Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kisah Kehidupan Anak Desa: Menu Spesial ala Anak Desa (Bagian 2)
28 Agustus 2023 17:20 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Suprapto-apt tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Anak-anak diajak untuk menyaksikan ritual upacara . Ritual tersebut konon untuk meminta izin atau kula nuwun kepada danyang si penunggu tempat itu. Biasanya acara ini dibagikan makanan seperti jadah, wajik, rangin, cucur, criping, opak, dll, serta beberapa uang receh.
Ada Acara Dodol Dawet
Si Ibu dari pengantin atau yang punya hajatan mengadakan acara jualan (Jawa: dodol) dawet dengan cara dawet dimasukkan wadah kendil kemudian ditaruh dalam tenggok atau bakul (alat terbuat dari bahan bambu) dengan cara diindit (digendong samping atau di belakang) kemudian berjalan keliling di area dalam rumah.
Anak-anak diundang mengikuti dari belakang dan membeli dawet tersebut. Untuk membeli dawet tersebut bukan dengan uang tetapi cukup dengan pecahan genteng sebagai alat tukarnya. Asyik kan?
ADVERTISEMENT
Ini merupakan momen yang menyenangkan sekali, karena bisa minum dawet sepuasnya secara gratis lho. Walaupun saya pribadi jarang untuk membeli yang demikian.
Methil Padi
Ada kebiasaan lain bagi para petani di saat akan panen yaitu acara ritual methil Mbok Sri. Konon, ritual methil adalah sebagai bentuk rasa bersyukur dari para petani saat akan panen tiba atas karunia Allah SWT yang dilimpahkan padanya.
Mbok Sri, Dewi Sri, atau juga disebut juga sebagai Dewi Padi konon sebagai simbol dari kemakmuran. Sementara kata methil diambil dari kata mithili atau memotong.
Biasanya mengundang orang sesepuh desa untuk mendoakan di tempat tertentu di bagian sawah tersebut. Sebagian bulir padi diikat. Di situ dibakar dupa dan dipanjatkan doa-doa. Ada takir, wadah berbentuk kotak terbuat dari daun pisang yang berisi makanan tertentu plus ada uang receh.
ADVERTISEMENT
Si empunya sawah telah menyiapkan tumpeng dengan lauk gerih (ikan asin), sayur lodeh kluwih, dll. Menu methil biasanya diwadahi pincuk dari daun pisang atau daun jati untuk ditaruh di pojok-pojok sawah.
Nah, inilah tugas anak-anak untuk menyaksikan acaranya, menaruhnya dan mengambil (Jawa: nyurut) menu nasi pincuk tersebut. Kadang satu anak bisa dapat 2-4 bungkus, yang dapat dijadikan menu sarapan satu keluarga. Asyik sekali lho...
Itulah beberapa ritual adat desa saya waktu itu. Adat tersebut sekarang sudah hampir hilang kecuali yang masih mempertahankannya. Kalaupun ada, barangkali tinggal satu dua keluarga.
Meski setelah dewasa dan paham ajaran agama, kita tahu bahwa acara ritual tersebut tidak ada tuntunannya dalam ajaran agama Islam. Bahkan ritual acara tersebut merupakan adat istiadat orang dahulu dan mungkin rentan menjadi bentuk perbuatan kesyirikan. Astaghfirullahal ‘adzimm.
ADVERTISEMENT
Sunatan
Sunat, khitan, atau sirkumsisi adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis. Frenulum dari penis dapat juga dipotong secara bersamaan dalam prosedur yang dinamakan frenektomi.
Kata sirkumsisi berasal dari bahasa latin "circum" dan "caedere". Salah satu manfaat sunat atau khitan adalah mengurangi risiko infeksi saluran kemih (ISK). Meski umumnya ISK lebih banyak terjadi pada wanita, namun pria yang belum sunat juga memiliki risiko tinggi terserang infeksi saluran kemih.
Walimatul khitan adalah perayaan atau pesta untuk anak laki-laki yang di-khitan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atau penghibur agar si anak tidak terlalu merasakan sakit. Nah pada acara tersebut juga menjadi acara yang ditunggu oleh anak-anak desa sebagai sarana untuk mendapatkan menu-menu bergizi juga.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, di zaman modern ini ternyata masih ada di beberapa wilayah yang mempertahankan acara-acara ritual tersebut. Bahkan, menganggapnya sebagai bentuk warisan leluhur dan menjadi tanggung jawab untuk diuri-uri (dipertahankan) sebagai warisan budaya dan melestarikannya.
Atau, malah sengaja dihidupkan kembali untuk dijadikan objek dan tempat destinasi wisata. Wallahua’lam bishowab.