Konten dari Pengguna

'The Battle: Roar to Victory', Film Perang Korsel yang Bikin Iri

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
10 September 2019 17:35 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★★☆ | Shandy Gasella
Shandy Gasella. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Shandy Gasella. Foto: kumparan
Kore--baik Korea Utara maupun Korea Selatan--mendapatkan kemerdekaan dari tirani pendudukan Kekaisaran Jepang pada 15 Agustus 1945, hanya selang dua hari lebih awal dari hari kemerdekaan kita. Bila kita sempat dijajah Jepang selama tiga tahun (1942-1945), Korea lebih nelangsa lagi, mereka dijajah selama 36 tahun (1910-1945).
ADVERTISEMENT
Seperti kita dan juga bangsa-bangsa lain yang pernah terjajah, rakyat Korea mesti berperang mati-matian demi mempertahankan tanah airnya. Sejarah pernah mencatat kekejian tentara Jepang dalam peristiwa yang disebut Gerakan Kemerdekaan 1 Maret 1919 yang membuat 7.509 orang korban tewas, 15.850 korban luka, dan 45.306 orang ditangkap. Serta 715 rumah, 47 gereja, dan dua sekolah dibakar dari pihak Korea.
Alkisah setelah peristiwa berdarah tersebut di atas, setahun kemudian (1920) terjadilah peristiwa perlawanan dari tentara kemerdekaan Korea melawan tentara Jepang di daerah pegunungan Manchuria. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan Pertempuran Fengwudong, dan untuk kali pertama pihak Korea memenangkan perangnya atas tentara Jepang.
The Battle: Roar to Victory karya Won Shin-yeon (Memoir of a Murderer, The Suspect) ini memvisualkan pertempuran tersebut.
The Battle: Roar to Victory Foto: IMDb
Penulis naskah film ini mampu menjahit potongan fakta-fakta yang tercatat dalam sejarah. Misalnya saja mulai dari jumlah korban jiwa baik dari pihak Jepang maupun pihak Korea, lokasi peristiwa, tokoh-tokoh yang terlibat, lantas menciptakan beberapa tokoh fiktif sebagai tokoh-tokoh utama. Dengan begitu tidak ada pengkultusan satu dua tokoh pahlawan selayaknya yang sering terjadi dalam film Indonesia yang mengangkat tema serupa.
The Battle: Roar to Victory Foto: IMDb
Dalam The Battle, rakyat jelata Korea non-militer justru menjadi sosok pahlawan, representasi yang kemudian dirayakan oleh segenap warga Korea. Lebih dari tiga juta pasang mata telah menyaksikan film ini pada hari penayangannya yang ke-9 di bioskop di Korea.
ADVERTISEMENT
Sutradara Won Shin-yeon mengarahkan film ini dengan semangat yang mirip dari film Taegukgi: The Brotherhood of War (Kang Je-gyu, 2004), Fury (David Ayer, 2014), atau Hacksaw Ridge (Mel Gibson, 2016) yang keras, sadis, dicampur elemen humor dan getir, dan pada saat yang bersamaan juga terasa amat menghibur layaknya film-film action blockbuster.
Seorang komandan muda dari pejuang kemerdekaan Korea bernama Jang-ha (Ryu Jun-yeol) memiliki rencana untuk memancing para tentara Jepang, termasuk pasukan elit mereka, agar datang ke suatu titik di mana pada akhirnya nanti mereka bakal dihabisi bak sekumpulan tikus yang terkena perangkap maut.
Rencana yang diperhitungkan sedemikian cermat, melibatkan banyak pejuang. Salah satunya adalah seorang yang rela ditangkap oleh tentara Jepang agar ia bisa mengumpulkan infomasi, dan ada pula sekelompok mantan bandit, semacam preman pensiun, yang tergerak hatinya untuk ikut berjuang merebut kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Para preman ini diketuai oleh Hae-cheol (Yoo Hae-jin, Luck-Key, A Taxi Driver), sesosok berwajah tak rupawan--untuk tak menyebutnya jelek.
The Battle: Roar to Victory Foto: IMDb
Dalam industri film Korea, tokoh utama sebuah film memang tak selalu mesti diperankan aktor ganteng. Para pemilik wajah yang biasa saja, namun berkemampuan akting mumpuni lebih punya nilai jual di sana. Tak seperti di negara kita, aktor-aktor yang enggak ganteng atau enggak cantik selalu berakhir jadi peran pendukung, dan terkadang sekadar buat ngeramein saja.
Misalnya saja seperti aktor Yoo Hae-jin dan Oh Dal-su. Meski keduanya memiliki paras yang dirasa tidak setampan aktor Korea Selatan pada umumnya, namu mereka memiliki popularitas tinggi. Keduanya kerapkali mendapatkan peran utama dalam film-film serius.
The Battle: Roar to Victory tak henti-hentinya memperlihatkan adegan pertempuran, dari awal hingga akhir. Dan semua pertempuran itu disajikan dengan brutal: Kepala-kepala terpenggal, kaki dan tangan putus terkena tebasan pedang, potongan badan yang hancur terkena ledakan bom, ngeri-ngeri sedap.
ADVERTISEMENT
Sedapnya karena, ketika kita menyaksikan para tentara Jepang yang bengis itu. Film ini menampilkan aksi keji tentara Jepang yang tak segan membunuh warga sipil jelata termasuk anak-anak, memperkosa para wanita lantas membunuh mereka setelahnya, hingga menyaksikan para tentara Jepang lainnya dihabisi secara brutal. Adegan ini bisa saja menjadi katarsis bagi kita. Ada rasa puas menyaksikan mereka menemui ajalnya dengan cara yang mengenaskan. Bagi saya, film ini berhasil memberikan katarsis.
Karena kita memiliki kedekatan dengan Korea, dalam hal pernah sama-sama dijajah oleh Jepang. Buat kamu yang barangkali punya dendam kesumat yang diturunkan dari kakek-buyut, atau sekadar rasa kesal terhadap para penjajah Jepang, tontonlah film ini sebagai sarana pelepasan rasa dendam tersebut. Sebagai katarsis, film ini berhasil memberi kita rasa plong di pengujung film.
ADVERTISEMENT
Kita memiliki peristiwa bersejarah yang bakal terlihat mirip dengan The Battle bila difilmkan, yakni peristiwa Pertempuran Bojong Kokosan. Dalam pertempuran itu diceritakan satu batalyon tentara Inggris, NICA, termasuk tentara Gurkha tewas di tangan prajurit TKR Sukabumi yang memberondong mereka ketika konvoi dengan senjata rampasan yang ditembakkan dari atas tebing kiri-kanan jalan.
Kekalahan yang kemudian memaksa tentara sekutu membombardir kecamatan Cibadak dan Parungkuda pada 10 Desember 1945 dengan pesawat-pesawat tempur Royal Air Force (Angkatan Udara Inggris), dan sejarah mencatatnya sebagai serangan pesawat tempur salah satu yang terbesar sepanjang Perang Dunia II.
Biarlah kita berangan-angan dulu untuk memiliki film perang yang seru nan megah, sambil tetap berdoa ada production house yang cukup gila mau menghabiskan minimal Rp 200 Miliar buat ongkos syutingnya. Nah sambil menunggu itu terjadi, dan entah kapan, boleh lah kita cari inspirasi dulu dari film ini.
ADVERTISEMENT
Nilai produksi film The Battle: Roar to Victory terasa mahal sekali dengan banyaknya figuran, kostum, senjata, lanskap setting yang luas di alam liar terbuka, sekuens-sekuens perang dengan koreografi action yang inventif, tertata dan tersaji dengan apiknya hingga menimbulkan rasa iri, “Kapan ya industri film Indonesia bisa berada di level yang sama dengan Korea Selatan, industri yang dibangun secara kolektif; Negara, swasta, sineas, dan penonton bersama-sama turut andil membesarkannya?”