Konten dari Pengguna

Kopi Hari Ini: Rasa Itu Perkara Deskripsi, Bukan Perkara Enak atau Enggak

Freema Hadi W
Petani pada @hdwfarm dan pekerja serabutan pada @simpleseru
7 Januari 2024 13:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Freema Hadi W tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hari Kopi Nasional. Foto: PatrikV/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Hari Kopi Nasional. Foto: PatrikV/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kopi di gelas ini adalah kopi Lombok. Robusta. Dibawakan oleh seorang rekan.
ADVERTISEMENT
Ibarat cahaya, jika lumens adalah tingkat kepahitan, maka kopi Lombok ini punya lumens kuat namun dengan sorotan kecil. Pahitnya enggak kencang namun lumayan tajam. Pahitnya sedikit namun kuat sekali.
Apa pun, susah sebenarnya untuk mendeskripsikan rasa itu ke analogi lain. Tanpa analogi pun, beda lidah bisa jadi akan beda men-decode sebuah rasa yang sama menjadi hasil decrypt, deskripsi.
Seduhan kopi robusta Lombok. Merk tidak kami cantumkan. Foto dok. pribadi.
Sepertinya baru kali ini kami mencicipi karakter rasa seperti ini, seperti kopi Lombok ini. Namun ini justru bukan karena kepiawaian kami yang telah mengenali banyak ragam jenis/varietas dan rasa kopi. Kebalikannya, justru karena kesempitan wawasan kami mengenali buuuaaanyakkknya ragam kopi nusantara. Makanya kami merasa baru mengenali karakter rasa robusta Lombok ini.
Pastinya enak. Sebab rasa itu bukan perkara enak atau enggak. Rasa itu perkara deskripsi.
ADVERTISEMENT
Kami curiga bahwa sebenarnya yang kita nilai dengan enak atau enggak itu mungkin perihal komposisi, proporsi, atau prosesinya. Yang mana kesemuanya itu berada di (campur) tangan kita. Dan ini pun perkara subjektif lagi relatif.
Tingkat keasinan atau kemanisan suatu menu misalnya, mestinya itu adalah (hasil) komposisi, proporsi, dan prosesi yang mengandung relativitas subjektif tadi. Lebih asin atau kurang asin akan menjadi enak bagi seseorang dan enggak enak bagi orang lain. Relatif.
Namun deskripsi rasa, itu mutlak dan menempel pada (bahan) makanan/minuman yang memilikinya.
Maka akan salah jika kita membandingkan karakter rasa mereka dalam parameter enak atau tidak enak. Karakter rasa, hanya bisa kita bandingkan deskripsinya. Itu pun enggak tepat jika kita bilang 'dibandingkan'. Lebih tepatnya adalah mendeksripsikan masing-masing karakter rasa. Bukan membandingkan.
ADVERTISEMENT
Beda (karakter) keasinan garam Pakistan, Madura, atau Bali adalah deskripsi mutlak. Kita hanya bisa mendeskripsikannya. Selanjutnya kita mengatur komposisi, proporsi, dan prosesi sesuai kehendak menjadi menu yang kompleks atau sederhana, yang mana itu baru bisa kita bandingkan.
Pun dengan kopi. Karakter rasa-nya itu deskriptif, bukan komparatif. Dan karakter asli rasa itu hanya muncul ketika bahan makanan/minuman masih raw, belum diproses.
Apakah kopi Lombok, Gayo, Wamena, Sidikalang, Lampung, Kelud, Jember, Bali, Toraja, dll. itu lebih enak satu dengan lainnya? Itu sama sekali tak bisa kita komparasikan. Kita hanya bisa mengutarakan deskripsi (karakter) rasa masing-masing.
Bahkan seberapa matang mereka disangrai, bisa jadi itu pun preferensif subjektif. Bukan deskriptif. Kopi jenis A akan dibilang enak jika disangrai agak matang karena kepahitannya akan kuat, misalnya. Namun lidah lain, mungkin akan menyatakan enak jika dia disangrai setengah matang, dengan argumen parameter kepahitan, acidity, dll. akan tercapai pada tingkat sekian sekian sekian dan kondisi demikian demikian demikian.
ADVERTISEMENT

Dari Kopi Kami Belajar tentang Egoisme Patriaki Manusia Kepada Rasa

Ilustrasi proses kalibrasi kopi. Foto: Marian Weyo/Shutterstock
Apesnya, kita sering mendengar uraian rasa itu pada makanan/minuman yang sudah melalui pengolahan. Tayangan di banyak tempat umumnya mengupas rasa sambal-nya alih-alih rasa tomat-nya. Kami belum menemukan bahasan rasa mentimun ketimbang rasa acar-nya. Dan kopi, sesempit pengamatan kami pada beragam tayangan menikmati kopi, umumnya (atau semuanya) hanya menceritakan ketika kopi sudah diseduh.
Kasihan si kopi. Rasa aslinya saat masih menempel sebagai beri di pohon jarang terceritakan. Yang nyaris pasti kita dengar dan lihat adalah rasa ketika ia sudah melalui perjalanan sangat panjang: dipetik, dikupas, dijemur, disangrai, digiling, diseduh. Berikut beragam perbedaan altitude, suhu, kelembaban, dan beragam faktor yang memungkinkan parameternya berubah.
ADVERTISEMENT
Apakah salah jika kopi harus diperlakukan sedemikian panjang itu? Ya tidak. Justru harus seperti itu agar kopi bisa dinikmati dan diceritakan. Justru akan 'salah' ketika kita menikmati kopi sebagai beri, atau sebutlah biji mentah.
Lantas kenapa jadi 'bermasalah' ketika rasa kopi diutarakan setelah dia diseduh?
Tidak bermasalah. Kami hanya merenung, seperti inilah kelakuan kami sendiri selama ini. Kami senantiasa menggambarkan rasa kopi saat dia sudah diseduh. Padahal pohon yang sama, dengan batch panen beri yang berbeda, apalagi dijemurnya pada bulan yang berbeda, dan seterusnya akan membuat deskripsi rasa usai diseduh-nya menjadi berbeda pula. Dan secara patriakis kita melakukan itu.
Secara egois, kita telah menghegemoni deskripsi rasa karena hasil campur tangan manusia sebagai rasa si kopi itu sendiri. Padahal kami yakin, lidah dan otak tidak berkomplot untuk membangun arogansi pendeskripsian rasa kopi seduhan.
ADVERTISEMENT
Tak perlu Anda bingung. Ini cuma ungkapan diam kami saat menikmati kopi Lombok tadi. Yang terbukti 'rasa' yang baru pertama kami jumpai ini tadi telah membuat benak ini berkecamuk dan mendorong jari mengkonstruksi keporakporandaan postingan ini.
Anda jangan mencoba memilah postingan ini dalam struktur baku. Muskil ketemu. Sebab rentetan kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf di sini mengalir sebegitunya saja. Beda seruputan pun membuat hawa tiap paragraf yang disertainya juga berbeda.
Mungkin karena 'semakin belakangnya seruputan yang menemani ketikan ini telah membawa suhu kopi dalam gelas ini semakin turun'-lah yang menyebabkan nuansa tiap paragraf jadi menukik atau melandai, menegaskan atau membiarkan, fokus atau ambyar.
Apa pun itu, kopi bagi kami ternyata telah berkuasa mengkooptasi jari-jari ini terhadap otak. Apa yang diperintahkan otak kepada jari jemari dalam mengetik postingan ini sepertinya telah dipengaruhi di tengah jalan oleh rasa seduhan kopi yang merangsek tiba-tiba.
ADVERTISEMENT
Apakah karena kooptasi si kopi terhadap laju pikiran ini yang membuat kita berbalik melawan dengan mengeluarkan egoisme patriakis terhadap rasa? Biar kita yang merasa bisa menentukan enak-tidaknya rasa, bukan takluk tunduk dan ikut begitu saja kepada rasa apa adanya si kopi?
Entahlah.
Kami membiarkan begitu saja mereka berdialektika dengan sendirinya. Hasil dialektika itu adalah tulisan yang sesuai draft, atau tulisan yang melenceng dari draft karena merebaknya rasa pada seruputan-seruputan baru, pada setiap seruputan. Dari kopi kali ini, dari robusta Lombok ini kami belajar itu semua.
***
Apa pun, mari kita bedakan antara deskripsi rasa yang melekat pada kopi, atau bahan makanan/minuman lain, dengan hasil kontaminasi tangan kita para manusia ini.
ADVERTISEMENT
Jangan kita egois menuduh rasa mereka berdasarkan hasil kontaminasi tangan kita.
Ini cuma senandika sendiri kami, solilokui pribadi belaka. Anda mungkin akan menjumpai utaraan yang mirip atau berbeda sama sekali. Tergantung, Anda bisa berdialektika dengan si kopi atau Anda yang akan dihegemoni olehnya.
Dan itu nikmat.