Konten dari Pengguna

Dilema #Data Dijual: Privasi Negara Berkembang Diekploitasi?

Tamara Valencia
Mahasiswi Universitas Ciputra Surabaya
13 April 2025 10:56 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tamara Valencia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penulis: Tamara Valencia, mahasiswi Universitas Ciputra Surabaya. (Foto: Doc. Ist)
zoom-in-whitePerbesar
Penulis: Tamara Valencia, mahasiswi Universitas Ciputra Surabaya. (Foto: Doc. Ist)
ADVERTISEMENT
Dunia tidak pernah benar-benar bebas dari penjajahan. Hanya bentuknya yang berubah. Jika pada abad ke-18 bangsa kolonial datang untuk mengambil emas dan rempah, maka di abad ke-21, perusahaan multinasional hadir untuk mengekstrak sesuatu yang lebih berharga yaitu data manusia.
ADVERTISEMENT
Kita bisa menyebut ini dengan “ekonomi digital.” Namun di balik istilah yang terdengar canggih dan modern, tersembunyi relasi kuasa yang timpang antara negara-negara maju yang memiliki korporasi teknologi raksasa, dan negara berkembang yang menjadi pemasok tak sadar atas sumber daya digital paling bernilai yaitu privasi warganya sendiri.
Saat ini bisa dikatakan bahwa Negara Berkembang adalah Tambang Data. Coba perhatikan. Mengapa aplikasi seperti TikTok, Facebook, dan Google Maps dapat digunakan secara gratis? Jawabannya sederhana namun menyakitkan: karena kita bukan konsumen melainkan kita adalah produk.
Di negara berkembang seperti Indonesia, Nigeria, atau Kolombia, kesadaran atas hak digital masih rendah dan hukum perlindungan privasi belum seketat Eropa (GDPR) atau California (CCPA).
Menurut laporan Privacy International (2024), lebih dari 68% perusahaan teknologi yang beroperasi di negara-negara Asia Tenggara tidak memberikan opsi penghapusan data pribadi secara efektif. Lebih parah lagi, banyak pengguna bahkan tidak sadar bahwa data mereka sedang dijual kepada pihak ketiga.
ADVERTISEMENT
Regulator lokal sering tak punya kapasitas atau kekuatan untuk melawan raksasa teknologi. Bahkan ketika terjadi kebocoran data, tanggung jawab hukum nyaris nihil. Tentu yang dirugikan adalah masyarakat lokal tanpa pernah mendapat kompensasi atau bahkan pemberitahuan resmi.
Perusahaan multinasional memosisikan data sebagai aset intelektual, meskipun berasal dari miliaran interaksi pengguna. Pertanyaannya: siapa pemilik sebenarnya dari data tersebut? Konsumen hanya “mengizinkan” karena terpaksa ingin mengakses layanan, bukan karena sadar akan konsekuensinya. Banyak perusahaan berdalih telah memberikan “persetujuan pengguna” melalui tombol “Setuju” saat instalasi aplikasi. Padahal kita semua tahu, hampir tidak ada yang membaca perjanjian panjang yang ditulis dalam bahasa hukum kompleks itu.
Data-data tersebut digunakan untuk melatih algoritma kecerdasan buatan. Mulai dari sistem rekomendasi, chatbot AI, hingga teknologi pengenalan wajah.
ADVERTISEMENT
Beberapa negara seperti India dan Brasil mulai memberlakukan kebijakan data localization, memaksa perusahaan menyimpan data warga di dalam negeri. Namun banyak perusahaan yang justru menanggapi dengan ancaman keluar dari pasar dan memperlihatkan ketimpangan kekuasaan antara korporasi dan negara.
Indonesia telah mengesahkan UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) tahun 2022, namun implementasinya masih jauh dari kata tegas. Hingga kini, belum ada sanksi konkret yang dijatuhkan pada perusahaan asing yang terbukti melanggar privasi pengguna lokal.
Bagi perusahaan multinasional, data dari negara berkembang memberikan efisiensi luar biasa: biaya akuisisi rendah, pengguna aktif tinggi, dan regulasi longgar. Tapi semua itu datang dengan harga etis.
Haruskah mereka terus memanfaatkan ketimpangan hukum untuk meraup keuntungan? Atau justru menjadi agen perubahan dengan menerapkan standar privasi global secara sukarela?
ADVERTISEMENT
Sebagian korporasi mulai menyadari risiko reputasi dari praktik ini. Skandal seperti kebocoran data Cambridge Analytica, atau penggunaan data biometrik tanpa izin oleh startup AI seperti Clearview, telah memicu keresahan publik global.
Kesimpulan: Siapa yang Mengendalikan Masa Depan Digital?
Dalam sistem global saat ini, negara-negara berkembang terus dikerdilkan dalam peran: hanya sebagai sumber, bukan pemilik. Sebagai pengguna, kita disuguhi produk yang menyenangkan, sambil secara tak sadar menyerahkan potongan-potongan identitas kita yang kemudian dijual, dimonetisasi, dan disimpan selamanya di server yang bahkan tak kita tahu di mana.
Opini ini ditulis oleh Tamara Valencia, mahasiswi Universitas Ciputra Surabaya.