Konten dari Pengguna

Film 'Ad Astra': Luar Angkasa dan Cerita Tampil Sama Dangkalnya

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
23 September 2019 17:06 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
22
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★☆☆☆☆ | Shandy Gasella
Film 'Ad Astra' Foto: IMDB
zoom-in-whitePerbesar
Film 'Ad Astra' Foto: IMDB
Jika hanya menyaksikan tampang aktor Brad Pitt yang awet ganteng itu, maka barangkali anda akan menikmati film arahan James Gray (The Lost City of Z) ini. Sebagian besar wajah Brad Pitt ditampilkan dalam shot close up, sementara ia tak melakukan apa pun yang betul-betul konkret selain terus bermonolog tentang omong kosong selama dua jam. Bagi saya, film ini justru merupakan sebuah penghinaan terhadap genre fiksi ilmiah luar angkasa.
ADVERTISEMENT
Saya tak menafikan bahwa capaian teknis film ini amat luar biasa. Terutama dari segi sinematografi dan desain produksinya yang megah dan indah. Tetapi lain daripada itu, katakanlah bahwa sebagian orang menganggap film ini ‘deep deep gimana gitu’ — ada yang menyebutnya puitis, sebuah studi karakter, demikian kata sebagian besar pengagumnya. Namun, bagi saya, preeet! Justru baik secara psikologi, muatan filosofi juga secara keilmuan (science) teramat tipis dan dangkal adanya.
Syahdan sebuah misi perjalanan antariksa ke planet Neptunus dalam rangka mencari keberadaan makhluk cerdas (alien) berakhir tragis; hilang tanpa kabar apa pun. Hingga tiga dekade kemudian, terjadilah serangan kosmik yang mengancam kehidupan di bumi juga planet-planet di sekitarnya, yang disebut sebagai sentakan gelombang. Penerjemah film ini dengan gegabah mengartikan lemasurge’ sebagai ‘gelora’, untung bukan ‘gelora membara’. Sentakan gelombang tersebut ternyata berasal dari Planet Neptunus.
ADVERTISEMENT
Spacecom, perusahaan antariksa yang bertanggung jawab atas misi pencarian alien yang gagal tempo dulu, menduga bahwa sang kapten misi tersebut, yakni Clifford McBride (Tommy Lee Jones, Man in Black, Space Cowboys), masih hidup dan menjadi pelaku atas terjadinya sentakan gelombang yang mematikan tersebut.
Lantas disiapkan lah sebuah misi baru ke Neptunus untuk mengatasi persoalan itu. Kali ini mereka mengutus anak Clifford sendiri bernama Roy McBride (Brad Pitt), astronot dengan profil bak jagoan agen rahasia terlatih.
Film 'Ad Astra' Foto: IMDB
Karakter Roy McBride diceritakan tidak mudah panik, detak jantung yang selalu terjaga di bawah 80 bpm (beats per minute)--rata-rata pria berusia 45-50 tahun memiliki detak jantung 88-149 bpm--serta mental dan emosi yang terjaga. Hal ini dibuktikan dengan scene ia selalu lulus tes kejiwaan.
ADVERTISEMENT
Kemudian ia diberitahu bahwa ayahnya, seorang astronot legendaris yang dahulu meninggalkannya semasa ia remaja, ternyata masih hidup. Roy yang sudah paruh baya pun menjadi gamang dan sensitif seperti anak emo yang baru putus cinta.
Perlu tiga kali transit dari Bumi ke Neptunus. Pertama Roy menaiki pesawat ulang alik komersil menuju Bulan, di sana ada pesawat ulang alik lain yang disediakan untuknya pergi ke Mars. Saat mendarat di Bulan dan menaiki rover untuk sampai ke pangkalan pesawat ulang alik, dia diserang oleh sejumlah penjahat yang tak jelas motif dan tujuannya apa. Mereka ada seolah biar film ini jadi agak seru saja. Biar ada adegan tembak-tembakannya. Biar tidak bikin ngantuk juga.
Lalu dalam perjalanan menuju Mars, Roy dan beberapa kru mesti berhenti dahulu di tengah perjalanan untuk merapat ke sebuah pesawat luar angkasa lain. Dan ternyata seluruh krunya sudah tewas akibat diserang monyet gila.
ADVERTISEMENT
Apakah kemunculan monyet gila tersebut memiliki signifikansi terhadap plot? Apa yang menyebabkan ia gila dan membunuh seluruh kru pesawat, tak terjelaskan sama sekali. Lagi-lagi adegan itu ada, saya duga, biar film jadi tidak terlalu monoton.
Di Mars, Roy diminta untuk mengirimkan sebuah pesan suara kepada ayahnya nun jauh di Neptunus. Pesan suara tersebut mesti direkam di dalam sebuah ruangan kedap suara mirip studio rekaman musik pada umumnya.
Kenapa mesti di ruangan kedap suara? Kenapa mesti direkam di Mars? Kenapa tak merekamnya di Bumi, lantas dikirim ke Mars untuk kemudian di-relay kembali ke Neptunus?
Hal-hal konyol yang bertentangan dengan nalar terus bermunculan. Seperti misalnya ada lubang saluran got yang menuju ke sebuah danau bawah tanah di Mars. Untuk apa lubang saluran got itu? Apakah di Mars juga ada Kura-kura Ninja?
ADVERTISEMENT
Oh, ternyata lubang itu ada agar Roy bisa masuk ke sana. Lantas ia bisa menyelam dan secara diam-diam bisa masuk ke area landasan roket. Kemudian ia panjat saat mesin roket sudah dinyalakan, dan ia bisa masuk ke dalam roket tersebut yang tengah terbang menembus atmosfer Mars. Sutradara Chris Nolan bisa tertawa sampai ngompol bila menonton film ini.
Kekonyolan demi kekonyolan datang silih berganti, membuat pengalaman menonton film ini tak hanya menjemukan, tetapi juga terasa menghina akal sehat saya. Tak pernah saya merasa dilecehkan sedemikian rupa oleh sineas Hollywood. Dibandingkan film ini, setiap sekuel Transformers jadi terasa amat ilmiah dan begitu nyata.
Namun begitu, saya tetap bertahan hingga akhir lantaran memiliki prasangka baik bahwa barangkali bakal ada kejutan di akhir film. Dan, naudzubillah, ketika kita pada akhirnya dipertemukan dengan ayahanda Roy, yang wallahualam kehidupan seperti apa yang ia jalani selama puluhan tahun di dalam pesawat luar angkasa seorang diri, entah bagaimana ia bertahan hidup, pokoknya ia masih hidup dan sehat walafiat. Kita diminta untuk menelan cerita itu begitu saja.
ADVERTISEMENT
“Roy, bersamamu... kita berdua, kita dapat menuntaskan misi pencarian alien ini!” seru Clifford kepada anaknya itu. Anak yang mewarisi bakat dan minatnya untuk mengeksplorasi alam semesta. Lima menit kemudian Clifford berusaha bunuh diri.
Saat menyaksikan momen itu, ingin rasanya saya tertawa terbahak-bahak. Tetapi situasi studio bioskop tempat saya menonton teramat sunyi, maka saya pun cukup membatin saja. Ngedumel dalam hati.
Clifford yang tega membunuh seluruh awak kru agar tak ada yang menghalanginya menyelesaikan misi, lantas bertahan hidup puluhan tahun seorang diri. Pada akhirnya ia lebih memilih untuk ‘tenggelam’ di kehampaan ruang angkasa. Dan cerita selesai. Tamat. Seperti itu. Tak ada imbalan apa pun yang cukup berarti di pengujung film.
ADVERTISEMENT
Sumber dari segala malapetaka itu, sumber yang menimbulkan sentakan gelombang—sentakan gelombang yang mesti menempuh jarak lebih dari tujuh miliar mil agar sampai ke Bumi dan amat berbahaya itu. Anehnya, untuk tak menyebutnya dungu, tak berpengaruh terhadap lingkungan terdekatnya, yakni pesawat luar angkasa di mana alat itu berada, tak terdampak sama sekali.
Andaikan bukan Roy pun yang pergi ke Neptunus, akhir cerita akan sama saja. Clifford ditemukan, pesawat luar angkasanya diledakkan. Bumi selamat dari ancaman kiamat. Perlu ada kejelasan mengapa mesti Roy yang pergi, dan bukan orang lain.
Sayang, duo penulis naskah film ini, James Gray dan Ethan Gross (keduanya terlibat dalam pembuatan film The Lost City of Z) sama-sama dungu dan tak berbakat, entah bagaimana caranya mereka nge-pitch cerita film ini hingga pada akhirnya bisa terlaksana. Apakah tidak ada di antara para produser dan investor yang hadir kala test screening, lantas menggugat betapa konyolnya film yang mereka biayai pembuatannya ini.
ADVERTISEMENT
Tapi Pak... film ini tuh personal, puitis, deep deep gimana gitu...
Dalam genre yang sama, ada film yang berjudul Interstellar (Christopher Nolan, 2014) atau First Man (baca ulasan saya di sini) garapan Damien Chazelle misalnya, yang personal, betulan deep deep gimana gitu, juga realistis, yang dikemas dengan keahlian dan bakat seni dari pembuatnya yang bukan main.
Andaikan ada makhluk cerdas selain kita dari planet lain nun jauh di sana, yang suatu hari sempat mengunjungi Bumi. Semoga mereka tak akan pernah menemukan film ini, saya tak rela bila kita mesti kena ejek, “Ternyata makhluk Bumi sebloon ini, Gaes.”