Ekstensifikasi Cukai atas Minuman Berpemanis: Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Shelma Aliyanisa
Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
3 Januari 2022 16:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shelma Aliyanisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Minuman Berpemanis. Source: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Minuman Berpemanis. Source: pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia menduduki posisi ke-5 dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 19,45 juta di tahun 2021 (Pahlevi, 2021). Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 179,72 juta, berarti prevalensi diabetes di Indonesia menyentuh 10,6% dari seluruh penduduknya. Dalam mengonsumsi minuman berpemanis dapat meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit diabetes. Maka dari itu, prevalensi diabetes ini didukung dengan kondisi Indonesia yang menempati urutan ke-3 dengan konsumsi minuman berpemanis paling tinggi di Asia Tenggara dengan tingkat konsumsi minuman berpemanis sebanyak 20,23 liter per orang setiap tahunnya (Ferretti & Mariani, 2019).
ADVERTISEMENT
Diabetes merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan kematian secara bertahap, kelainan sekresi insulin atau kerja insulin (Manurung, 2019). Diabetes ini memiliki julukan sebagai mother of disease, disebabkan penyakit ini dapat menimbulkan adanya penyakit-penyakit baru seperti hipertensi, penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke, gagal ginjal, dan kebutaan (Selvi, 2020). Tingginya prevalensi penderita diabetes di Indonesia memberikan eksternalitas negatif terhadap produk yang dikonsumsi, dalam hal ini adalah berbagai jenis minuman berpemanis.
Eksternalitas negatif yang timbul dari konsumsi minuman berpemanis tersebut dapat menjadi dasar urgensi pemerintah untuk melakukan pengendalian terhadap konsumsi tersebut. Sampai saat ini dalam pengendalian konsumsi minuman berpemanis hanya dilakukan sosialisasi mengenai bahaya dalam mengonsumsi minuman berpemanis serta dampaknya yaitu penyakit diabetes. Pemerintah juga telah menanggung biaya pengobatan masyarakat yang menderita penyakit diabetes melalui Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) sebagai langkah kuratif. Namun atas segala upaya pemerintah tersebut, tampaknya belum cukup berhasil jika berkaca dari angka prevalensi diabetes saat ini.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat menjadi titik balik bagi pemerintah untuk mulai menggunakan instrumen kebijakan fiskal, yaitu cukai sebagai bagian dari perluasan upaya preventif. Atas urgensinya, pemerintah mulai memasukkan minuman berpemanis kedalam rencana ekstensifikasi pengenaan cukai. Di tahun 2022, pemerintah berencana menerapkan cukai minuman berpemanis atau minuman bergula dalam kemasan (Imam, 2021). Namun dalam melakukan ekstensifikasi pengenaan cukai ini, tentunya pemerintah akan menimbang kondisi aktual perekonomian di tahun 2022 sebelum diterapkannya cukai minuman berpemanis tersebut.
Mengingat kehadiran cukai ditujukan untuk mengendalikan eksternalitas negatif terhadap barang-barang tertentu yang peredarannya harus diawasi. Dari penerimaan cukai minuman berpemanis tersebut dapat dialokasikan untuk mendanai penyakit yang diakibatkan oleh konsumsi minuman berpemanis. Dapat dilihat juga melalui beberapa negara yang telah berhasil menerapkan cukai atas minuman berpemanis seperti Perancis, Meksiko dan Thailand. Lantas rencana ekstensifikasi pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis ini memiliki potensi untuk diterapkan di Indonesia. Untuk itu, penulis akan memaparkan bagaimana potensi ekstensifikasi barang kena cukai pada konsumsi minuman berpemanis dan dampak apa yang akan ditimbulkan dari implementasi tersebut di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Potensi Pengenaan Cukai Minuman Berpemanis
Pengenaan cukai atas minuman berpemanis dalam kemasan juga memiliki berbagai tujuan. Salah satunya dengan pengenaan cukai atas minuman berpemanis dapat menambah penerimaan negara. Dapat dilihat juga melalui beberapa negara yang telah berhasil menerapkan cukai atas minuman berpemanis seperti Berkeley di Amerika Serikat yang penerimaan negara atas cukai minuman berkarbonasi sekitar $2 juta dan pengenaannya digunakan untuk meningkatkan nutrisi dan mengurangi konsumsi, serta di negara Meksiko pada tahun 2014 pendapatan dari penerimaan Cukai minuman berpemanis mencapai USD $ 1,2 miliar (Roache & Gostin, 2017).
Dalam penyelenggaraan rapat antara Menteri Keuangan, Komisi Keuangan DPR RI dan pihak terkait lainnya, telah diajukan tarif cukai yang berbeda-beda untuk minuman teh dalam kemasan, minuman bersoda, dan minuman energi dan kopi yang berkisar mulai dari Rp1.500-Rp2.500 per liter (Akbar, 2020). Berdasarkan tarif tersebut, maka dapat diperkirakan potensi dari penerimaan cukai tersebut mencapai Rp6,25 triliun yang dapat menambah penerimaan negara, dan pengenaannya akan dialokasikan untuk program-program peningkatan kesehatan. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyatakan bahwa pengenaan cukai ini akan membantu meningkatkan penerimaan negara terutama pada kondisi pandemi dan pasca pemulihan pandemi kelak yang membutuhkan penerimaan negara untuk melakukan belanja atas keperluan penyelenggaraan negara.
ADVERTISEMENT
Selain berpotensi meningkatkan penerimaan negara, pengenaan cukai atas minuman berpemanis memiliki dampak dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Jika penerapan cukai berhasil dengan tarif yang sesuai, maka hal ini dapat mengurangi konsumsi minuman berpemanis. Penurunan konsumsi ini juga sejalan dengan penurunan produksi yang diprediksi akan turun sebesar 2,02 miliar liter untuk teh kemasan, 687 juta liter untuk minuman berkarbonasi (Alika, 2020). Keberhasilan penerapan cukai minuman berpemanis juga dapat membuat adanya peralihan konsumsi masyarakat ke minuman non gula sebagai substitusi seperti yang terjadi di Meksiko, di mana terjadinya peningkatan konsumsi air mineral sebesar 2,1% pada tahun 2014-2015 (Murwani et al, 2020).
Dampak yang Ditimbulkan dari Implementasi Cukai Minuman berpemanis
Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan tentunya akan menimbulkan pro dan kontra. Dari pelaksanaan cukai atas minuman berpemanis ini mendapat kontra penolakan dari sisi pengusaha minuman. Hal ini disebabkan pengusaha yang merasa jika dikenakan cukai, maka harga jual yang dikeluarkan oleh pengusaha akan lebih mahal yang akan berdampak pada menurunnya penjualan. Minuman berpemanis merupakan barang yang bersifat elastis. Kenaikan 1% harga dapat menurunkan 1.72% dari permintaan (Mutaqin, 2018). Apabila dikenakan cukai sehingga menyebabkan harga yang naik, maka konsumsinya akan menurun tajam. Penurunan ini tidak hanya mengurangi penerimaan pemerintah, tetapi membebani perekonomian secara makro. Hal ini disebabkan karena dampak penurunan ini akan dirasakan juga oleh sektor-sektor lain yang digunakan atau menggunakan minuman ringan untuk menghasilkan outputnya (Mutaqin, 2018).
ADVERTISEMENT
Para pengusaha juga menyatakan bahwa apabila kebijakan ini diterapkan, maka akan berpengaruh terhadap iklim investasi di Indonesia dan hal tersebut tidak sesuai dengan semangat yang dicetuskan oleh Joko Widodo untuk menciptakan iklim investasi yang ramah di Indonesia. Namun, apabila dilihat kembali pada urgensi penerapannya, dampak dari cukai minuman berpemanis ini tidak akan lebih besar daripada dampak lain yang ditimbulkan dari implementasinya. Sehingga diperlukan kajian lebih mendalam agar peraturan ini tetap dapat mengakomodasi iklim bisnis sekaligus mengurangi tingkat konsumsi minuman berpemanis di Indonesia.
Oleh: Shelma Aliyanisa/Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia
Referensi:
Alika, R. (2020). Tolak Cukai Minuman Manis, Asosiasi: Pendapatan Usaha Kecil Bisa Turun Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul "Tolak Cukai Minuman Manis, Asosiasi: Pendapatan Usaha Kecil Bisa Turun" , https://katadata.co.id/happyfajrian/berita/5e9a470f6. Diambil kembali dari katadata.co.id: https://katadata.co.id/happyfajrian/berita/5e9a470f6a473/tolak-cukai-minuman-manis-asosiasi-pendapatan-usaha-kecil-bisa-turun
ADVERTISEMENT
Akbar, Caesar. “Cukai Minuman Berpemanis, Pukulan Telak Bagi Industri.” Last modified 2021. https://bisnis.tempo.co/read/1310053/asosiasi-cukai-minuman-berpemanis-pukulan-telak-bagi-industri.
Ferreti, F., & M, M. (2019). Sugar-sweetened beverage affordability and the prevalence of overweight and obesity in a cross section of countries. Global Health.
Imam, Y. (2021, Desember 22). Pemerintah Berpeluang Terapkan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan pada 2022 Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Pemerintah Berpeluang Terapkan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan pada 2022", Klik untuk baca: https://newssetup.ko. Diambil kembali dari Newssetup: https://newssetup.kontan.co.id/news/pemerintah-berpeluang-terapkan-cukai-minuman-berpemanis-dalam-kemasan-pada-2022
Mutaqin, Z. (2018). Dinamika Aspek Kesehatan dan Ekonomi dalam Kebijakan Pengendalian Minuman Berkarbonasi di Indonesia. Quality Jurnal Kesehatan, 1(1), 26–37.
Murwani, S., Karmana, I. W., Hasibuan, H. D., & Sriyanto, A. (2020). Urgensi Pengenaan Cukai Pada Minuman Ringan Berpemanis. Jurnal Perspektif Bea dan Cukai , 132-151.
ADVERTISEMENT
Manurung, R. D. (2019). Gambaran karakteristik penderita diabetes melitus yang berobat jalan ke poli interna RSUP H.Adam Malik Medan. Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan Jurusan Keperawatan, 2.
Pahlevi, R. (2021, November 22). Jumlah Penderita Diabetes Indonesia Terbesar Kelima di Dunia. Retrieved from datadoks: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/22/jumlah-penderita-diabetes-indonesia-terbesar-kelima-di-dunia
Rosyada, H., & Ardiansyah, B. G. (2018). Analisis fisibilitas pengenaan cukai atas minuman berpemanis (sugar-sweetened beverages). Kajian Ekonomi & Keuangan, 234.
Selvi, S. H. (2020). Kajian Kebijakan Pengenaan Cukai Minuman Berpemanis. Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, 195-204.