Konten dari Pengguna

Kisah Kehidupan Anak Desa: Dimar Temaram (1)

Suprapto-apt
Saya seorang dosen di Fakultas Farmasi UMS Surakarta. Pemerhati lingkungan sosial, traveller, dan Penulis tentang kehidupan
30 Agustus 2023 10:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suprapto-apt tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sorang warga menyalakan lampu tempel. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Sorang warga menyalakan lampu tempel. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Waktu itu di desa saya listrik PLN belum masuk. Untuk penerangan rumah masih menggunakan beberapa peralatan sederhana, berupa dimar (dian), lampu senthir, teplok, lampu ting, lampu gantung, oncor, dan senter (sokle).
ADVERTISEMENT
Maka menjadi tugas rutin anak-anak desa, termasuk saya di saat menjelang maghrib yaitu untuk cek sumbu lampu, cek isi minyak, membersihkan kaca teplot (semprong) dan mengisi minyak tanah pada lampu teplok atau lampu senthir yang dimiliki. Di desa saya minyak tanah ini dikenal sebagai minyak Pet, sebagian wilayah menyebutnya minyak Petrol, dan sebagian lainnya menyebutnya minyak Troli.
Eee setelah jika digabungkan dari ketiga nama tersebut menjadi minyak Petroli, dan itu ternyata berasal dari kata petrolium. Jika minyak tanah habis mesti harus membeli minyak ke warung tetangga dulu. Harga minyak tanah pada waktu itu masih relatif murah jika dibandingkan harga solar dan bensin.
Hari ini minyak tanah selain langka keberadaannya, harganya juga lebih mahal Rp 12.000-27.000/liternya dibandingkan pertalite atau pertamax ya, sementara harga pertmax Rp 12.500/liter dan pertamax turbo Rp 14.400/liter per Agustus 2023.
ADVERTISEMENT

Bagaimana Suasana di Malam Hari?

Ilustrasi ruangan gelap. Foto: needpix
Bisa dibayangkan suasana desa saya pada waktu itu jika malam hari tiba. Penerangan di dalam rumah dan di luar rumah hanya menggunakan lampu teplok, sentir, dan lain-lain. Hadeww suasananya begitu gelap, redup dan temaram; kadang agak menakutkan dan seram.
Apalagi suasana di luar rumah, masih banyak pepohonan yang besar-besar berjajar di pinggir jalan kanan dan kiri, bahkan masih banyak rumpun bambu (Jawa: barongan).
Belum lagi jika di dalam rumpun bambu tersebut muncul kilauan jamur yang memancarkan sinarnya yang konon adanya zat fosfor, waahh semakin menambah seram saja. Terlebih jika musim hujan tiba, kadang lampu-lampu di luaran pada mati karena diterpa angin dan kena tampias (Jawa: tampu) hujan.
ADVERTISEMENT
Maka tidak heran jika pada waktu itu suasana desa di saat di atas jam 8 malam begitu sepi dan menakutkan. Tidak banyak aktivitas warga yang berada di luar rumah.
Lain halnya jika bulan purna tiba terlebih di musim kemarau maka banyak warga yang berada di luar rumah. Anak-anak pada bermain petak umpet, gobaksodor, sunda manda, main karet, dan lain-lain. Tentang jenis-jenis permainan ini insyaallah akan saya rinci lebih detail pada tulisan edisi berikutnya ya.

Lampu Senthir dan Teplok

Ilustrasi lampu Teplok. Foto dari Pexels.com
Lampu sentir atau teplok adalah lampu minyak yang terbuat dari kaleng bekas, ada 2 bagian utama. Bagian pertama adalah badan tempat menampung bahan bakar dan bagian kedua adalah kepala lampu sebagai tempat sumbu yang menghubungkan bagian minyak dengan bagian yang disulut api, bagian ini biasanya ditutup tabung kaca silinder (Jawa: semprong).
ADVERTISEMENT
Sumbu biasanya terbuat kain bekas atau ada jenis sumbu khusus yang diperjualbelikan. Lampu ini juga multi fungsi, bisa digunakan untuk penerangan di kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi, dapur, teras, atau di pinggir jalan. Ada banyak varian lampu ini, yang barangkali sampai sekarang masih ada yang menjualnya sebagai barang antik atau untuk mengenang masa lalu.
Demikian di saat belajar di malam hari juga menggunakan penerangan lampu ini. Walaupun tidak terlalu terang namun cukup sebagai sumber pencahayaaan untuk menulis dan membaca. Lampu teplok atau sentir merupakan lampu penuh kenangan dalam hidup saya.

Lampu Gantung

Ada sebagain warga yang memiliki jenis lampu gantung sebagai hiasan di ruang tamu. Lampu ini cukup artistik dan biasanya berwarna putih dop, ada beberapa jenis dan modelnya. Lampu ini bisa ditarik ke bawah atau dikembalikan ke atas, berbahan dasar minyak tanah, mirip seperti lampu teplok yang di tempatkan di posisi tengahnya, ia merupakan lampu kebanggaan orang desa.
ADVERTISEMENT
Simbah saya juga punya pada waktu itu, terus diwariskan ke Bapak. Suatu waktu pernah dibongkar kakak saya, karena penasaran isi yang ada di dalam beban yang bisa ditarik ulur itu apa.
Akhirnya entah ke mana sekarang tidak tahu keberadaannya. Namun demikian, sebagian warga desa masih memiliki jenis lampu tersebut. Sebagian malah dimodifikasi menjadi lampu listrik.

Oncor (Obor)

Salah satu alat penerangan tradisional yang tidak kalah terkenal saat itu adalah obor. Obor (Jawa: oncor) biasanya terbuat dari bambu apus, besarnya seukuran tangan anak-anak usia SD dengan panjang sekitar 30-50 cm.
Alat ini dibuat dengan cara memotong bambu bagian bawah tertutup ruas (Jawa: ros), dan bagian atas lubang yang nantinya digunakan untuk mengisi bahan bakar minyak tanah dan menempatkan sumbunya. Biasanya sumbu dibuat dari kain bekas.
ADVERTISEMENT
Obor biasanya digunakan saat keluar rumah misalnya untuk mencari belut di sawah, mencari udang di sungai, atau keperluan saat berkunjung ke tempat orang lain yang cukup jauh tempatnya.

Adakah di sini yang masih ingat lampu teplok, sentir, lampu gantung?

Generasi Z atau Gen-Z disebut sebagai generasi yang lahir setelah generasi Y. Generasi ini adalah mereka yang lahir di tahun 1995 sampai dengan 2010. Mereka juga dikenal sebagai iGeneration atau generasi internet atau generasi net karena terpapar dan terbiasa terhubung dengan dunia maya dan dapat melakukan segala sesuatunya dengan menggunakan kecanggihan teknologi yang ada, sehingga Gen-Z sudah tidak mengenal jenis lampu-lampu tersebut kan? Namun demikian bisa mencari gambar-gambar lampu tersebut dari dunia maya. Silakan dicari di internet ya. Semoga bermanfaat.
ADVERTISEMENT