news-card-video
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Cerdas Tanpa Berpikir

Taufiq A Gani
Alumni PPRA 65 Lemhannas, Alumni PKN II LAN RI, Peneliti di Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI), saat ini ASN di Perpusnas
23 Februari 2025 10:30 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiq A Gani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ungkapan Cerdas Tanpa Berpikir ini terinspirasi dari dialog pembahasan efisiensi anggaran yang sedang kami lakukan. Efisiensi ini merupakan arahan Bapak Presiden Prabowo, yang saat ini menjadi topik hangat dalam berbagai diskusi online atau offline.
Cerdas dan Berpikir, Gambar: jcomp di freepik
zoom-in-whitePerbesar
Cerdas dan Berpikir, Gambar: jcomp di freepik
Malas Berpikir
ADVERTISEMENT
Dalam diskusi tersebut, saya mengusulkan berlangganan ChatGPT sebagai strategi efisiensi anggaran, sejalan dengan arahan Presiden Prabowo untuk mengoptimalkan pengeluaran di instansi pemerintah.
Dengan ChatGPT, sumber daya internal dapat diberdayakan secara lebih optimal, mengurangi ketergantungan pada narasumber eksternal. Teknologi ini dapat mendukung penyusunan materi, analisis, dan dokumen kebijakan, memungkinkan instansi menyelesaikan tugas-tugas strategis secara mandiri tanpa harus selalu bergantung pada pihak luar. Hasilnya, biaya honor dan jam kerja narasumber eksternal dapat diminimalkan, sementara efektivitas kerja serta kemandirian instansi meningkat.
Namun, tanggapan yang muncul cukup menarik: "Sebaiknya tidak usah, karena ChatGPT hanya membuat orang malas berpikir." Pernyataan ini memicu refleksi lebih dalam, apakah kecerdasan buatan benar-benar menjadikan kita malas berpikir, atau justru kita yang perlu memahami cara terbaik memanfaatkannya?
ADVERTISEMENT
Kecerdasan Dan Informasi Di Otak
Saya ingin memulai pembahasan ini dengan sebuah kutipan.
"The mind is not a vessel to be filled, but a fire to be kindled" – oleh Plutarch atau Plutarkhos, seorang filsuf, sejarawan, dan penulis biografi Yunani di abad pertama Masehi.
Ungkapan ini menekankan bahwa kecerdasan tidak hanya tentang mengisi otak dengan informasi, tetapi tentang membangkitkan rasa ingin tahu dan pemikiran mandiri. Pendidikan dan pembelajaran seharusnya bukan sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan proses yang menginspirasi manusia untuk berpikir lebih dalam, menganalisis, dan mengembangkan wawasan baru. Namun, di era kecerdasan buatan, berpikir sudah dapat diotomatiskan. Ini membuat pembahasan semakin menarik.
Otomatisasi Berpikir
Berpikir dapat diotomatiskan adalah sebuah gagasan yangingin saya elaborasikan tanpa dimotivasi dengan keberpihakan pada konotasi positif atau negatif.
Sistem Pakar, Gambar: Freepik
Dengan perkembangan teknologi kecerdasan buatan, banyak proses berpikir yang dulu memerlukan analisis mendalam kini dapat dilakukan secara otomatis. Namun, otomatisasi berpikir bukan berarti menghilangkan esensi pemikiran manusia. Sebaliknya, ini adalah memaknai ulang peran manusia dalam berpikir strategis dan kreatif. Justru, ini membuka ruang baru, yang tidak lain adalah kecerdasan buatan yang terotomasikan. Sehingga kita dapat fokus pada pemikiran yang lebih kreatif dan strategis, bukan hanya pengolahan informasi yang berulang.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut Bertrand Russell (1872–1970) pernah berkata, "The trouble with the world is that the stupid are cocksure and the intelligent are full of doubt (Masalah dunia ini adalah bahwa orang bodoh selalu yakin, sementara orang cerdas selalu ragu)."
Beliau adalah seorang filsuf, matematikawan, dan logikawan asal Inggris yang sangat berpengaruh.
Ungkapan beliau mencerminkan bagaimana kecerdasan sejati tidak hanya diukur dari seberapa banyak informasi yang kita miliki, tetapi juga dari bagaimana kita memahami, mempertanyakan, dan mengolah informasi tersebut menjadi sesuatu yang bermakna. Dalam era kecerdasan buatan, kita menghadapi tantangan serupa: apakah kita akan menjadi pengguna kecerdasan buatan yang hanya menerima jawaban tanpa berpikir kritis, atau kita akan menggunakan kecerdasan buatan untuk memperluas analisis dan mempertajam pertanyaan? Otomatisasi berpikir tidak boleh membuat kita kehilangan skeptisisme intelektual yang menjadi ciri kecerdasan sejati.
ADVERTISEMENT
Cerdas Tanpa Berpikir
Cerdas tanpa berpikir dapat menjadi jebakan. Ketika seseorang hanya mengandalkan hafalan tanpa memahami konsep yang mendasarinya, ia bisa terlihat cerdas tetapi tidak mampu menerapkan pengetahuannya dalam situasi yang berbeda. Dalam dunia akademik, siswa yang hanya mengandalkan hafalan mungkin dapat memperoleh nilai tinggi, tetapi tanpa pemahaman mendalam, mereka akan kesulitan saat dihadapkan pada tantangan nyata.
Namun, dalam konteks tertentu, cerdas tanpa berpikir juga dapat menjadi hal yang positif. Seorang atlet yang telah berlatih bertahun-tahun tidak lagi perlu berpikir secara sadar tentang setiap gerakannya; tubuhnya sudah secara otomatis merespons dengan tepat. Seorang musisi yang telah mengasah kemampuannya selama bertahun-tahun tidak lagi perlu memikirkan setiap not yang dimainkan, musik mengalir secara alami dari dalam dirinya. Dalam dunia kerja, seorang profesional yang telah berpengalaman dapat mengambil keputusan dengan cepat karena telah memahami pola-pola yang muncul dari pengalamannya.
ADVERTISEMENT
Konsep cerdas tanpa berpikir dalam konotasi positif menggambarkan otomatisasi keterampilan melalui pembelajaran dan pengalaman, yang pada dasarnya juga merupakan prinsip kerja kecerdasan buatan.
Jean Piaget menjelaskan bahwa individu mencapai ekuilibrasi, memungkinkan mereka menerapkan pengetahuan tanpa berpikir eksplisit (Piaget, 1952). David Ausubel menekankan bahwa pemahaman mendalam memungkinkan penggunaan konsep secara spontan tanpa analisis panjang (Ausubel, 1968). Seligman & Csikszentmihalyi mengaitkannya dengan pembentukan kebiasaan positif melalui latihan berulang, memungkinkan respons cepat yang tetap kritis dan inovatif (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000).
Demikian pula, kecerdasan buatan dirancang untuk meniru proses ini, di mana sistem tersebut belajar dari data, membangun pola, dan secara otomatis mengeksekusi tugas dengan efisien tanpa perlu berpikir ulang setiap kali. Dengan demikian, cerdas tanpa berpikir bukan sekadar kehilangan pemikiran kritis, tetapi refleksi dari efisiensi kognitif yang juga menjadi dasar pengembangan kecerdasan buatan.
ADVERTISEMENT
Sebuah contoh yang nyata dilaporkan oleh Brynjolfsson dkk (2023) melalui penelitian Generative AI at Work. Mereka membuktikan bahwa kecerdasan buatan meningkatkan produktivitas layanan pelanggan 15%, terutama bagi pekerja kurang berpengalaman. Kecerdasan buatan tidak hanya mempercepat tugas rutin tetapi juga mempercepat pembelajaran, meningkatkan keterampilan bahasa, serta membantu menangani kasus sulit. Dengan kecerdasan buatan, pekerja bisa menyelesaikan lebih banyak masalah tanpa berpikir mendalam setiap saat. Namun bukan berarti mereka berhenti berpikir. Sebaliknya, kecerdasan buatan memungkinkan mereka fokus pada keputusan yang lebih strategis. Ini menunjukkan bahwa cerdas tanpa berpikir bukan sekadar kehilangan pemikiran kritis, tetapi bisa menjadi bentuk efisiensi ketika tugas-tugas tertentu diotomatisasi tanpa menghilangkan peran manusia dalam analisis dan inovasi.
Pembelajaran dan Kecerdasan
ADVERTISEMENT
Dalam penelitiannya diatas, Brynjolfsson dkk (2023) menyebutkan bahwa kecerdasan buatan mempercepat pembelajaran. Konsep ini bisa dikaitkan dengan bagaimana seseorang dapat mengembangkan kecerdasan yang intuitif melalui pembelajaran mendalam. Pendekatan mendalam bermakna bahwa pembelajaran tidak hanya terjadi melalui hafalan, tetapi melalui eksplorasi, refleksi, dan analisis.
Pendekatan ini sudah saya diskusikan dalam artikel sebelumnya yaitu "Pembelajaran Mendalam Berbasis Perpustakaan". Dalam artikel tersebut dijelaskan bagaimana siswa yang terbiasa menggunakan perpustakaan sebagai ruang belajar tidak hanya mengumpulkan informasi, tetapi juga mengolahnya secara kritis, membangun keterampilan berpikir yang lebih dalam. Mereka tidak hanya sekadar "cerdas" dalam arti mampu mengingat banyak hal, tetapi juga mampu memahami dan menghubungkan berbagai konsep secara mandiri.
Melibatkan perpustakaan dalam pembelajaran mendalam merupakan tantangan yang dihadapi secara bersama oleh Pusat Pengembangan Perpustakaan Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (P3SMPT) - Perpustakaan Nasional dengan Balai Layanan Platform Teknologi (BLPT) sebagai unit pelaksana teknis Pusat Data danInformasi - Kemendikdasmen. Mulai pertengahan bulan Februari 2025 lalu sudah dimulai dengan menyiapkan model pembelajaran berbentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP ini akan mensyaratkan kolaborasi antara pengelola perpustakaan dan guru mata pelajaran dalam pembelajaran.
Kegiatan Penyusunan Modu Pembelajaran Berbasis Perpustakaan, Koleksi Pribadi
Seperti halnya manusia yang perlu berpikir secara strategis di era otomatisasi, sarana pembelajaran, seperti perpustakaan yang saya sebut di atas pun harus bertransformasi. Dari sekadar penyedia informasi menjadi entitas yang juga cerdas dan responsif. Perpustakaan seharusnya bukan sekadar tempat penyimpanan buku, tetapi juga ruang eksplorasi yang mendorong pembelajaran aktif dan mendalam.
ADVERTISEMENT
Namun, bagaimana jika perpustakaan itu sendiri menjadi cerdas? Dalam artikel saya yang lain, "Mencerdaskan Perpustakaan", saya membahas bagaimana perpustakaan harus bertransformasi menjadi perpustakaan pintar dan perpustakaan cerdas, harus mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan penggunanya.
Dalam konteks ini, perpustakaan cerdas dapat menjadi contoh positif dari "cerdas tanpa berpikir". Dengan memanfaatkan kecerdasan buatan dan analitik data, perpustakaan dapat menyediakan informasi yang relevan secara otomatis, menyesuaikan koleksi dengan kebutuhan pengguna, dan bahkan merekomendasikan sumber bacaan yang sesuai dengan minat seseorang tanpa memerlukan interaksi manual yang berlebihan.
Di satu sisi, perpustakaan cerdas membuat akses terhadap informasi menjadi lebih mudah dan efisien. Pengguna dapat dengan cepat menemukan buku atau artikel yang mereka butuhkan tanpa harus melakukan pencarian yang panjang. Namun, di sisi lain, ada risiko bahwa kemudahan ini membuat orang menjadi lebih pasif dalam berpikir. Jika semua informasi disajikan dengan begitu cepat dan mudah, apakah pengguna masih terdorong untuk mengeksplorasi lebih dalam?.
Perpustakaan Modern, Gambar: Freepik
Di sinilah keseimbangan harus dijaga. Perpustakaan cerdas tidak boleh sekadar menjadi mesin penyedia informasi instan, tetapi juga harus tetap mempertahankan perannya sebagai ruang intelektual yang mendorong pengguna untuk berpikir kritis. Teknologi harus menjadi alat yang mempercepat proses belajar, bukan menggantikannya sepenuhnya. Kecerdasan buatan tidak sepenuhnya menggantikan peran manusia (guru), tetapi lebih sebagai alat bantu untuk mempercepat pembelajaran, seperti penyelesaian tugas pendahuluan, merangkum bahan sumber belajar. Dengan demikian, setelah itu peserta didik menjadi lebih siap menerima pembelajaran dari gurunya
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, kecerdasan buatan yang kini semakin marak digunakan, telah menjadi bagian dari ekosistem pembelajaran. Bahkan kecerdasan buatan dapat menghasilkan wawasan baru. Namun, tanpa pemikiran kritis, kecerdasan buatan bisa membuat kita hanya menerima hasil tanpa mempertanyakan atau memahami lebih dalam. Oleh karena itu, perpustakaan dan kecerdasan buatan seharusnya saling melengkapi, perpustakaan memberikan ruang untuk eksplorasi mendalam, sementara kecerdasan buatan menjadi alat bantu untuk menyaring dan mengorganisir informasi.
Pada akhirnya, kecerdasan sejati bukan hanya tentang seberapa cepat kita menemukan jawaban, tetapi tentang bagaimana kita memaknainya. Menjadi cerdas tanpa berpikir mungkin dapat membawa kita pada efisiensi, tetapi tanpa pemikiran yang mendalam, kita akan kehilangan substansi. Maka, tantangan kita bukan hanya menjadi cerdas, tetapi juga menjadi individu yang mampu berpikir, menganalisis, dan memahami dengan lebih baik.
ADVERTISEMENT
Perpustakaan memiliki peran penting dalam memastikan bahwa teknologi tidak menghapus esensi berpikir manusia. Dengan menghubungkan perpustakaan cerdas dengan pembelajaran mendalam, kita dapat menciptakan ekosistem di mana kecerdasan dan pemikiran kritis berjalan beriringan, memastikan bahwa kita tidak hanya sekadar cerdas tanpa berpikir, tetapi juga cerdas dengan kesadaran penuh. Jika otomatisasi berpikir bisa membuat pembelajaran lebih efisien, apakah kita siap untuk mengadopsinya dalam skala yang lebih luas, misalnya di birokrasi pemerintahan?
Menurut Anda, apakah otomatisasi berpikir dalam kecerdasan buatan lebih banyak membawa manfaat atau risiko? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar!