news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Perjuangan Nyai Ahmad Dahlan Melakukan Transformasi Budaya Perempuan Jawa

Tazkia Kamila Sofuan
Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
28 Maret 2022 10:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tazkia Kamila Sofuan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Nyai Siti Walidah Pahlawan Emansipasi Wanita Muslim. Sumber: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Nyai Siti Walidah Pahlawan Emansipasi Wanita Muslim. Sumber: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian perempuan khususnya keluarga besar Muhammadiyah, nama Nyai Siti Walidah tidaklah asing untuk didengar. Ia dikenal sebagai pendiri ‘Aisyiyah yang merupakan badan otonom Muhammadiyah untuk wanita. Nyai Siti Walidah lahir pada tanggal 3 Januari 1872 di Kauman, Yogyakarta. Ia merupakan putri dari seorang ulama penghulu di Keraton Yogyakarta yang bernama Kiai Fadli dan ibunya bernama Nyai Mas.
ADVERTISEMENT
Ketika usianya menginjak 17 tahun seperti wanita Jawa pada umumnya ia harus menjalani masa pingitan sebelum menikah. Ia menikah dengan saudara sepupunya yang bernama Muhammad Darwis atau yang lebih dikenal dengan Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan merupakan pendiri organisasi Muhammadiyah yang masih berkembang hingga sekarang. Setelah menikah dengan Ahmad Dahlan Nyai Siti Walidah turut berperan dalam mengembangkan organisasi yang didirikan oleh suaminya itu.
Konsep Pemikiran Nyai Siti Walidah
Nyai Siti Walidah merupakan seorang wanita yang memiliki pemahaman ilmu agama dan terkenal sangat pandai dalam berdakwah. Atas penguasaannya terhadap ilmu agama membuat ia memiliki pemikiran yang terbilang maju pada zamannya. Di balik budaya patriarki yang melekat pada kehidupan masyarakat Jawa, Nyai Siti Walidah berusaha untuk memajukan kaum wanita supaya memiliki kesamaan derajat dengan kaum pria. Menurut Nyai Siti Walidah pada dasarnya baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Ia juga tidak ragu menyampaikan pemikirannya ini di depan para audiensi ketika sedang berkhotbah dan menentang adanya budaya nikah paksa yang berlaku saat itu dan dinilai telah menghalangi hak seorang wanita untuk memilih pria sebagai teman hidupnya.
ADVERTISEMENT
Perempuan pada masa itu hanya dinilai sebagai seseorang yang hanya fokus untuk mengurus rumah tangga dan melayani suami. Perspektif dari masyarakat Jawa inilah yang membuat seorang wanita dianggap rendah, sehingga diperlukannya suatu emansipasi bagi wanita supaya mereka dapat memiliki kesamaan hak dan derajat dengan laki-laki. Konsep pemikiran yang dimiliki oleh Nyai Siti Walidah ini terbentuk secara progresif dan mendapatkan pengaruh dari sang suami yang merupakan teman bertukar pikirannya setiap hari. Melalui pertukaran pikiran yang dilakukannya dengan sang suami pada akhirnya ia diberi izin untuk memajukan kaum wanita agar mereka pandai disegala aspek kehidupan baik itu dalam urusan agama maupun urusan dunia.
Kiprah Perjuangan Nyai Siti Walidah
Pada awal abad ke-20 pendidikan bagi kaum wanita memang masih dianggap sebagai hal yang tabu. Hal ini disebabkan karena adanya perspektif yang berkembang pada lingkungan masyarakat Jawa, sehingga menimbulkan stereotip dari masyarakat dan menganggap bahwa seorang wanita hanyalah bertugas mengurus dapur. Stereotip yang berkembang di masyarakat Jawa membuat wanita tidak memiliki kedudukan yang sama dengan pria sehingga menyebabkan ketimpangan gender.
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab semua permasalahan tersebut Nyai Siti Walidah mengambil langkah demi memajukan kaum wanita yaitu dengan cara mendirikan sebuah kelompok pengajian bagi perempuan di daerah Kauman Yogyakarta. Kelompok pengajian itu diberi nama Sopo Tresno yang merupakan awal dari didirikannya organisasi ‘Aisiyah yang masih berkembang hingga sekarang. Sopo Tresno merupakan kelompok pengajian perempuan yang kegiatannya mendalami ayat-ayat Alquran beserta terjemahnya terutama ayat yang memiliki kandungan isi kewanitaan. Selain mendirikan kelompok pengajian Sopo Tresno, Nyai Siti Walidah juga memiliki dua kelompok pengajian lagi yaitu Wal 'Ashri dan Maghribi School. Wal 'Ashri diperuntukkan bagi ibu-ibu dan para remaja putri di wilayah Kauman, sedangkan Maghribi School diperuntukkan bagi kaum buruh batik Kauman. Pendirian kelompok pengajian ini dilakukan dengan tujuan mencetak generasi wanita muslim yang memiliki nilai luhur untuk melanjutkan perjuangan bangsa.
ADVERTISEMENT
Melakukan Transformasi Budaya Perempuan Jawa
Transformasi adalah sebuah usaha untuk melakukan perubahan ke arah yang baru tanpa mengubah struktur lama, meskipun telah mengalami suatu perubahan. Pada saat itu perempuan Jawa di wilayah Kauman, Yogyakarta masih percaya terhadap adat dan istiadat yang dipercaya oleh para leluhurnya. Kehidupan perempuan Jawa pada masa lalu tidak dapat dipisahkan dengan pakaian kebaya, rok batik, dan rambut yang tersanggul ke belakang sebagai sebuah budaya dari masyarakat Jawa. Melihat hal seperti ini Nyai Siti Walidah berusaha untuk mengajak perempuan muslim menjalankan perintah dari Allah SWT untuk menutup auratnya sebagaimana yang tercantum dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 59. Oleh karena itu, Nyai Siti Walidah merasa perlu melakukan transformasi budaya terutama terkait dengan busana dengan tujuan supaya perempuan Jawa pada saat itu menjunjung tinggi nilai-nilai Islam sebagai seorang wanita muslim, tanpa meninggalkan adat dan istiadat dalam kehidupan sehari-harinya.
ADVERTISEMENT
Pada mulanya, perempuan Jawa menolak untuk memakai hijab. Hal ini dikarenakan mereka tetap ingin memegang teguh keyakinan budaya dari leluhurnya, namun Nyai Siti Walidah terus menerus berusaha agar niat baiknya tersebut dapat terwujud. Nyai Siti Walidah memperkenalkan hijab kepada perempuan pada masa itu dengan cara memakainya ketika mengajar di kelompok pengajian yang telah didirikannya. Penggunaan hijab dipadukan dengan kebaya dan rok batik ini dilakukan supaya tidak menghilangkan unsur budaya Jawa. Hal ini dinilai sebagai sebuah pencapaian yang tergolong istimewa karena pada saat ini hijab dapat berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Dari kisah di atas dapat kita ambil pelajaran bahwa jika segala sesuatu diawali dengan adanya niat baik dan berusaha dengan gigih maka pada akhirnya hal tersebut dapat terwujud. Saat ini hijab telah diterima oleh perempuan khususnya perempuan Jawa yang kemudian berkembang luas ke wilayah lain. Hal ini tentunya tidak dapat terlepas dari perjuangan Nyai Siti Walidah dalam melakukan transformasi budaya perempuan Jawa dalam hal berbusana.
ADVERTISEMENT