Review 'Rampage': Film Adaptasi Game yang Menyenangkan

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
12 April 2018 13:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rampage (Foto: youtube)
zoom-in-whitePerbesar
Rampage (Foto: youtube)
ADVERTISEMENT
Rating 3/5 (***) | Shandy Gasella
Mengadaptasi video game menjadi tontonan yang menghibur sekaligus mampu memindahkan elemen-elemen dalam game menjadi narasi film yang tak mengecewakan, baik bagi fans dan non-fans, bukanlah pekerjaan mudah, bahkan bagi sineas Hollywood yang memiliki sumber daya paling mumpuni sekali pun.
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat, film Hollywood berdasarkan adaptasi game lebih sering menjadi tontonan yang mengecewakan, lihat saja ‘Tomb Raider’ “reborn” dengan Alicia Vikander yang menggantikan Angelina Jolie sebagai Lara Croft kekinian.
Banyak yang berharap film tersebut mampu memperbaiki segala kesalahan yang pernah dilakukan ‘Tomb Raider’ era Jolie, namun selain memberikan look Lara Croft yang baru dengan dadanya yang kecil – menjadi satu-satunya pencapaian terbaik film tersebut, secara keseluruhan ‘Tomb Raider’ “reborn” di bawah arahan Roar Uthaug, mengambil langkah yang sama yang dulu pernah ditapaki oleh Simon West dan Jan de Bont ketika menggarap dua film Tomb Raider era Jolie; dalam versi terbaru, kecuali look-nya, citra Lara Croft masihlah sama, dan filmnya sendiri sama-sama terbebani keinginan agar dianggap sebagai film serius. Hasilnya tontonan yang membosankan dengan selingan adegan-adegan action yang diatur sedemikian rupa agar muncul pas di kala rasa kantuk mulai menyerang.
ADVERTISEMENT
Mengambil contoh lain, kita juga bisa melihat ‘Warcraft’ (Duncan Jones, 2016) yang begitu dicaci maki baik oleh fans, penonton awam, maupun kritikus yang kompak mengutuk film tersebut. Dan, apakah Anda masih ingat dengan ‘Assassin’s Creed’ (Justin Kurzel, 2016) yang dibintangi sejumlah aktor papan atas seperti Michael Fassbender, Jeremy Irons, Marion Cotillard, dan Brendan Gleeson? Selain malapetaka, tak ada kata lain yang dapat mendeskripsikan film tersebut dengan lebih pas lagi.
Sulit untuk keluar dari belenggu kutukan yang kerapkali menimpa film-film adaptasi game. Dan, Hollywood nampaknya gak kapok-kapok. Lantas bagaimana dengan ‘Rampage’ yang juga diadaptasi dari game ini?
Barangkali ‘Rampage’ yang digawangi Brad Payton (‘Journey 2: The Mysterious Island’, ‘San Andreas’) bakal mematahkan kutukan tersebut. Dibintangi aktor kesayangan sang sutradara sendiri, Dwayne Johnson, dengan tagline “Big meets bigger” rasa-rasanya penonton bakal tergoda untuk berbondong-bondong ke bioskop.
Rampage (Foto: youtube)
zoom-in-whitePerbesar
Rampage (Foto: youtube)
Sebelum kita membahas sedikit alur film dan apa opini saya terhadapnya, mari kita menengok sebentar gamenya sendiri. ‘Rampage’ dibuat oleh developer game Bally Midway, diperkenalkan kepada publik di tahun 1986, satu tahun setelah saya lahir.
ADVERTISEMENT
Di masa kecil saya pada tahun 90-an, saya sempat mencoba permainan tersebut lewat ding dong (atau “arcade machine” kata orang Amerika). Game tersebut memiliki premis yang sangat sederhana; kita sebagai pemain, diberikan kesempatan untuk memainkan monster-monster raksasa; George si gorila raksasa, Lizzie si kadal raksasa, dan Ralph si manusia serigala raksasa. Misi permainannya sendiri hanya satu, yakni menghancurkan gedung-gedung kota, memakan manusia, menghancurkan helikopter, tank militer, mobil polisi, dari satu kota ke kota lain. Sederhananya kita menjadi penjahat, dan sensasinya begitu menyenangkan.
Tentu saja premis game tadi tak bisa diterjemahkan begitu saja ke dalam film tanpa diberikan perubahan tertentu. Lagipula, mana bisa penjahat menjadi protagonis dalam sebuah film blockbuster?
Alkisah Davis Okoye (Dwayne Johnson, ‘Jumanji Welcome to the Jungle’, ‘San Andreas’), seorang ahli primata, memiliki hubungan bromance yang istimewa dengan seekor gorila albino bernama George (diperankan Jason Liles via motion capture).
ADVERTISEMENT
Mereka berkomunikasi lewat bahasa isyarat. Tak sekedar cerdas, George juga memiliki emosi yang rapuh akibat trauma psikologis di masa lalu, tetapi ia punya satu kelebihan yang memvalidasi kecerdasannya, yakni selera humornya yang tinggi.
Adegan perkenalan karakter George dan Davis dibuat sedemikian jenaka dan efektif. Seekor gorila kesulitan membaur dengan kawanannya di sebuah fasilitas penangkaran hewan, Davis dan kawan-kawannya datang untuk membereskan hal tersebut.
Keadaan kemudian tak terkendali saat si gorila terlihat mengancam, seorang kawan Davis yang tak memahami perilaku gorila, memancing kemarahan si gorila tadi. Saat si gorila bersiap menyerang, datanglah George, menghadang serangan si gorila dan menyelamatkan kawannya Davis.
Tapi, ketegangan belum berakhir sampai di situ. George juga nampaknya tidak senang dengan keberadaan kawan Davis tersebut, Davis membujuk George dan memohon agar ia tak menyakiti kawannya tersebut.
ADVERTISEMENT
Saat si kawan Davis ini menangis karena ketakutan barulah George memperlihatkan sisi jenakanya dengan mengatakan kepada Davis, dalam bahasa isyarat tentu saja, bahwa ia tengah bercanda! Jenaka karena apa yang dilakukan George sungguh tak terduga, dan efektif membuat saya sebagai penonton jatuh cinta begitu saja terhadapnya. Saya peduli akan keberadaan dan nasibnya di film ini seketika itu juga.
Dan, itu merupakan salah satu hal yang paling penting, yang seringkali luput dari perhatian pembuat film action/fantasi/monster pada umumnya, misalnya siapa yang peduli akan nasib yang menimpa Kong dalam ‘Kong: Skull Island’? Dalam ‘Rampage’ kita peduli akan nasib George, ikut merasa takut saat jiwanya terancam, ikut merasa sedih saat kita tahu apa yang telah dilalui George di masa lalu, dan ikut tertawa gemas saat George tengah bercanda.
ADVERTISEMENT
Sama seperti gamenya sendiri, kisah film ini dibangun di atas premis yang sama tipisnya, dan generik, yakni “eksperimen gagal yang membawa bencana.”
Sebuah korporasi jahat melakukan eksperimen mutasi gen terhadap hewan-hewan agar berubah menjadi lebih besar, lebih kuat, dan lebih agresif. Eksperimen tersebut dilakukan di sebuah stasiun luar angkasa untuk menghindari kecurigaan pihak berwajib.
Akibat kecelakaan tak terduga, stasiun luar angkasa tersebut meledak, memuntahkan tiga formula ke permukaan bumi, tentu saja mendarat di Amerika; satu mendarat di sebuah hutan dan ditemukan seekor serigala, satu menghantam permukaan sebuah sungai, dan satu lagi mendarat di kandang George.
Tiga hewan terinfeksi, dan ketiganya berubah menjadi raksasa yang kuat sekaligus agresif. George yang kesulitan memahami apa yang terjadi terhadapnya kemudian menjadi sering mengamuk.
Rampage (Foto: youtube)
zoom-in-whitePerbesar
Rampage (Foto: youtube)
Bos korporasi jahat di balik bencana tersebut, Claire Wyden (Malin Akerman, ‘Watchmen’, ‘The Final Girls’) berusaha untuk mendapatkan sampel dari eksperimennya tersebut, rencana yang ia miliki; mengaktifkan pemancar gelombang suara berfrekuensi rendah yang dapat mengganggu ketiga monster, mengundang mereka ke tengah kota dan berharap pihak militer akan membunuh mereka dengan mudah. Dan ia tinggal cuci tangan sesudahnya.
ADVERTISEMENT
Maka begitulah motif keberingasan ketiga monster ini diciptakan sebagai sarana keperluan plot dalam menerjemahkan premis game menghancur-hancurkan gedung pencakar langit. Seklise kedengarannya, namun apa yang tampak dalam sajian film sungguhlah sebuah spektakel yang menghibur, betul-betul pengalaman guilty pleasure terasyik yang saya dapatkan sepanjang tahun ini.
Kehadiran Jeffrey Dean Morgan (lebih terkenal sebagai Negan dari serial TV ‘The Walking Dead’) sebagai Harvey Russel, agen pemerintah yang ditugasi menangani kemunculan para monster, membawa warna tersendiri, dan bobot lebih yang membuat film ini tak terasa sebagai film kelas B berbudget besar.
Kenyataannya, film ini memang film kelas B, tetapi mahal. Dan justru karena tak terbebani untuk tampil serius atau mengincar Oscar, ‘Rampage’ berakhir jadi tontonan yang mengesankan. Saya bahkan berencana untuk menonton ulang film ini.
ADVERTISEMENT
Moviegoer kelas berat tentu tak hanya mengenal Jeffrey Dean Morgan sebagai Negan dari ‘The Walking Dead’, berada dalam satu film bersama Malin Akerman dan Dwayne Johnson, keberadaan ketiganya memiliki arti tersendiri yang obskur. Thomas Wayne/The Comedian, Silk Spectre II, dan Black Adam dalam satu film!
Jangan jengah dulu menyaksikan film aksi yang menawarkan adegan penghancur-hancuran kota, ‘Pacific Rim Uprising’ boleh jadi meninggalkan kesan traumatis yang mendalam saking “ancurnya” film tersebut (baca ulasannya di sini), tetapi ‘Rampage’ menawarkan pengalaman yang amat menyenangkan.
Dwayne Johnson selepas penampilannya yang cemerlang lewat ‘Jumanji Welcome to the Jungle’ kembali memberikan pesona dan jaminan box office seperti yang sudah-sudah. Selepas menyaksikan film ini saya semakin yakin bahwa masa Tom Cruise telah berakhir, kini saatnya Dwayne Johnson menggantikannya menjadi king of Hollywood.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian penonton barangkali penampilan George raksasa di film ini bakal mengingatkan mereka akan King Kong, selain perbedaan warna bulu yang mencolok, keduanya memang mirip. Tetapi, bagi sebagian penonton yang lain boleh jadi menyaksikan George dalam film ini mengingatkan mereka akan Harambe, si gorila yang malang.
Tak sekedar menjadi tontonan pelarian dari kenyataan sesaat, satu hal yang saya sukai dari film ini ialah perhatiannya dalam menghadirkan beberapa momen yang emosional, dan usaha pembuat film ini dalam mengadirkan George sebagai karakter yang memiliki dimensi amat perlu diapresiasi lebih.
'Rampage' adalah jenis film blockbuster yang saya harapkan bakal sering hadir; tak malu-malu untuk tampil apa adanya; non-stop campy, sesederhana premis video gamenya sendiri.
ADVERTISEMENT