yang kemudian kita kenal sebagai KlikFilm.
“Kami ingin membangun platform streaming yang dapat menjadi rumah bagi film-film berkualitas dari seluruh dunia, terutama yang sulit kita temukan di mana pun — karena keterbatasan jalur distribusi — banyak sekali film yang tak sempat mampir tayang di bioskop kita. KlikFilm ada untuk mewadahinya.” Begitu keterangan Frederica, yang turut serta membangun Falcon Pictures bersama HB Naveen.
ADVERTISEMENT
KlikFilm dengan pendanaan yang tak sebesar Netflix tentu mesti memiliki caranya sendiri agar bertahan di industri streaming yang kini semakin booming, dan persaingannya ketat sekali. Maka, KlikFilm lewat kurasi dan programming-nya berusaha untuk menampilkan atau menjadi rumah bagi sekian banyaknya film “keren” dari pelbagai dunia, yang memang jarang atau tidak masuk bioskop sama sekali.
Karena keterbatasan ruang putar di bioskop, ratusan atau bahkan ribuan film tak memiliki kesempatan untuk dapat ditayangkan. Kehadiran KlikFilm, juga platform streaming lainnya, diharapkan dapat menekan akses ilegal terhadap film-film yang bertebaran di internet. Bila kita dapat mengakses film dengan mudah dan murah, serta mendapatkan kualitas audio visual yang mumpuni, rasanya lambat laun akses ilegal terhadap film-film bajakan akan menurun, sebab ketersedian film (yang legal) dan siap ditonton melalui platform streaming legal kian hari kian beragam saja. “Kami ngincer film-film independen yang keren-keren, yang emang layak ditonton banyak orang agar tersedia di KlikFilm.” Begitu harapan Frederica, yang terus bekerja membangun KlikFilm agar semakin diminati publik. Lebih dari satu juta orang telah berlangganan saat ini.
ADVERTISEMENT
AVOD, di sisi lain, melayani audiens yang terbatas anggaran alias cekak, atau memang bagi mereka yang mencari konten-konten gratis. Pengguna dapat menonton konten secara gratis dengan timbal balik bahwa mereka pun mesti bersedia menyaksikan sejumlah iklan. Contoh AVOD paling populer adalah YouTube. Iflix, penyedia layanan streaming asal Malaysia juga termasuk AVOD.
Perubahan Distribusi dan Pasar
Pemain SVOD terbesar seperti Netflix dan Disney+ Hotstar benar-benar memberi dampak langsung dengan mengganggu (atau melengkapi?) rantai distribusi di industri film, dengan menawarkan opsi alternatif untuk memasarkan film secara langsung melalui mereka daripada melalui rilis bioskop. Atau dapat pula setelah rilis dan turun dari bioskop, baru kemudian film masuk ke kanal streaming berbayar. Sekarang Netflix, Disney+ Hotstar, dan pemain layanan streaming lainnya telah menerapkan strategi agar memperoleh lisensi tayang sebuah film tayang perdana di platform mereka, seperti misalnya film Guru-guru Gokil (Sammaria Sismanjuntak, 2020) yang tayang perdana di Netflix, Sabar Ini Ujian (Anggy Umbara, 2020) -- baca ulasannya di sini , Benyamin 2 (Hanung Bramantyo, 2020) dan Warkop DKI Reborn 4 (Rako Prijanto, 2020) yang tayang perdana di Disney+ Hotstar, juga film Mudik (Adriyanto Dewo, 2019) yang tayang perdana melalui Mola TV dengan skema pembayaran pay per view. Pada saat pandemi Covid-19 melanda hingga membuat bioskop mesti tutup untuk sementara waktu, alternatif distribusi film melalui platform streaming merupakan solusi terbaik, bila bukan satu-satunya, yang tersedia saat ini.
ADVERTISEMENT
“Tempat film (bereksibisi) yang sebenar-benarnya adalah di bioskop.” Begitu sutradara Andibachtiar Yusuf pernah berujar. Semasa mengawali karirnya di industri film tanah air dengan membuat film dokumenter seperti ‘The Jak’ (2007) dan ‘The Conductors’ (2007) — keduanya diganjar Piala Citra, dan walaupun bergenre dokumenter, sebuah genre yang nyaris selalu disepelekan oleh penonton awam kebanyakan, tetapi Yusuf mati-matian berusaha agar kedua film tersebut masuk bioskop. “Sepi peminat satu hal, hal terpenting dari sebuah karya adalah dirayakan di ruangnya. Musik di panggung, foto dan lukisan di galeri, film di bioskop!” Ujar Yusuf yang telah berkiprah di industri film selama 15 tahun terakhir, dan saat ini ia termasuk mapan dengan produktif membuat sejumlah film populer seperti Dwilogi ‘Love for Sale’ (mengantarkan Gading Marten meraih Piala Citra pertamanya), dan ‘Pariban: Idola dari Tanah Jawa’ (2019). Belakangan ia sibuk terlibat memproduksi beberapa serial original pesanan beberapa penyedia layanan streaming di tanah air. Aktif terlibat dalam sejumlah produksi pesanan penyedia layanan streaming di tanah air ia anggap menggembirakan lantaran itu berarti ada ruang kreatif baru, juga penambahan tempat tayang, kesempatan sebuah karya bertemu penontonnya jadi semakin luas.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah kehadiran layanan streaming mengganggu atau justru melengkapi jalur distribusi yang sudah lebih dulu ada seperti bioskop? Semua kembali kepada sudut pandang kita, yang jelas perubahan itu pasti, terjadi di setiap zaman, dan yang paling pandai beradaptasi biasanya yang paling dapat mencari keuntungan.
Live Update
Mantan Menteri Perdagangan RI Tom Lembong menjalani sidang putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/11). Gugatan praperadilan ini merupakan bentuk perlawanan Tom Lembong usai ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung.
Updated 26 November 2024, 10:01 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini