news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Melawan Depresi seperti Gianluigi Buffon

Supersoccer
Situs web sepak bola terlengkap menampilkan berita sepak bola internasional, preview highlights pertandingan ligaEropa, klub dan pemain, statistik pertandingan.
Konten dari Pengguna
28 Januari 2020 14:33 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Supersoccer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yang Mulia Gianluigi Buffon. Foto: Isabella BONOTTO / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Yang Mulia Gianluigi Buffon. Foto: Isabella BONOTTO / AFP
ADVERTISEMENT
Quarter life crisis. Familier dengan istilah itu? Atau kalian malah sedang mengalaminya sekarang? Tenang, kalian tak sendiri. Dulu, Gianluigi Buffon juga pernah.
ADVERTISEMENT
Ya, kata siapa menjalani hidup sebagai kiper Juventus dan Timnas Italia itu mudah? Pada masanya, di sekitar usia 25-26 tahun, kiper kelahiran 28 Januari 1978 itu pernah mengalami depresi --salah satu bentuk quarter life crisis.
"Aku waktu itu berumur 25 atau 26 tahun. Aku menjalani musim yang normal, enggak bagus, tetapi juga enggak jelek. Kami tidak memiliki tujuan tersisa bersama tim," ujar Buffon kepada The Players Tribune.
Berdasarkan keterangan di atas, jelas pada waktu itu Buffon sudah membela Juventus. Eks kiper Parma itu membela Bianconeri selama 2001-2018, sempat pindah ke Paris Saint-Germain, dan kembali ke Juventus pada pertengahan 2019.
Nah, sepertinya, kisah yang diceritakan Buffon ini terjadi pada musim 2003/04. Bukan musim yang bagus karena Juventus tak menjuarai apa pun di akhir musim. Bukan musim yang buruk karena skuat asuhan Marcello Lippi finis ketiga di klasemen Serie A.
ADVERTISEMENT
Jadi, ada masalah apa, sih, yang sebenarnya menerpa Buffon pada waktu itu?
"Aku akan menggambarkannya dengan sederhana, karena itu adalah sesuatu yang memicumu berbuat kesalahan akibat kelelahan. Kau bilang, 'Aku lelah, mungkin tidur sebentar [bisa menyembuhkannya], lalu aku tidur di kasur'. Atau kamu sakit atau ada virus atau sesuatu hal lain terjadi padamu," kisahnya.
Gianluigi Buffon. Foto: Reuters/Andrew Couldridge
Jadi, Buffon merasa performanya menurun akibat kelelahan atau sakit. Dan nyatanya, penurunan itu terlihat dari statistik.
Per Transfermarkt, pada musim 2002/03, Buffon hanya 23 kali kebobolan dan mencatatkan 15 kali nirbobol di Serie A. Berkat kontribusinya, Juventus merengkuh scudetto.
Pada musim 2003/04, pria kelahiran Tuscany itu 41 kali kejebolan dan cuma mengukir 11 kali nirbobol. Kondisinya, Buffon sama-sama main 32 kali di Serie A pada dua musim tersebut. Jelas sebuah penurunan, bukan?
Gianluigi Buffon beraksi. Foto: Reuters/Alberto Lingria
Namun, setelah mengecek ke dokter, Buffon dinyatakan sehat. Tidak sakit apa pun secara fisik dan tidak ada virus.
ADVERTISEMENT
"Jadi, kami melakukan tes medis. [Hasilnya] aku tak terjangkit virus maupun penyakit. Terus, aku berpikir, 'Ini ada hal lain'. Hingga pada suatu hari, ketika beranjak dari kasur, kakiku lemas tak berenergi. Kakiku bergetar," jelasnya.
"Itu adalah sensasi yang belum pernah kurasakan. Semakin terasa ketika aku berada di tempat latihan. Aku bahkan bermasalah ketika menyetir karena kakiku bergetar," lanjutnya.
Kiper Juventus, Gianluigi Buffon. Foto: Susana Vera/Reuters
Siapa sangka, ternyata semua itu adalah gejala awal depresi. Ya, dari pikiran turun ke badan.
"Jadi, waktu sampai di tempat latihan, dengan penuh rasa takut, aku ke dokter dan bilang, 'Dokter, ini keluhanku'. Setelah diskusi kecil, dia bilang, 'Gigi, aku pikir ini adalah gejala awal depresi, berhati-hatilah... Apa yang kamu lakukan?'" ujarnya.
ADVERTISEMENT
Buffon merasa terganggu banget. Hari-harinya dilalui dengan fisik yang lemas. Dia mengaku kerap merasa lelah, bahkan sebelum latihan dimulai. Untuk menjatuhkan badan dan menangkap bola rendah pun rasanya tak bertenaga.
Dokter sempat menawarkannya pil anti-depresi. Namun, sosok yang akrab disapa Gigi itu menolaknya mentah-mentah.
"Ini adalah sesuatu (masalah) yang harus kupecahkan tanpa bantuan obat-obatan," kata kiper pemegang medali Piala Dunia ini.
Lantas, bagaimana cara Buffon menyembuhkan depresinya? Jawabannya menarik: Melakukan hal baru, mencicipi segala sesuatu yang belum pernah dicoba sebelumnya.
"Aku ingin jalan-jalan, pergi sarapan di tempat yang berbeda dari biasanya. Pernah juga keluar rumah melewati museum, sebuah pameran seni bertajuk 'Chagall Exhibition' dan aku bilang ke diriku sendiri, 'Coba masuklah'," kenangnya.
ADVERTISEMENT
Nah, di museum itu ada sekitar 200 lukisan. Salah satu yang paling menarik perhatiannya adalah lukisan bernama 'The Promenade' karya pelukis blasteran Rusia-Prancis, Marc Chagall.
"Itu lukisan biasa. Mirip seperti gambar anak-anak. Namun itulah yang mungkin kubutuhkan pada saat itu; Lukisan itu memberi saya sukacita, memberi saya normalitas. Sesuatu yang simpel kayak gitu membuatku tersenyum dan aku pikir aku butuh suatu hal yang biasa karena di dalamnya bisa jadi ada kebahagiaan," tutur Buffon.
The Promenade by Marc Chagall. Foto: marcchagall.net
Buffon mengaku tadinya dia hidup dalam nihilistik. Itu menghambatnya menemukan masukan alternatif dan akhirnya berdampak pada sepak bola.
Dia tadinya hanya orang 'kaku' yang hidup dalam rutinitas itu-itu saja. Latihan, pulang, nonton TV, besoknya ulangi lagi seperti itu.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, Buffon menjadi orang yang berbeda. Dia percaya bahwa manusia itu adalah makhluk kreatif yang mesti menuangkan ekspresinya.
"Enggak harus jadi nomor satu di dunia. Enggak, tetapi untuk skala kecil saja, carilah kepuasan. Itu yang membuatmu hidup, yang membuatmu bangga akan dirimu sendiri," bebernya.
Hal kunci lain yang ditekankan oleh Buffon untuk menghadapi depresinya itu adalah bicara. Curhat. Ya, jangan ragu untuk bicara tentang kondisimu. Kepada siapa pun, enggak harus dokter. Jangan malu.
Gianluigi Buffon. Foto: Reuters/Pedro Nunes
"Selain ke dokter di Juventus, aku juga bicara ke ayahku, ibuku, adikku, saudara iparku, pacarku, dua atau tiga teman. Setiap kali aku bicara soal masalah (depresi)-ku, aku merasakan sentuhan kasih sayang, merasa beban dipundakku hilang," katanya.
Kalian mungkin ada yang merasa aneh dengan cara Buffon itu. Soal keterbukaannya yang artinya menunjukkan bahwa manusia sehebat dia ternyata adalah manusia yang memiliki keterbatasan.
ADVERTISEMENT
Ya, Buffon enggak masalah. Persetan dengan reputasinya sebagai kiper top Italia, karena baginya cara itulah yang mampu menolongnya keluar dari depresi. Justru dari kelemahan itulah akan lahir kekuatan yang lebih kuat.
Gianluigi Buffon (tengah) bersama Timnas Italia. Foto: AFP/Christof Stache
"Rekomendasiku: Jangan takut untuk menunjukkan siapa dirimu. Itulah satu-satunya penyembuh," ujarnya.
"Pertama, terimalah dirimu apa adanya. Buktikan pada diri sendiri bahwa kita layak mendapat anugerah kehidupan. Sebab hidup adalah hadiah yang dianugerahkan padamu dan itu sudah semestinya," pungkasnya.
Dengan itulah Gianluigi Buffon bisa bertahan hingga hari ini. Masih bermain hingga musim ini. Enggak banyak yang masih bisa bertahan di usia kepala empat. Dia adalah anomali. Selamat ulang tahun yang ke-42, Gigi.
----
Mau nonton bola langsung di Inggris? Ayo, ikutan Home of Premier League. Semua biaya ditanggung kumparan dan Supersoccer, gratis! Ayo buruan daftar di sini. Bagi yang mau nonton langsung siaran Liga Inggris, bisa ke MolaTV; dan bagi yang ingin merasakan kemeriahan Nobar Supersoccer, bisa cek list schedule-nya di SSCornerID. Tersedia juga hadiah bulanan berupa Polytron Smart TV, langganan Mola TV, dan jersey original.
ADVERTISEMENT