Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
KKN Literasi Sebagai Daya Penggedor Kampus Berdampak
1 Mei 2025 15:44 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Taufiq A Gani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kampus tidak lagi cukup hadir sebagai menara gading akademik. Dalam gelombang transformasi kebijakan pendidikan tinggi nasional, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof. Dr. Khairul Munadi, S.T., M.Eng telah mengumumkan sebuah arah baru pendidikan tinggi di Indonesia yang menjanjikan, yaitu Kampus Berdampak.
ADVERTISEMENT
Gagasan ini bukan sekadar kelanjutan dari semangat Kampus Merdeka. Arah baru ini merupakan wujud konkret menjawab kebutuhan zaman—agar mahasiswa, dosen, dan institusi perguruan tinggi benar-benar terlibat langsung dalam kehidupan masyarakat dan menghadirkan dampak nyata.
Dari Kampus ke Masyarakat: Kolaborasi sebagai Panggilan
Kontribusi itu tidak digambarkan sebagai aktivitas biasa. Saya merasakan Dirjen Dikti telah melakukan panggilan. Sebuah ajakan bagi kampus untuk hadir—bukan hanya lewat kurikulum, tetapi lewat kolaborasi.
Bukan kolaborasi basa-basi. Melainkan kolaborasi yang lintas batas: antarlembaga, antargenerasi, dan yang paling penting, antara pengetahuan dan kebutuhan warga. Sebab di luar kampus, realitas bergerak cepat. Masalah bangsa tidak selesai oleh teori semata.
Lewat kolaborasi inilah kampus didorong masuk ke jantung masalah. Bukan untuk magang, bukan sekadar pengabdian simbolik. Tetapi untuk benar-benar terlibat. Dalam kemiskinan yang masih membelenggu. Dalam perubahan iklim yang kian terasa. Dalam kesehatan masyarakat yang tak merata. Dan tentu saja, dalam literasi—yang menjadi fondasi semua itu.
ADVERTISEMENT
Dalam semangat inilah, Perpustakaan Nasional bersama Kemendiktisaintek merancang dan menyelenggarakan KKN Literasi yang saya sebut sebagai daya penggedor Kampus Berdampak.
Program ini tidak sekadar pelengkap kegiatan akademik, tetapi menjadi wahana penguatan kapasitas komunitas melalui praktik literasi yang hidup, partisipatif, dan relevan dengan kebutuhan lokal.
KKN Literasi: Efisiensi, Swakelola, dan Dampak Nyata
KKN Literasi lahir dalam suasana baru efisiensi anggaran yang digaungkan oleh Presiden Prabowo. Di tengah tuntutan untuk memangkas pemborosan birokrasi dan mengalihkan sumber daya ke sektor yang berdampak langsung, Perpustakaan Nasional menjawabnya secara konkret—dengan program yang bukan hanya hemat secara fiskal, tetapi berpihak pada masyarakat.
Program ini dijalankan melalui skema swakelola bersama antara Perpusnas dan perguruan tinggi mitra. Skema ini memungkinkan kolaborasi langsung antara lembaga negara dan kampus tanpa perantara jasa komersial, sekaligus memperkuat posisi pendidikan tinggi sebagai pelaksana pembangunan berbasis pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Secara operasional, cakupan program ini disusun berbasis data dan sebaran literasi yang jelas.
Sebanyak 10 hingga 15 mahasiswa ditempatkan di masing-masing dari 1.000 desa. Desa-desa ini merupakan bagian dari 10.000 wilayah yang sebelumnya (tahun 2024) telah menerima bantuan buku bermutu dari Perpusnas. Penempatan ini tidak acak, melainkan berbasis pada data distribusi koleksi dan potensi penguatan ekosistem literasi yang terekam dalam Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM).
Dengan pendekatan ini, Perpusnas tidak hanya menjalankan anjuran efisiensi. Penghematan yang pro-rakyat telah dijalankannya. Dana tidak lagi dihabiskan untuk pelatihan hotel atau perjalanan seremonial. Sebaliknya, sumber daya langsung dialokasikan ke perpustakaan desa, ruang baca komunitas, dan mahasiswa yang bekerja berdampingan dengan warga.
Program ini menjadi penting karena distribusi buku bantuan saja, yang dilakukan selama ini tidak cukup. Koleksi telah tersebar ke ribuan desa tidak akan berdampak jika dibiarkan tanpa pendampingan. Di sinilah peran mahasiswa menjadi krusial. Mereka hadir bukan membawa teori, melainkan waktu, tenaga, dan kemampuan membaca situasi. Ditempatkan di desa-desa penerima bantuan buku dari Perpustakaan Nasional, mereka bertugas menghidupkan ruang baca, menyusun kegiatan literasi, dan mendampingi pustakawan dalam pengelolaan perpustakaan sekolah maupun desa—mengubah rak-rak sunyi menjadi ruang belajar yang hidup.
ADVERTISEMENT
Dari menyusun ulang rak hingga membantu anak-anak mengeja huruf pertama mereka, mahasiswa hadir sebagai penggerak yang bekerja bersama, bukan dari atas.
Apa yang mereka lakukan di lapangan sesungguhnya mencerminkan sesuatu yang lebih mendalam—yakni bagaimana literasi berperan sebagai kekuatan sosial yang membebaskan.
Literasi sebagai Gerakan Pembebasan Sosial
Gagasan tentang literasi sebagai kekuatan transformatif bukan baru sekali saya angkat. Dalam tulisan “Doktrin Perpustakaan dan Martabat Bangsa” (Kumparan, 2023), saya menyebut bahwa perpustakaan bukan hanya lembaga teknis, tetapi bagian dari proyek kebudayaan dan kebangsaan. Demikian pula dalam “Politik Kekuasaan di Balik Rak Buku”, saya mengurai bagaimana perpustakaan sering kali berada di persimpangan antara kontrol dan pembebasan.
KKN Literasi, dalam konteks itu, adalah cara konkret untuk memihak pada fungsi pembebas. Ia membawa mahasiswa turun ke desa, bukan untuk menyuluhkan satu arah pandang, tetapi untuk menyimak, memahami, dan membangun bersama. Melalui pendekatan ini, perpustakaan bukan lagi milik negara semata, tetapi milik warga yang menghidupkannya.
ADVERTISEMENT
Apa yang semula merupakan gagasan filosofis, kini menemukan bentuknya dalam tindakan-tindakan sederhana yang dijalankan mahasiswa di desa.
Yang dilakukan mahasiswa mungkin tampak sederhana. Tetapi melalui interaksi yang tulus dan berulang, mereka menjadi pemantik: anak-anak mulai membaca nyaring, perempuan ikut terlibat, dan komunitas yang semula pasif mulai membuka ruang dialog.
Menariknya, program ini tidak terbatas pada literasi dalam arti teknis. Ia menyentuh aspek sosial, budaya dan bahkan spiritual. Mahasiswa tidak datang hanya membawa buku, tetapi menghadirkan percakapan, membangun relasi, dan yang paling penting—belajar mendengarkan.
Sebab dalam konteks ini, literasi bukan hanya soal membaca teks. Tetapi membaca realitas. Membaca manusia. Dan membaca masa depan yang belum tertulis.
Dalam konteks Kampus Berdampak, KKN Literasi membuktikan bahwa gagasan besar bisa diterjemahkan secara bersahaja. Tidak perlu infrastruktur mahal. Tidak perlu sistem yang rumit. Cukup kehadiran yang konsisten dan niat yang tulus.
ADVERTISEMENT
Bagi mahasiswa, ini bukan sekadar SKS. Ini latihan menjadi warga yang berpikir dan bertindak. Bagi kampus, ini bukti bahwa kontribusi keilmuan bisa hadir dalam bentuk yang paling manusiawi: mendampingi dan membangun bersama.
Jika Kampus Berdampak adalah jalan ke depan, maka KKN Tematik Literasi adalah daya penggedor yang menggerakkan langkah pertamanya.
Penulis adalah Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Penanggung Jawab KKN Literasi Tingkat Nasional.