news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Princess Mononoke: Alegori Rivalitas Industrialisasi dan Ekonomi Lingkungan

Silva NF Lestari
Alumnae of Major Developmental Economic, Economic Faculty, Universitas Terbuka. An Economics Enthusiast Mom
Konten dari Pengguna
12 Maret 2023 17:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Silva NF Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Mengulik aspek ekonomi-sosial yang digambarkan oleh Hayao Miyazaki secara alegori dalam anime Princess Mononoke.

ADVERTISEMENT
Spoil alert!
Image by upklyak on Freepik
Siapa yang tidak mengenal Studio Ghibli? Studio yang identik dengan tokoh Totoro ini tidak hanya memanjakan mata pemirsanya dengan gambar animasi yang menarik, namun juga menyajikan cerita yang memiliki tempat tersendiri di hati penikmatnya. Cerita yang disajikan tidak hanya cerita ringan seperti halnya Ponyo namun juga cerita yang bersifat alegori atau memiliki makna terselubung. Salah satu cerita alegori besutan Studio Ghibli yang mampu meledakan otak saya adalah Princess Mononoke karya Hayao Miyazaki.
ADVERTISEMENT
Sinopsis
Cerita berawal dari adanya serangan Tatari Gami--babi hutan yang dikutuk menjadi monster yang diselimuti oleh cacing yang mematikan, ke pemukiman suku Emishi. Seorang pemuda dari Suku tersebut, Ashitaka, berusaha menghalau Tatari Gami, namun naas, tangannya terluka akibat menyentuh cacing yang meliputi Tatari Gami. Ashitaka perlu meninggalkan kampung halamannya dan pergi ke Barat untuk mendapatkan penawar kutukannya dan apabila dia tidak berhasil untuk memperoleh penawar tersebut, luka yang dideritanya akan menyebar ke seluruh tubuh dan mendatangkan kematian baginya.
Dalam perjalanannya, Ashitaka bertemu dengan beberapa tokoh lain, misalnya: Jigo, sang pendeta yang ternyata tidak memiliki idealisme yang lurus; Lady Eboshi, sang feminis pemimpin Iron Town; dan tentu saja Princess Mononoke, seorang gadis yang dibesarkan oleh kawanan serigala.
ADVERTISEMENT
Lady Eboshi, Keterlibatan Wanita dalam Pembagunan Ekonomi
Ilustrasi Women Empowerment, foto bersumber dari rawpixel.com
Alih-alih Princess Monoke atau Ashitaka yang menjadi sentral anime ini, Lady Eboshi merupakan tokoh yang menjadi favorit saya. Lady Eboshi digambarkan sebagai seorang pemimpin wanita yang tangguh dan banyak nilai yang dapat diambil dari seorang Lady Eboshi.
Lady Eboshi menempatkan penduduk wanita sebagai penggerak utama roda perekonomian di Iron Town. Para wanita tersebut tidak lagi ditempatkan untuk mengerjakan tugas domestik, namun ikut terjun di ruang publik yang digambarkan dengan adegan bekerja di pabrik penempaan besi. Di sisi lain, saya menyimpulkan bahwa penduduk pria Iron Town juga ikut andil dalam pekerjaan domestik seperti penyediaan makanan bagi keluarga melalui cara bertani dan memancing. Meskipun demikian, para pria tetap ikut berperang bersama Lady Eboshi untuk memperluas daerah eksploitasi sumber daya dan kekuasaan mereka. Kesimpulannya, Iron Town menerapkan kesetaraan gender di bawah kepemimpinan Lady Eboshi.
ADVERTISEMENT
Melalui penggambaran Iron Town, Hayao Miyazaki mengungkapkan ide yang banyak diamini oleh para ekonom dan organisasi internasional yang bergerak dalam pembangunan ekonomi seperti IMF dan OECD bahwa kesetaraan gender mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi dan mempersempit kesenjangan ekonomi. Tak ayal, Miyazaki menggambarkan Iron Town sebagai peradaban yang cenderung lebih maju jika dibandingkan dengan suku lainnya.
Di dunia nyata, khususnya di negara berkembang, keterlibatan perempuan dalam ruang publik dapat dikatakan masih timpang jika dibandingkan keterlibatan pria. Perempuan masih ditempatkan sebagai pengurus urusan domestik, jikalau pun memiliki pekerjaan, pekerjaan yang dimiliki para perempuan tersebut lebih banyak berada pada sektor informal. Besarnya ketergantungan perempuan terhadap pencari nafkah utama, menjadikan perempuan sebagai golongan ekonomi rentan terlebih ketika pencari nafkah utama meninggal dunia atau memutuskan untuk menghentikan nafkah akibat perceraian.
ADVERTISEMENT
Kembali kepada sifat kepemimpinan Lady Eboshi, Lady Eboshi cenderung menjalankan kepemimpinan yang egaliter terlihat dari bagaimana cairnya para penduduk Iron Town dalam berkomunikasi dengan pemimpinnya. Lady Eboshi, sedikit banyak menerapkan ethical industrialism, meskipun tidak secara utuh karena dia melupakan aspek lingkungan. Lady Eboshi merangkul para penderita kusta dan merawatnya dengan kasih sayang di mana para penderita kusta ini merupakan kaum yang terpinggirkan. Tidak batasan komunikasi antara penderita kusta dengan Lady Eboshi, sehingga wajar jika mereka menganggap Lady Eboshi sebagai dewi penolong.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Lady Eboshi bersama penduduk Iron Town memiliki sifat tamak dan destruktif, sifat tercela yang tidak dapat dipisahkan dari sifat dasar manusia. Sifat tamak ini yang kemudian menjadi pangkal konflik pada kisah Princess Mononoke.
ADVERTISEMENT
Princess Mononoke Sang Environmentalis
Ilustrasi pegiat lingkungan hidup, foto bersumber dari rawpixel.com
Princess Mononoke merupakan musuh bebuyutan bagi Lady Eboshi. Bagaimana tidak, kedua perempuan ini memiliki dua idealisme yang sangat berbeda di mana Lady Eboshi secara ambisius berusaha mengeksploitasi alam sedangkan Princess Mononoke mati-matian mempertahankan lingkungan untuk tetap alami sebagaimana mestinya.
Entah hanya perasaan saya sebagai seorang pemirsa atau memang demikian ide yang ingin disampaikan oleh Miyazaki, seolah San (nama asli Princess Mononoke) seperti berjuang sendiri. Seingat saya, hanya Ashitaka, manusia yang berusaha berada di pihak San, meskipun terkadang langkah yang diambil oleh Ashitaka berusaha untuk bersikap netral antara pihak San dengan Lady Eboshi. Kemungkinan Miyazaki berusaha menyampaikan bahwa pada saat ide anime Princess Mononoke dibuat, kondisi environmentalis dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan sangat berat jika disandingkan dengan gempuran kapitalisme dan industrialisme.
ADVERTISEMENT
Isu dari persaingan antara pelestarian lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi juga digambarkan melalui perilaku para roh hutan di anime ini. Proses industrialisasi yang sangat pesat berimplikasi pada berubahnya pemanfaatan lahan yang semula sebagai habitat flora dan fauna endemik daerah tersebut menjadi daerah yang difungsikan untuk kebutuhan manusia seperti pemukiman, industri, dan komersil. Tidak hanya flora dan fauna, modernisasi yang terlalu ekspansif tanpa mempertimbangkan kerifan budaya setempat juga tidak jarang menumbuhkan rasa kekecewaan pada penduduk asli setempat. Tatari Gami merupakan gambaran bagaimana roh hutan yang secara turun temurun mendiami hutan menyimpan rasa marah dan jijik terhadap perilaku manusia yang sangat destruktif. Semakin lama perasaan marah tersebut mengubah spirit-spirit tersebut menjadi monster yang ironisnya sama merusaknya, baik itu bagi perkampungan yang diterjangnya maupun bagi diri sang spirit sendiri.
ADVERTISEMENT
Tidak Ada yang Menang di Akhir Cerita
Foto bersumber dari: rawpixel.com
Puncak konflik terjadi ketika adanya peperangan antara pihak San yang berusaha menyelamatkan roh hutan dengan pasukan Eboshi dan Jigo yang berusaha memburu kepala roh hutan. Singkat cerita Eboshi dan sekutunya berhasil memenggal kepala roh hutan. Bukannya, mati Shishigami (roh hutan) berubah menjadi nightcrawler yang menjadikan hutan dan Iron Town hancur. Pesan yang disampaikan mungkin sesederhana bahwa pada perang tidak ada yang mutlak menjadi pemenang. Cara untuk meredam konflik ialah berusaha hidup secara beriringan.
Perselisihan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan ditengahi dengan suatu konsep bernama ekonomi berkelanjutan (sustainable economy). Ekonomi berkelanjutan mencari jalan tengah bagaimana pemenuhan kebutuhan ekonomi manusia tidak harus serta merta mengorbankan lingkungan. Berbagai cara telah dilakukan untuk menerapkan ekonomi berkelanjutan, antara lain circular economy dan penerapan pajak pigouvian.
ADVERTISEMENT
Perusahaan yang mengimplementasikan circular economy akan berupaya mendaur ulang limbah hasil usaha dan melakukan treatment khusus agar limbah yang tidak dapat didaur ulang tidak berbahaya bagi lingkungan. Tidak hanya mengurangi dampak negatif bagi lingkungan, circular economy juga memberikan dapat memberikan tambahan produk sampingan bagi perusahaan sehingga dapat menambah pendapatan.
Sementara itu, secara teori pajak pigouvian dideskripsikan sebagai pajak yang dibebankan kepada individu atau badan usaha yang memberikan eksternalitas negatif terhadap lingkungan sekitar. Contoh dari bentuk riil pajak pigouvian ini adalah pajak karbon yang rencananya akan berlaku di Indonesia pada tahun 2025. Pajak ini akan dibebankan kepada subjek pajak atas penggunaan bahan bakar fosil yang mengakibatkan emisi karbon.