Konten dari Pengguna

Mempertanyakan Pembahasan RUU Perampasan Aset

Abd Malik Efendi, SH
Paralegal di law office yang juga sebagai pegiat citizen journalism
5 April 2023 18:24 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abd Malik Efendi, SH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset merupakan inisiatif legislatif yang diusulkan oleh Pemerintah Indonesia untuk memberantas praktik korupsi dan tindak pidana atau kejahatan uang lainnya. RUU ini mengatur tentang penyitaan harta benda yang diduga diperoleh dari beberapa jenis kejahatan keuangan. Pada umumnya, memang jenis RUU ini biasanya dibuat untuk memerangi berbagai macam kejahatan keuangan, mulai dari praktik money laundry, korupsi dan memotong keuntungan dari kejahatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, dari isu yang mencuat terkait transaksi mencurigakan sejumlah Rp 300 triliun dan berujung pada rapat antara Menko Polhukam dengan DPR RI Komisi III, tingkat kepercayaan publik terhambat atas respons yang dilontarkan oleh salah satu anggota wakil rakyatnya.
Justru, yang publik butuhkan adalah penjelasan fundamental dari kedua belah pihak penyelenggara negara tersebut. Bukan mengaitkan pihak yang ada di balik layar, seperti respons dari pihak DPR RI Komisi III yang harus tunduk pada arahan Ketum Parpol.
Rasa-rasanya publik juga sudah mengerti dari awal jika memang begitu fakta prosedurnya. Namun bukan itu jawaban yang membuat peningkatan kepercayaan publik terhadap legislatif. Publik berharap ada kejelasan konkret terhadap alasan RUU tentang perampasan aset itu mengapa sering keluar masuk dari Prolegnas dari tahun ke tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Pembahasan RUU tersebut, seringkali kontroversial dengan perdebatan karena satu sisi dinilai dapat berujung pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM), terutama terkait hak milik, perlindungan hukum yang setara, dan sistem peradilan. Di sisi lain, RUU ini dimaksudkan untuk memerangi berbagai macam kejahatan keuangan dalam negara.
Beberapa poin yang dikaitkan dengan pelanggaran HAM antara lain;

1. Mencoreng Asas Praduga tidak bersalah

Undang-Undang Perampasan Aset memungkinkan penyitaan aset sebelum pengadilan menentukan apakah aset tersebut berasal dari tindak pidana. Hal ini melanggar asas praduga tak bersalah yang dijamin oleh Pasal 28d(1). 1, UUD 1945.

2. Tidak memperhatikan hak properti

RUU itu juga dapat mengganggu hak hukum untuk memiliki aset. Jika pemerintah menyita harta seseorang tanpa proses hukum yang jelas, maka dapat dianggap sebagai pelanggaran hak milik atau hak kepemilikan (properti).
ADVERTISEMENT

3. Penyalahgunaan kekuasaan

Pihak berwenang juga dapat mengambil undang-undang penyitaan aset. Misalnya, pejabat pemerintah dapat menyalahgunakan undang-undang untuk secara sepihak merampas milik orang lain tanpa sebab dan tanpa proses hukum yang sah.
Yang harus disadari kemudian adalah, terkait landasan dan poin dari Rancangan Undang-Undang ini harus diubah prespektifnya, agar tidak selalu dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.
Jika memang adanya RUU tersebut benar-benar untuk memberantas kejahatan keuangan yang merugikan negara, mengapa harus dikaitkan dengan HAM? Bahkan para ahli hukum sendiri yang cenderung menyatakan bahwa HAM sendiri adalah dasar dari sistem hukum dan keadilan yang adil dan demokratis, dan harus dilindungi serta dijamin oleh negara. Maka apa yang kemudian menjadi tolak ukur atas penjamin dari suatu negara tersebut? Otomatis adalah para penyelenggara negara itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pendapat pakar sekaligus salah satu ahli yang pernah terlibat dalam pembahasan RUU Perampasan Aset pada 2007 hingga 2010 lalu menjelaskan dalam laporannya, bahwa UU Perampasan Aset sudah semestinya mengatur mekanisme prosedur hukum yang sah, mulai dari penggeledahan, penyitaan, dan pencegahan terhadap harta kekayaan yang diduga hasil tindak pidana hingga pengelolaan harta kekayaan yang disita. Ia mencontohkan dengan UU Tipikor Pasal 18 yang menyebutkan adanya uang pengganti dan bisa disubsiderkan dengan hukuman penjara apabila uang tersebut tidak kunjung diganti atau uang tidak kembali.
Hasil salah satu penelitian juga menunjukkan dalam laporannya, jika yang dimaksud uang pengganti dari UU Tipikor tersebut adalah uang yang dibayar terdakwa sebesar harta benda yang diperoleh atau dinikmatinya dari tindak pidana korupsi, bukan sebesar kerugian negara yang ditimbulkannya. Yang menjadi fokus penelitian tersebut adalah, mengungkapkan jika penerapan hukum dalam menyatakan kerugian negara sebagai uang pengganti yang harus dibayar terdakwa tanpa didasarkan pada alat bukti yang sah selama ini. Secara otomatis tindakan tersebut adalah sesuatu hal yang mencederai asas kepastian hukum dan keadilan serta hak asasi, termasuk merupakan kesalahan dalam penerapan hukum.
ADVERTISEMENT
Kemudian kaitannya dengan RUU Perampasan Aset yang diusulkan oleh Pemerintah melalui Kemenko Polhukam untuk disahkan, lalu direspons oleh DPR yang dikatakan harus melalui lobi para Ketum Parpol, tentu tindak menjawab apa yang menjadi persoalan sebenarnya. Meskipun setiap produk undang-undang kita dihasilkan melalui proses politik, namun harus tetap mengedepankan apa yang menjadi salah satu fungsi hukum itu sendiri, yakni melindungi hak-hak manusia, bukan justru dipersepsikan melanggar hak asasi manusia.
Sehingga apa yang menjadi tujuan dalam hukum, untuk memberikan kemanfaatan terhadap orang banyak tanpa memandang golongan tertentu, bisa benar-benar diimplementasikan.