Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
'The Peanut Butter Falcon': Film Kecil yang Berhati Besar
12 Oktober 2019 10:24 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★★☆ | Shandy Gasella
Terkadang di waktu yang tak terduga, kita, para penonton film di Indonesia, dikejutkan oleh kehadiran film kecil, yang tak jarang justru memberi pengalaman menonton yang lebih asyik ketimbang film-film arus utama. Amerika populer dengan film-film Hollywood-nya, tetapi banyak juga film independen, yang tak didukung studio-studio besar, dibuat oleh para filmmaker yang tentu saja bukan dari nama-nama besar, filmnya lantas diputar secara terbatas dengan waktu pemutaran yang singkat, atau bergerilya dari satu festival film ke festival lain.
ADVERTISEMENT
‘The Peanut Butter Falcon’ adalah satu dari sekian banyak film kecil dari Amerika itu, disutradarai sekaligus ditulis oleh Tyler Nilson dan Michael Schawrtz, film ini sempat rilis terbatas di negara asalnya pada Agustus 2019 lalu, dan kita cukup beruntung dapat menikmatinya juga. Di kawasan Asia Tenggara hanya di Indonesia film yang diperankan Shia LaBeouf dan Dakota Johnson ini turut ditayangkan.
Shia LaBeouf dan Dakota Johnson memang dua nama yang beken di jagat internasional, tetapi karier keduanya saat ini sedang redup-redupnya, terlebih Shia pasca ‘Fury’ (David Ayer, 2014), sudah lama menghilang dari dunia glamor Hollywood. Dakota angkat nama lewat ‘Fifty Shades of Grey’ (Sam Taylor-Johnson, 2015) lantas bermain cukup apik dalam ‘Bad Times at the El Royale’ (Drew Goddard, 2018) — sayang film tersebut kurang diterima pasar.
ADVERTISEMENT
Bicara pasar, selera penonton Amerika memang selera pasaran. Di sana harga tiket nonton bioskop cukup mahal, jadi wajar jika mereka pilih-pilih, dan cenderung selalu memilih film arus utama lantaran biasanya film tersebut unsur hiburannya kuat. Sejelek-jeleknya film Hollywood masih lumayan lah, begitu kata pepatah.
Kita, warga +62, bernasib jauh lebih baik dari orang Amerika dan bahkan lebih dari separuh populasi dunia lainnya, dalam hal kesempatan menonton film. Kita memiliki bioskop dengan kualitas salah satu yang terbaik di dunia, dengan harga karcis yang termurah! Bahkan jika karcis bioskop yang termurah itu pun kau tak mampu beli, internet dapat diakses tanpa perlu ragu rumahmu akan digedor polisi lantaran mengakses situs streaming ilegal misalnya. Hehe. Tentu saya tak menyarankannya. Tapi, percayalah sepatutnya kita bersyukur tinggal di Indonesia dengan bioskop-bioskop mewah tetapi murah tersedia di kota-kota besar.
ADVERTISEMENT
'The Peanut Butter Falcon' sedang tayang di bioskop-bioskop non-XXI sejak hari Rabu lalu (9/10/2019), dan saat ini di antara sekian banyak film yang sedang tayang berbarengan di bioskop, inilah film yang paling dapat memberimu pengalaman batin, mengisi hatimu dengan kebahagiaan, dan jika kamu seorang sineas atau kepengin jadi sineas, inilah film yang dapat dipelajari atau dijadikan rujukan, lantaran sesungguhnya secara teknis dan anggaran, film ini sekelas dengan film-film produksi anak bangsa. Tetapi, ide cerita yang baik memang buah pemikiran yang mahal, dan memang jarang keluar dari pemikiran sineas kita. Hehe lagi.
Di paragraf awal saya berbicara soal bioskop dan film kecil (independen), karena saya ingin agar kau tergerak untuk beranjak ke bioskop mumpung ada film yang bagus, dan ini film langka pula. Saya cukup muak menyaksikan beberapa film bagus yang sedang tayang akhir-akhir ini justru malah dihindari penonton, entah apakah itu murni perkara selera atau karena kurang referensi. Singkatnya, ‘The Peanut Butter Falcon’ adalah film terbaik yang sedang tayang di bioskop saat ini, dan saya tak pernah merekomendasikan sebuah film seperti ini sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Berkisah tentang Zak, seorang penderita down syndrome — diperankan oleh Zack Gottsagen, seorang penderita down syndrome betulan, yang setelah dua tahun dirawat di sebuah panti jompo, memutuskan untuk kabur demi menggapai cita-cita menjadi seorang pegulat profesional.
Mengapa seorang penderita down syndrome dirawat di panti jompo? Film ini memberi argumen bahwa kebetulan fasilitas dinas sosial dari pemerintah yang dapat mengurus Zak pada saat itu hanya di panti jompo. Tetapi, begitulah negara besar semestinya memperlakukan warganya yang miskin bukan? Pemerintah memberi mereka rumah untuk bernaung, tak seperti di negara kita, walau diamanatkan undang-undang, fakir miskin banyak yang hidup menggelandang.
Pembuat film ini cukup jenius membangun adegan pembuka sekaligus sebagai sarana memperkenalkan tokohnya dengan amat efektif, tak lebih dari lima menit, kita sudah tahu bagaimana perangai Zak, dan seketika itu kita berada di pihaknya! Zak yang cerdas, untuk tak menyebutnya sedikit licik, tetapi juga lugu dan berhati baik ini kabur dengan cara melewati teralis besi jendela kamarnya, sekujur tubuhnya dilumuri sabun, lucu sekali menyaksikan aksinya itu, tetapi juga kita ikut khawatir akan nasibnya di dunia luar yang cukup berbahaya baginya.
ADVERTISEMENT
Untunglah ia bertemu dengan Tyler (Shia LaBeouf), seorang nelayan yang juga sedang melarikan diri lantaran telah merusak properti milik orang lain secara sengaja. Zak dan Tyler menjadi dua orang buronan, Zak dicari Eleanor (Dakota Johnson), petugas dinas sosial, sementara Tyler diburu para nelayan yang dendam terhadapnya. Sebuah film road trip di perkampungan pesisir Amerika yang jarang sekali kita saksikan di film-film arus utama, entah bagaimana, saya merasa ini menjadi film road trip paling original yang saya tonton dalam beberapa tahun terakhir. Chemistry di antara Shia LaBeouf, Zack Gottsagen dan Dakota Johnson terasa amat genuin dan alamiah, juga likeable.
Ada momen-momen, diutarakan lewat flashback yang digarap dengan taste yang baik, oh, pembuat film ini yakni Tyler Nilson dan Michael Schawrtz menunjukkan taste-nya yang amat tinggi dalam filmmaking; sinematografi, pengadeganan, dialog, dan pilihan musiknya yang hadir sepanjang film menegaskan itu. Nah, lewat flashback yang menampilkan cameo Jon Bernthal sebagai kakak dari Tyler, kita mengetahui latar belakang kisahnya yang pahit.
ADVERTISEMENT
Perjumpaan Tyler dangan Zak adalah katarsis hidupnya — untuk dapat berdamai dengan dirinya sendiri, dan bagi kita, menyaksikan kisah mereka lewat film ini adalah juga katarsis sebagai upaya pembersihan batin akibat terlalu banyak menonton film jelek. Film ini mampu mengisi rohani dan hati kita, tanpa lupa untuk menghibur dengan cara yang paling jenaka.
Beginilah film selaiknya dibuat, dengan cerita, aktor-aktor, sutradara, penulis, dan sinematografer yang mumpuni. Sebagai perbandingan, barangkali nuansa atau feel film ini dekat dengan film 'Captain Fantastic' (Matt Ross, 2016), film kecil tentang sebuah keluarga yang juga perlu kau tonton sebelum mati!
Duo sutradara Tyler Nilson dan Michael Schwartz telah membuat sebuah kisah petualangan yang lain daripada yang lain, yang mengedepankan karakter-karakternya sebagai manusia per se, sementara sutradara lain lebih sering sibuk mengurusi spektakel.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya film ini menyajikan sebuah kisah perjalanan yang berat dari rasa kehilangan, penyesalan, dan penebusan (dosa), tetapi lewat gelaran emosi, terutama bagian kisah hidup Zak yang ngenes (ditinggalkan keluarganya sendiri) namun ia masih memiliki harapan untuk berjuang hidup, nuansa kelam hampir tak terasa, tergantikan getaran positif dan kebesaran hati yang akan terbawa oleh kita selepas pertunjukan film usai.
Ingat, kita punya bioskop terbaik di dunia, dengan harga karcis paling murah, dan film ini sedang tayang, jadi tunggu apa lagi? Film ini terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja.