news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Miskonsepsi & Semangat Transformasi (Pendidikan)

Syafbrani ZA
X Cekgu II Suami penuh waktu dan penulis paruh waktu II Menulis buku, diantaranya: UN, The End... dan Suara Guru Suara Tuhan II Ketua Umum PTIC DKI 2021/2026 II Bergiat di Univ. Trilogi - Center for Teacher Mind Transformation (CTMT) FKIP Univ. Riau
Konten dari Pengguna
3 November 2022 12:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafbrani ZA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tangkapan layar web sisdiknas.kemdikbud.go.id
zoom-in-whitePerbesar
Tangkapan layar web sisdiknas.kemdikbud.go.id
ADVERTISEMENT
Di tengah kuatnya gelombang pro - kontra atas respon hadirnya revisi Sisdiknas yang sempat heboh itu, ada hal yang mungkin luput namun juga penting untuk mendapat perhatian kita bersama. Yakni terkait publikasi pelurusan atas berbagai miskonsepsi dari beberapa kebijakan Kemendikbud Ristek. Setidaknya hal ini terjadi pada dua hal. Pertama, terkait implementasi Kurikulum Merdeka. Kedua, tentang Program Sekolah Penggerak (PSP).
ADVERTISEMENT
Untuk kebijakan yang berkaitan Kurikulum Merdeka, berdasarkan penjelasan Kemendikbud Ristek — yang diwakili langsung oleh Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan, katanya terdapat beberapa hal yang perlu diluruskan.
Beberapa hal tersebut adalah mengenai pemahaman bahwa ganti kurikulum adalah tujuan; terdapat penerapan kurikulum yang benar atau salah secara absolut; implementasinya harus menunggu pelatihan dari pusat; proses belajar mengimplementasikan Kurikulum Merdeka ini seolah-olah bisa dilakukan secara instan; dan terakhir adalah hanya bisa diimplementasikan di sekolah dengan fasilitas lengkap.
Sementara itu, terkait dengan PSP, jelang akhir September (20/9) melalui laman sosial medianya Ditjen GTK melakukan klarifikasi atas 9 miskonsepsi yang terjadi. Bahkan, salah satu poinnya masih berkaitan dengan implementasi Kurikulum Merdeka bagi sekolah pelaksana PSP. Kurikulum yang juga akan diterapkan lebih dari 140 ribu satuan pendidikan pada tahun ajaran 2022/2023 ini.
ADVERTISEMENT
Untunglah ‘gagal paham’ ini cepat diinventarisir dan kemudian dilakukan pelurusan. Hanya saja tidak cukup sampai disini. Perlu gerakan pengawalan yang sistemik dan menyeluruh agar titik-titik kritis yang salah dimaknai plus salah implementasi itu bisa kembali ke definisi awalnya. Definisi dari pembuat kebijakannya.
Apalagi ketika miskonsepsi ini tidak terjadi tunggal. Banyak pemangku kepentingan yang terlibat, mulai dari guru dengan sekolahnya masing-masing, orang tua siswa, sampai pada pemerintah daerah. Selain itu, hal yang tidak kalah krusial adalah perlu juga dilakukan analisa mendalam mengapa miskonsepsi ini terjadi.
Proses Pembelajaran
Sebenarnya, proses pembelajaran di sekolah juga tidak bisa lepas dari celah miskonsepsi. Oleh karena itu, sejak di bangku kuliah para calon guru selalu dibekali dengan kajian-kajian terkait miskonsepsi. Baik kepada teks-teks yang termaktub dalam berbagai rupa buku pelajaran yang beredar, maupun terkait dengan strategi mengajarnya.
ADVERTISEMENT
Meskipun dentuman semangat Student Centered Learning sering membahana, tapi posisi guru sebagai pusat sumber belajar masih menjadi realitas. Tiada guru, tiada ilmu. Sehingga sangat tepat jika dilakukan upaya mitigasi sejak dini agar transfer keilmuan dari guru ke siswa tepat sasaran.
Upaya mitigasi di bangku perkuliahan tersebut baru menyasar pada dua faktor penyebab lahirnya miskonsepsi kepada siswa. Selain gurunya telah dilakukan penguatan melalui injeksi pemahaman terkait materi dan metode mengajar, sumber ajarnya pun telah dikaji. Hanya tinggal satu yang perlu dipastikan, yakni siswanya itu sendiri.
Kelak ketika para calon guru tersebut mulai menjadi guru (profesional) di sekolahnya masing-masing. Mereka akan banyak menemukan penyebab-penyebab baru mengapa miskonsepsi itu terjadi kepada peserta didiknya.
ADVERTISEMENT
Alasannya jelas, para peserta didik itu hadir dengan berbagai latar: kemampuan, minat, dan imajinasinya masing-masing.
Meskipun demikian, kita haqqul yakin melalui asuhan guru yang baik peluang kejadian miskonsepsi itu bisa nihil. Guru yang baik tersebut tentunya mereka yang telah memiliki pemahaman yang baik, diiringi dengan materi ajar yang baik, dan dibalut dengan cara mengajar yang baik.
Walhasil, apapun latar peserta didiknya. Hasilnya tetap baik.
Sumber Miskonsepsi
Proses dari perubahan memang akan selalu menghasilkan residu. Meskipun pada akhirnya, dikehendaki atau tidak kelak residu tersebut juga akan bertransformasi dengan sendirinya.
Hanya saja, kita cenderung memandang perubahan itu hanya pada sisi starting point dan hasil akhir. Mendata kenyataan, menatap harapan. Melupakan residu-residu yang hadir dalam setiap fase-fase menuju titik akhir — yang kadang belum tentu sampai.
ADVERTISEMENT
Apalagi transformasi pendidikan, akan banyak kait-kelindan yang terjadi. Namun sebagai sebuah sistem, transformasi pendidikan haruslah tetap teguh memberikan peluang-peluang baru bagi setiap warga negaranya untuk mendapatkan hak yang adil. Inilah keyword yang sejatinya dijadikan landasan utama dalam menghadirkan niat untuk melakukan transformasi itu.
Kepada siapa transformasi berpihak? Niat keberpihakan atas setiap kebijakan pendidikan ini menjadi penting, karena tidak hanya berpotensi menimbulkan miskonsepsi dalam mengimplementasikannya.
Lebih dari itu, lahirnya berbagai kebijakan juga tidak bisa dipandang sebagai kebenaran mutlak. Ada potensi merujuk dari nalar-nalar yang miskonsepsi. Ada kemungkinan salah tafsir dalam memahami hakikat pendidikan.
Miskonsepsi implementasi atas kebijakan bisa diluruskan dengan melakukan klarifikasi dan pendekatan kembali kepada pihak-pihak terkait. Akan tetapi, bagaimana jika miskonsepsi itu bersemayam dalam kebijakan yang hadir?
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, bukan sekedar ishlah yang dikejar agar semua kebijakan yang hadir dianggap diterima semua pihak. Bukan sekedar ketuk palu dan teriakan ‘setuju’ yang dituju agar kesannya kebijakan itu diterima secara aklamasi. Bukan juga testimoni orang-orang pilihan nan berpengaruh agar terlihat semuanya sedang baik-baik saja.
Terakhir, kita berharap pendidikan tetap menjadi zona netral dan tidak tereduksi pemaknaannya hanya karena tarik-ulur berbagai kepentingan. Pemaknaannya haruslah tetap dalam koridor semangat sebagaimana negara ini didirikan. Diantaranya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Segenap. Bukan segolongan.
Semangat revisi Sisdiknas itu juga harus diikhtiarkan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi segenap guru di Indonesia. Semoga.