Claudio Ranieri

Claudio Ranieri: Pecundang, Pemenang, hingga Orang yang 'Menghilang'

Supersoccer
Situs web sepak bola terlengkap menampilkan berita sepak bola internasional, preview highlights pertandingan ligaEropa, klub dan pemain, statistik pertandingan.
5 April 2020 14:13 WIB
comment
67
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Claudio Ranieri. Foto: AFP/Guillaume Souvant
zoom-in-whitePerbesar
Claudio Ranieri. Foto: AFP/Guillaume Souvant
ADVERTISEMENT
Tadinya pecundang, lalu menjadi pemenang, akhirnya kembali 'menghilang'. Kurang lebih, seperti itulah Claudio Ranieri di dunia sepak bola. Kariernya terbagi dalam tiga fase: Sebelum Leicester City, Leicester City, dan setelah Leicester City.
ADVERTISEMENT
Sebelum Leicester City, Ranieri tak jarang dipandang sebelah mata. Prestasinya tak begitu 'wah' dan dipecat itu sesuatu yang biasa. Setidaknya, 7 kali dia merasakan pemecatan.
Pada musim 1986/87, Ranieri memulai petualangan kepelatihannya dengan membesut klub amatir Italia bernama Vigor Lamezia. Semusim setelahnya, dia melatih klub profesional, Puteolana-- yang lalu terdegradasi dari Serie C1 ke C2.
Lanjut ke musim 1988/1989, Ranieri beranjak melatih klub Serie C1 lain bernama Cagliari. Prestasinya di musim perdananya itu tak buruk, yakni gelar ganda Serie C1 dan Coppa Italia Serie C.
Memang, sih, judulnya "gelar ganda", tetapi itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan di sepak bola level atas. Ibarat makanan, gelar itu enggak bakal bikin kenyang, cuma bikin 'geli-geli' lambung.
ADVERTISEMENT
Ada pun, klub Serie A pertama yang diasuh Ranieri adalah Napoli, yakni dimulai sejak tahun 1991. Namun, karena tak ada prestasi, akhirnya dia dipecat pada 1993.
Ranieri lalu menyemplungkan diri ke Serie B dan melatih Fiorentina sejak musim 1993/94. Tidak buruk, Ranieri membawa La Viola merengkuh trofi Serie B. Namun tetap saja, ah, 'cuma' Serie B.
Barulah pada musim berikutnya, Ranieri memimpin Fiorentina merengkuh gelar yang lumayan: Coppa Italia 1995/96, dilanjutkan dengan Supercoppa Italiana 1996.
Claudio Ranieri kala melatih Nantes. Foto: AFP/Pascal Guyot
Pada tahun 1997, Ranieri berkelana ke luar negeri. Spanyol jadi tujuannya, Valencia jadi klub yang meminati jasanya. Untuk klub berlogo kelelawar itu, dia memberikan trofi Copa del Rey 1998/99 dan Piala Intertoto 1998.
ADVERTISEMENT
Pada musim 1999/2000, Ranieri mencoba peruntungan melatih Atletico Madrid. Namun, nasibnya berbeda dengan di Valencia. Dia tak memberi trofi apa pun dan dipecat di akhir musim.
Meski begitu, Ranieri belum mau pulang ke Italia. Dia lalu terbang ke Inggris untuk melatih Chelsea. Nah, selama membesut The Blues (2000-2004) itulah, dia dijuluki 'Tinkerman' (tukang utak-atik) oleh media Inggris karena kegemarannya merotasi pemain.
Tak mampu memberikan trofi apa pun buat Chelsea, dia pun dipecat dan kembali direkrut Valencia. Meski sempat memberi trofi Piala Super Eropa 2004, dia dipecat pada Februari 2005 karena performa Valencia tak maksimal.
Ranieri. Foto: Reuters/Andrew Couldridge
Dua tahun menganggur, Ranieri baru kembali melatih pada tahun 2007. Sepanjang 2007-2012, ada empat klub Serie A yang dilatihnya: Parma, Juventus, AS Roma, Inter Milan. Nol trofi. Pemecatan juga kembali mengakrabinya.
ADVERTISEMENT
Dia baru kembali meraih trofi pada musim 2012/13. Kala itu, dia membawa AS Monaco menjuarai Ligue 2 --kompetisi liga level dua di Prancis. Lagi-lagi, sebuah gelar yang tak 'bergizi'.
Pengalaman baru dalam hidupnya hadir pada tahun 2014. Biasanya melatih klub, kini melatih Timnas Yunani.
Di sini, jiwa ‘tukang utak-atik’-nya kian menguat, kerap merotasi pemain dan gonta-ganti formasi. Akibatnya, para pemain Yunani bingung, performa tak maksimal dan bisa tebak, Ranieri pun dipecat.
Ranieri memimpin Roma. Foto: AFP/Andreas Solaro
Nah, pada musim 2015/16, Ranieri bertransformasi. Sang pecundang menjelma sebagai pemenang. Jamie Vardy, Riyad Mahrez, hingga N’Golo Kante menjadi senjata andalannya.
Leicester City, klub yang dianggap medioker itu, dibawanya menjuarai Premier League. Trofi yang tentunya sangat 'bergizi' dan menggugah selera, lebih nikmat dibanding trofi apa pun yang pernah dicicipi Ranieri.
ADVERTISEMENT
Uniknya, Ranieri tak menampakkan jiwa 'tukang utak-atik'-nya kala membesut The Foxes. Komposisi pemain yang dipilih dan taktik yang diterapkannya di lapangan nyaris selalu sama dari laga ke laga.
Mereka yang membawa Leicester juara. Foto: REUTERS/Darren Staples
Terlepas dari itu, Ranieri boleh jadi mengingatkan kita dengan Thomas Alva Edison. Si penemu asal Amerika Serikat itu terbentur 10.000 kali kegagalan dalam percobaan bola lampu. Namun akhirnya, dia berhasil. Kuncinya satu: Tidak menyerah.
Ranieri mungkin tidak gagal berkali-kali di klub lain. Dia hanya membuktikan bahwa racikan dia yang dulu itu salah dan menemukan cara meraih gelar bergengsi di Leicester City.
Ranieri saat masih membesut Leicester City. Foto: Ian MacNicol/Getty Images
Namun sayang, setelah itu, Ranieri kehilangan sentuhan magisnya. Sang koki gagal menciptakan resep baru. Usai dipecat Leicester City --iya, dipecat--, dirinya kembali berkelana. Dari Nantes, Fulham, hingga Roma. Tiga klub, nol trofi.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, rasa-rasanya tidak pantas jika orang kini kembali menjulukinya sebagai pecundang. Kita bilang saja dia 'menghilang', hingga nanti mungkin akan datang suatu masa saat Claudio Ranieri akan kembali mengangkat trofi bergengsi.
---
Ayo, ikutan Home of Premier League dan menangi uang tunai Rp50.000.000. Buruan daftar di sini.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten