Corona dan Gizi Pangan

Suhito
Direktur Eksekutif Rumah Sosial Kutub, Pelopor Gerakan Sedekah Minyak Jelantah, dan Pembina Relawan Indonesia Tersenyum (RIT)
Konten dari Pengguna
31 Januari 2022 17:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suhito tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sedekah gizi pangan Rumah Sosial Kutub. Foto: Dok. pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sedekah gizi pangan Rumah Sosial Kutub. Foto: Dok. pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebelum hadirnya pandemi corona, fakta hadirnya angka kemiskinan telah menjadi persoalan bagi bangsa ini. Imbas dari kemiskinan ini sendiri mempunyai berbagai akibat diantaranya terkait gizi pangan. Rilis dari hasil survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019 menunjukkan prevalensi stunting di Indonesia mencapai 27,7%. Dua tahun kemudian, pada tahun 2021 prevalensi stunting masih tercatat 24,4 %. Sangat jauh dari ambang batas yang ditetapkan oleh WHO.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, tidak heran jika setahun setelah hasil survei itu dirilis, tepatnya pada Mei 2020, Kelompok Kerja Ketahanan Pangan dan Gizi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia menerbitkan pernyataan bersama terkait keprihatinan kepada mereka yang berpotensi terdampak masalah gizi.
Kelompok kerja yang terdiri dari perwakilan FAO, IFAD, UNFPA, WFP, WHO, dan UNICEF ini mengkhawatirkan status gizi bagi mereka yang terimbas dampak hadirnya corona. Tentunya mereka yang dimaksud dengan terdampak ini tidak lain di antaranya adalah keluarga miskin.
Tanpa perlu dalih, kita semua mafhum bahwa bagi sebagian orang mendefinisikan makan adalah sebagai syarat untuk kenyang. Jika sudah kenyang, ya Alhamdulillah. Barangkali berbeda sekali dengan sebagian yang lainnya, terutama yang posisi kelas sosialnya tergolong mapan. Di kelas ini definisi makan bukan sekadar kenyang, namun banyak prasyarat lain seperti nilai gizi sampai estetika dalam penyajian makanannya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kemudian mencari jalan keluar terkait ketimpangan gizi pangan ini? Salah satu jalannya tidak lain adalah dengan meningkatkan kepedulian. Kepedulian yang bagaimana? BPS merilis per September lalu, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai angka 26,50 juta orang.
Secara logika matematika sederhana, jika ada 26,50 juta orang yang memiliki pendapatan fantastis, kemudian masing-masing mensubsidi kehidupan penduduk miskin tersebut. Selesailah kisah kemiskinan ini. Bukankah begitu?
Kenyataannya tidak semudah itu. Ada banyak faktor yang menghambat seseorang untuk lepas dari jerat kemiskinan. Selain itu, juga banyak faktor yang menyebabkan seseorang terkategori miskin.
Kemiskinan sendiri secara umum kita pahami sebagai kondisi di mana seseorang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Salah satu kebutuhan dasar tersebut adalah kebutuhan pangannya.
ADVERTISEMENT
Adalah benar bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam menyelesaikan persoalan ini. Berbagai sisi harus dijaga agar mereka yang berada pada posisi 'rentan' miskin tidak lantas kemudian menjadi miskin. Jatuh miskin dan terus miskin.
Salah satu sisi tersebut di antaranya adalah dengan membuka lapangan kerja baru, menjaga kestabilan harga bahan pokok, serta yang terpenting adalah bagaimana mengetuk pintu hati para pejabat negara untuk tidak korupsi. Korupsi? Lihat saja berapa triliun potensi kerugian yang diselamatkan dari jumlah koruptor yang berhasil ditangkap itu.
Selain pemerintah, untuk sesama anggota masyarakat, kita juga memiliki perang yang tidak kalah urgennya. Peran ini bisa dimaksimalkan dengan cara kerja guyub dengan saling berkoordinasi satu sama lainnya.
Tujuannya selain bisa maksimal dalam memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Diharapkan dengan pola yang terkoordinir, aspek pemerataan bisa dilaksanakan. Sehingga tidak ada lagi bantuan yang menumpuk dan hanya diakses segelintir penerima. Sementara di waktu yang sama, ada masyarakat yang benar-benar membutuhkan, namun tidak terdata dan terabaikan.
ADVERTISEMENT
Kita sadari bahwa kisah corona ini belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Untuk itu, semangat membangun kepedulian dengan sesama juga jangan pernah berakhir. Kita harus yakin, dengan memaksimalkan peran masing-masing, permasalahan bangsa ini akan berakhir. Bismillah...
*Suhito, Direktur Eksekutif Rumah Sosial Kutub & Pelopor Gerakan Sedekah Minyak Jelantah