Konten dari Pengguna

Cara Menghadapi Anak Praremaja

Lucy Lidiawati Santioso
Nama Saya Lucy Lidiawati Santioso, S.Psi., M.H., Psikolog, tapi bisa juga dipanggil dengan sebutan Bunda Lucy. Saya adalah seorang Psikolog Anak dan Remaja, dan juga sebagai Dosen di Universitas Insan Cipta Indonesia.
14 April 2025 15:19 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lucy Lidiawati Santioso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Tantangan, Solusi, dan Peran Orang Tua di Era Digital

ADVERTISEMENT
Anak menemukan persoalan dalam lingkungan pergaulannya. Bagaimana cara mengatasinya?
Parents & teenager // https://www.pexels.com/photo/daughter-having-a-conversation-with-her-parents-8841681/
zoom-in-whitePerbesar
Parents & teenager // https://www.pexels.com/photo/daughter-having-a-conversation-with-her-parents-8841681/
Anak praremaja saat ini berada dalam fase awal menuju remaja, yang ditandai dengan berbagai perubahan dan penyesuaian. Di era digital seperti sekarang, mereka menjalani masa transisi dari anak-anak menuju remaja dengan lebih banyak terpapar teknologi dan media sosial. Meskipun masih dalam tahap usia sekolah dan banyak menghabiskan waktu di sekolah, mereka juga aktif berinteraksi secara virtual dengan teman sebaya.
ADVERTISEMENT
Pada tahap ini, mereka mulai membangun hubungan dengan teman-teman yang memiliki minat yang sama, baik di dunia nyata maupun melalui komunitas online. Persahabatan menjadi semakin penting, dan mereka cenderung mencari sosok yang bisa dipercaya untuk berbagi cerita dan pengalaman. Selain itu, anak praremaja juga mulai menunjukkan kemandirian, seperti mengatur jadwal belajar sendiri, menyiapkan camilan, atau bahkan mencoba membuat konten digital seperti video pendek atau blog pribadi.
Mereka juga semakin sadar akan identitas diri, mulai mengikuti tren tertentu, memiliki idola seperti YouTuber, influencer, atau musisi favorit, serta menekuni hobi seperti gaming, olahraga, atau seni. Selain itu, mereka mulai lebih memperhatikan penampilan dan gaya mereka, sering kali terinspirasi dari media sosial dan lingkungan sekitarnya. Di usia ini, mereka berusaha mencari tempatnya di dalam kelompok sosial, baik di sekolah maupun di dunia digital, untuk mengekspresikan siapa diri mereka dan membangun rasa percaya diri.
ADVERTISEMENT

PILIH TEMAN SEBAYA

Seiring dengan pertumbuhannya, anak praremaja kini lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya, baik secara langsung maupun melalui interaksi di dunia digital. Kemampuan bersosialisasi yang mereka kembangkan akan memengaruhi cara mereka berperilaku di berbagai lingkungan, termasuk dalam interaksi sosial di media sosial dan dunia nyata. Mereka belajar berbagai keterampilan sosial, seperti cara berkomunikasi, menyesuaikan sikap, memilih gaya berpakaian, hingga memahami tren yang sedang berkembang di kalangan teman sebaya. Keterampilan ini tentu berbeda dari yang mereka dapatkan di rumah.
Pada tahap ini, anak mulai membandingkan nilai-nilai yang diajarkan di keluarga dengan yang mereka temui di lingkungan luar. Mereka mulai menilai apakah kebiasaan dan prinsip yang mereka pelajari dari orang tua masih relevan dengan kelompok pertemanan mereka. Dalam proses ini, anak berusaha menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan norma serta budaya yang ada dalam kelompoknya. Oleh karena itu, pengaruh teman sebaya menjadi sangat kuat dalam membentuk pola pikir dan perilaku mereka.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak semua pengaruh dari teman sebaya bersifat positif. Ada kalanya anak terpapar perilaku yang tidak sesuai, terutama dengan adanya tren dan tantangan di media sosial yang bisa berdampak negatif. Oleh karena itu, penting bagi anak untuk memiliki landasan nilai yang kuat agar dapat memilah dan menyaring pengaruh yang diterima.
Bersosialisasi dengan teman sebaya memberikan banyak manfaat, salah satunya adalah proses pembelajaran sosial. Anak belajar bagaimana cara berbagi, menghargai perbedaan, bersikap jujur, bekerja sama, dan bertanggung jawab. Mereka juga mulai memahami peran-peran sosial dalam kelompok, seperti menjadi pemimpin, anggota, sahabat, atau sekadar pengamat dalam interaksi sosial.
Dalam memilih teman, anak praremaja cenderung mencari kelompok yang memiliki minat atau nilai yang sama. Mereka juga lebih tertarik untuk bergabung dengan kelompok yang dianggap populer, baik dalam lingkungan sekolah maupun di media sosial. Status sosial dalam kelompok ini menjadi penentu apakah seorang anak termasuk yang "dianggap" atau justru tersisih. Popularitas sering kali diukur dari seberapa baik seseorang dapat berinteraksi, beradaptasi dengan tren, serta memiliki keterampilan komunikasi yang baik.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, anak yang kurang populer cenderung menghadapi tantangan dalam bersosialisasi. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, kurang percaya diri, atau dianggap kurang sesuai dengan nilai kelompok. Hal ini dapat berdampak pada kepercayaan diri dan kesejahteraan psikologis mereka jika tidak mendapatkan dukungan yang tepat. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan lingkungan sekitar untuk membimbing anak dalam membangun hubungan sosial yang sehat serta memperkuat identitas diri mereka tanpa harus bergantung pada validasi dari kelompoknya.

MASALAH PERTEMANAN

Di era digital saat ini, anak-anak praremaja menghadapi tantangan dalam mengembangkan diri sesuai dengan ekspektasi lingkungan sekitar, baik dari keluarga, teman sebaya, maupun media sosial. Masalah yang sering muncul pada usia ini umumnya berkaitan dengan konsep diri yang kurang kuat serta rendahnya self-esteem. Anak-anak yang memiliki konsep diri positif dan rasa percaya diri yang baik cenderung lebih mudah dalam mengembangkan keterampilan baru, mengikuti kegiatan yang bermanfaat, serta berani mengambil risiko dalam keputusan yang mereka buat.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, anak-anak yang merasa tidak percaya diri atau memiliki konsep diri negatif sering kali menunjukkan sikap minder, kurang produktif, takut mencoba hal-hal baru, dan sulit menjalin pertemanan. Akibatnya, mereka lebih cenderung menarik diri dari lingkungan sosial atau mengalami kecemasan dalam berinteraksi. Jika hal ini tidak ditangani dengan baik, mereka bisa mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan sosial, yang berujung pada frustrasi dan perilaku menyimpang, seperti mencuri, bersikap agresif terhadap teman, atau melanggar aturan sekolah. Anak-anak yang menunjukkan perilaku agresif, termasuk melakukan perundungan (bullying), sering kali memiliki masalah yang sama dengan korban bullying itu sendiri—sama-sama mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri secara sosial dan emosional.
Selain itu, anak praremaja yang mengalami konflik dalam pertemanan sering kali menunjukkan sikap keras kepala, menentang aturan, atau memiliki emosi yang meledak-ledak. Ketidakpuasan terhadap lingkungan yang dirasakan dapat memicu berbagai bentuk gangguan emosional dan sosial, seperti agresivitas, kecemasan berlebihan (fobia), menarik diri dari lingkungan, temper tantrum, hipersensitivitas, bahkan dalam beberapa kasus, munculnya pikiran untuk bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Jika permasalahan sosial ini tidak ditangani dengan baik, dampaknya bisa berlanjut hingga masa remaja dan dewasa. Anak yang kesulitan dalam beradaptasi atau mengalami penolakan dari teman sebaya bisa merasa kesepian, tidak bahagia, dan tidak aman. Konsep diri yang negatif ini dapat berkembang menjadi gangguan kepribadian dan berpengaruh pada masa depannya, seperti rendahnya motivasi belajar, kecenderungan putus sekolah, hingga berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial dan akademik mereka di masa depan. Oleh karena itu, dukungan keluarga, lingkungan sekolah, dan komunitas sangat penting dalam membantu anak-anak praremaja membangun konsep diri yang sehat serta keterampilan sosial yang baik.

PERLU INTERVENSI

Untuk membantu anak praremaja dalam mengatasi tantangan perkembangan sosial dan emosional, orang tua perlu memahami cara memberikan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain itu, penting bagi orang tua untuk menjalin komunikasi yang baik dengan guru dan lingkungan sekitar. Anak membutuhkan kasih sayang yang cukup tanpa perlindungan berlebihan agar mereka bisa belajar menghadapi dunia secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Salah satu bentuk intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan membantu anak mengembangkan kecerdasan emosional. Ini bisa dimulai dengan mengajarkan mereka cara mengenali dan mengelola emosi, berempati terhadap orang lain, membangun hubungan yang sehat dengan teman sebaya, memotivasi diri sendiri, serta melatih teknik relaksasi. Orang tua juga perlu memberikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan diri, baik dalam bentuk perasaan, ide, maupun pendapat. Dengan begitu, anak akan merasa lebih percaya diri dan aman dalam lingkungannya.
Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua untuk mendukung perkembangan anak praremaja di era digital saat ini:
1. Jadilah teman bagi anak
Selain sebagai orang tua, jadilah pendengar yang baik dan teman bagi anak. Dengan begitu, mereka akan lebih nyaman berbagi cerita tentang pengalaman dan hal-hal baru yang mereka temui, baik di dunia nyata maupun di dunia digital.
ADVERTISEMENT
2. Bersikap bijaksana dalam menilai lingkungan pertemanan anak
Jika anak mengenalkan temannya, cobalah untuk mengenali tanpa langsung menghakimi. Jika ada kekhawatiran, berikan pandangan dengan cara yang terbuka dan komunikatif, bukan dengan larangan atau paksaan.
3. Berikan kepercayaan untuk menyelesaikan masalah
Ajarkan anak untuk menghadapi dan menyelesaikan masalahnya sendiri dengan bimbingan yang sewajarnya. Jangan langsung mengambil alih atau menyelesaikan semuanya untuk mereka, tetapi arahkan dengan saran yang membangun.
4. Luangkan waktu berkualitas bersama keluarga
Meskipun anak semakin banyak menghabiskan waktu dengan teman atau di media sosial, pastikan mereka tetap merasakan kehangatan dan kedekatan dalam keluarga. Bangun momen kebersamaan, seperti berbincang santai, melakukan aktivitas bersama, atau sekadar makan malam tanpa gangguan gadget. Ingatkan bahwa keluarga adalah tempat ternyaman untuk kembali, kapan pun mereka membutuhkannya.
ADVERTISEMENT