Konten dari Pengguna

ASN Anti Korupsi : Navigasi antara Persepsi dan Realita

Thareq Akmal Hibatullah
Seorang Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pembelajar sepanjang hayat.
10 Oktober 2024 11:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Thareq Akmal Hibatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ASN saling berkoordinasi dan berkolaborasi untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Sumber foto: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
ASN saling berkoordinasi dan berkolaborasi untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Sumber foto: freepik.com
ADVERTISEMENT
Persepsi publik terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia sering kali dipenuhi dengan citra negatif. Mulai dari tudingan bekerja tanpa performa, izin saat jam kerja, hingga dugaan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa serta penyalahgunaan wewenang.
ADVERTISEMENT
Beberapa kasus baru-baru ini, seperti yang melibatkan Rafael Alun, semakin memperburuk citra ASN di mata masyarakat. Akibatnya, persepsi negatif ini semakin mengakar dan sulit untuk dihilangkan.
Namun, persepsi tidak selalu mencerminkan realita. Seperti yang dijelaskan oleh Jonathan Rose dalam bukunya Routledge Handbook of Political Corruption, pengalaman pribadi, pemberitaan media, serta ketidakpercayaan terhadap lembaga pemerintah kerap memperburuk persepsi masyarakat tentang korupsi. Walaupun mayoritas ASN menjalankan tugas dengan integritas, persepsi negatif yang kuat ini menimbulkan pandangan bahwa korupsi adalah hal yang lumrah di kalangan ASN.
Baik-buruknya persepsi publik terhadap ASN bukan karena peran satu pihak belaka. Misalnya, media turut memiliki peran dalam membingkai persepsi publik terhadap ASN. Pemberitaan yang berulang tentang kasus korupsi di lingkungan birokrasi menciptakan kesan bahwa korupsi adalah hal yang umum.
ADVERTISEMENT
Padahal, hanya sebagian kecil ASN yang terlibat dalam praktik ini. Sayangnya, pemberitaan yang terus-menerus membuat masyarakat cenderung menggeneralisasi bahwa semua ASN terlibat dalam praktik koruptif. Hal ini berujung pada ketidakpercayaan publik terhadap kinerja ASN secara keseluruhan.
Pendekatan Manajemen ASN: Mencari Solusi yang Tepat
Pembangunan persepsi ASN harus dimulai dari manajemen ASN itu sendiri. Manajemen ASN dapat dilihat dari dua pendekatan, yakni Teori X dan Teori Y. Teori X mengatakan bahwa pegawai perlu dikontrol dan diarahkan secara ketat. Sementara Tori Y berpendapat bahwa pegawai dapat berkontribusi lebih banyak ke dalam pekerjaan apabila pegawai tersebut memiliki kebebasan untuk menyampaikan ide dan memiliki inisiatif.
Apabila pendekatan Teori X dipakai secara tunggal, maka ASN akan dikontrol dan diawasi secara berlebihan. Hal ini dapat menciptakan penurunan moral, ketidakpuasan pekerjaan, dan kurangnya rasa tanggung jawab atas pekerjaan yang ada. Pekerjaan hanya dipandang mencari sarana mencari kompensasi, termasuk melalui jalan yang kurang halal.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, apabila Teori Y dipakai secara tunggal, maka pertanggungjawaban dan pengukuran kinerja ASN menjadi bersifat kabur. Meskipun, pendekatan Teori Y mendorong timbulnya lingkungan kerja yang lebih inovatif dan termotivasi, namun luaran pekerjaan ASN menjadi kurang dapat terukur. Padahal, anggaran negara yang menjadi sumber pembiayaan ASN dan kegiatan bernegara tersebut perlu dipertanggungjawabkan menurut undang-undang demi kelancaran pembangunan.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang seimbang antara Teori X dan Teori Y dalam manajemen ASN. Pengawasan ASN tetap diperlukan di samping program pemberdayaan ASN. Perkembangan teknologi informasi dapat menjadi sarana dalam pelaksanaan hal tersebut.
Dari segi pengawasan, maka teknologi informasi dapat dimanfaatkan memperbaiki persepsi publik sekaligus meminimalkan praktik korupsi di kalangan ASN dalam bentuk pengukuran kinerja dan penjaminan transparansi. Misalnya, penggunaan sistem digital untuk pelaporan perjalanan dinas, pengadaan barang dan jasa, serta pencatatan kehadiran harian dapat mengurangi peluang manipulasi data.
ADVERTISEMENT
Selain itu, teknologi seperti e-government dapat menurunkan tingkat korupsi dengan mengurangi interaksi langsung antara ASN dan masyarakat. Minimnya interaksi tatap muka dapat mengurangi peluang terjadinya suap atau pemberian gratifikasi.
Digitalisasi layanan aduan turut memberikan jalan kepada masyarakat untuk mengajukan aduan dan melaporkan dugaan korupsi dengan lebih mudah, cepat, dan anonim. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap instansi pemerintah serta memberikan ruang bagi masyarakat untuk turut serta mengawasi kinerja ASN.
Publikasi kinerja ASN melalui media sosial, situs web, dan laporan rutin juga penting untuk memperbaiki persepsi publik. Publikasi tersebut menjadi bentuk pertanggungjawaban atas kinerja ASN. Transparansi semacam ini dapat memperlihatkan langkah konkret yang diambil dalam memberantas korupsi, sekaligus menjembatani perbedaan antara persepsi dan realita yang ada.
ADVERTISEMENT
Perbaikan persepsi harus dibarengi dengan reformasi kelembagaan ASN. Kebijakan meritokrasi yang adil, penghargaan untuk prestasi, serta hukuman yang tegas bagi pelanggaran akan membantu menciptakan sistem yang lebih bersih dan berintegritas.
Navigasi antara persepsi dan realita bukanlah hal yang mudah. Diperlukan komitmen untuk mereformasi kelembagaan, penggunaan teknologi informasi secara optimal, serta pendekatan manajemen yang tepat agar ASN dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Pada akhirnya, keseimbangan antara pemberdayaan ASN dan penguatan pengawasan menjadi kunci utama dalam menciptakan birokrasi yang bersih, berintegritas, dan terpercaya di mata publik. Dengan reformasi yang tepat, ASN dapat menjadi garda terdepan dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah serta menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik.