'Exit', Film Bencana ala Korea Selatan yang Kocak dan Menegangkan

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
22 Agustus 2019 16:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★1/2☆☆ | Shandy Gasella
Poster film Korea, 'EXIT' Foto: CBI Pictures
Bila kita hanya melihat poster film ini tanpa pernah menonton trailernya, kita akan menduga bahwa Exit, film Korea terbaru yang sedang nge-hits di negeri asalnya ini, merupakan sebuah film bertema olahraga panjat tebing. Dugaan itu tak sepenuhnya salah, tetapi film yang ditulis sekaligus disutradarai Sang Geun-lee itu sejatinya bertema utama film bencana (disaster movie), sebuah genre yang lekat dengan Hollywood, lantaran menggarap film bencana sudah pasti memerlukan biaya tinggi untuk spektakel aksi. Properti yang dihancurkan, set (lokasi) dengan skala besar, belum lagi CGI dan efek praktis lainnya. Dan, praktis Hollywood memang jagonya membuat film sejenis ini.
ADVERTISEMENT
Korea Selatan adalah industri film yang terdepan dan mampu membuat film dengan spektakel yang menyamai Hollywood, namun masih tetap memiliki ciri khas identitas budayanya sendiri.
Film bertema bencana bukan mainan baru bagi sineas Korea, dulu pernah ada Haeundae (Yoon Je-kyoon, 2009), tentang bencana Tsunami yang menenggelamkan seisi kota; Pandora (Park Jung-woo, 2016), tentang gempa bumi yang mengancam bahaya lebih besar lagi lantaran merusak sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir. Bahkan Korea Selatan juga punya film monster seperti The Host (Bong Joon-ho, 2006) yang kedudukannya bahkan lebih tinggi ketimbang film-film monster Hollywood seperti Cloverfield, Godzilla, Anaconda, Lake Placid, Alien beserta seluruh sekuelnya, dan genre seperti action, crime, thriller bahkan sudah menjadi genre yang mainstream di industri film Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
Exit bercerita tentang seorang pria pengangguran bernama Yong-nam (Cho Jung-seok, The Face Reader, My Annoyoing Brother), yang saban hari hanya makan, tidur, makan, tidur, tapi ia tak lupa untuk selalu berolahraga pagi di sebuah taman yang selalu dipenuhi lansia. Konon semasa kuliah ia merupakan atlet panjat tebing yang cukup gemilang, sempat naksir dengan seorang perempuan yang juga jago panjat tebing, tapi cintanya bertepuk sebelah tangan.
Di luar keahliannya dalam panjat tebing, dalam hal lain ia nyaris tak berbakat. Maka dari itu ia selalu diejek oleh orang tuanya sendiri, oleh keponakannya yang masih kecil, juga oleh kakak perempuannya.
Walaupun ini film bencana, tetapi sutradara tak membangun set-up apa-apa di awal film. Justru film ini dimulai tak ubahnya sebuah drama keluarga biasa yang memotret sekelumit kehidupan sehari-hari keluarga Yong-nam; bapak-ibunya rebutan remote TV, kakak perempuannya yang mengomelinya, memberinya uang jajan tetapi kemudian Yong-nam malah marah dan melempar uang pemberian kakaknya itu, “Aku tak butuh belas kasihanmu!” Sembari mengusir kakaknya dari kamarnya, lantas uang yang ia lempar diambilnya juga. Sangat ketimuran bukan?
ADVERTISEMENT
Adegan-adegan keseharian seperti itu tak akan kamu jumpai di film-film Hollywood bertema bencana. Jika film ini dibesut sineas Hollywood, adegan pembukanya pasti soal para ilmuwan yang sedang bereksperimen membuat gas beracun, lalu di antara ilmuwan itu ada yang jahat, kemudian berniat melakukan teror, kira-kira seperti itulah. Dan jagoannya pastilah Dwayne Johnson, Gerard Butler, Chris Hemsworth, atau kalau perempuan Milla Jovovich atau Scarlett Johansson.
Di film ini jagoan kita adalah orang biasa, eh, maksud saya, orang biasa yang kebetulan jago panjat tebing. Enggak biasa-biasa amat dong ya. Hehe. Tetapi, aktor Cho Jung-seok secara tampilan kan memang seperti orang biasa pada umumnya, bukan action star yang ganteng banget dan berotot seperti Hemsworth atau Lee Byung-hun.
ADVERTISEMENT
Kembali ke cerita. Suatu hari, ibunya Yong-nam berulang tahun. Untuk merayakannya bersama keluarga dan sanak saudara, Yong-nam memesan sebuah tempat serba guna di sebuah gedung bernama Dream Garden yang lokasinya cukup jauh dari rumah. Ternyata ia bersikeras mem-booking gedung tersebut lantaran perempuan yang ditaksirnya semasa kuliah dulu, Eui-ju (Lim Yoona), bekerja di sana.
Pesta sudah hampir usai, malam semakin larut. Lalu kita diperlihatkan sebuah adegan exterior; sebuah truk tangki besar melintas di jalanan kota, lantas diparkir di depan sebuah gedung. Sang sopir turun, wajahnya mengenakan masker, lalu ia melepaskan gas asap dari tangkinya dan segera saja seisi kota dipenuhi gas asap tersebut. Siapa pun yang terkena asap menjadi kesulitan bernapas dan mengalami luka bakar pada kulit. Chaos pun terjadi.
ADVERTISEMENT
Mobil-mobil bertabrakan, orang berlarian di jalanan. Yang paham teknis pembuatan film, pasti bisa menilai bahwa segmen chaos tersebut sebetulnya dilakukan di sebuah jalan utama yang tidak besar-besar amat, sebesar perempatan Sarinah di Jakarta. Tetapi, dengan figuran yang begitu banyak, dengan mobil-mobil yang berderet di jalan, beberapa kendaraan bahkan dihancurkan, kesan action yang 'besar' yang kerap kita jumpai di film Hollywood bisa ditampilkan dengan skala yang sama.
Sudah pernah nonton film 22 Menit (Eugene Panji & Myrna Paramita, 2018) — yang syuting di perempatan Sarinah? Tidak ada megah-megahnya, padahal semestinya banyak mobil yang melintas atau berhenti di tengah jalan, banyak orang berlarian. Ya, memang baru sebatas itu kelas film action kita.
Film Korea Selatan 'EXIT' Foto: Facebook/@CJENMMOVIE
Kembali ke film Exit. Saat chaos, kakaknya Yong-nam berusaha keluar dari gedung dan hendak menaiki mobilnya, hingga kemudian ia terpapar asap misterius tersebut. Namun, tak lama Yong-nam menyelamatkannya dan membawanya kembali ke dalam gedung. Menyaksikan efek buruk yang diakibatkan oleh asap tersebut, Yong-nam berinisiatif meminta seluruh keluarganya untuk segera naik ke atap gedung. Dan, tak digubris! Semua orang selalu menyepelekannya, hingga kemudian penyiar berita di televisi memberikan anjuran yang sama, yakni meminta agar masyarakat yang berada di gedung untuk naik atap, barulah mereka kocar-kacir mencari jalan ke atas. Sekocak itu.
ADVERTISEMENT
Yong-nam si pengangguran yang dianggap tak bisa apa-apa itu kemudian menjadi pahlawan yang diandalkan semua orang agar dapat selamat dari bahaya asap beracun tersebut. Keahliannya dalam panjat tebing amat berguna dalam situasi hidup-mati tatkala pintu menuju atap gedung ternyata terkunci dan hanya dapat dibuka dari luar. Yong-nam mesti memanjat gedung, melompati dari gedung ke gedung, dan asap beracun itu semakin lama semakin naik dan memenuhi seisi kota.
Saya cukup dibuat stres dan jantungan menyaksikan adegan Yong-nam, juga Eui-ji yang mesti mendaki gedung yang amat tinggi-tinggi itu demi bertahan hidup, dan tensi ketegangan yang dihadirkan film ini amat pol-polan. Waspadalah jika kamu punya fobia ketinggian, saya enggak main-main, film ini memang semenegangkan itu! Dan, kocak!
ADVERTISEMENT
Di sini tak ada sub plot tentang tokoh penjahat yang mesti dilumpuhkan ala film Hollywood. Sudah lihat film Hobbs and Shaw yang dibintangi Dwayne Johnson dan Jason Statham? Saya sih muak lihat film segenerik itu, dan sukses tertidur pulas di bioskop. Tetapi, Exit ini lain; ia punya formula action yang tak kalah seru dengan Hollywood, tetapi masih ada sisi drama dan konteks sosial yang dekat dengan kita, sesama orang Timur.
Di dunia yang ideal, mestinya kita, warga +62, lebih dekat dan lebih menyukai film-film Korea Selatan ketimbang Hollywood yang sering kali film-film action-nya kering kerontang itu. Apalah artinya menonton action yang hanya jualan 'dar-der-dor' dan ledakan demi ledakan bila ia tak dapat menggugah perasaan kita sebagai manusia yang penuh dengan rasa dan karsa ini? Film-film Korea Selatan selalu mempunyai aspek tersebut, menjadikannya khas, dan esensial.
ADVERTISEMENT
Action, drama, komedi, suspense, bahkan sedikit sentuhan romansa hadir dengan cukup imbang dalam Exit. Tentu saja ada beberapa flaw (kekurangan), tapi tak sebanding dengan segala keseruan film ini secara keseluruhan.