Asia Tenggara: Panggung Baru Pertempuran ISIS?

31 Mei 2017 7:35 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga Marawi, Filipina (Foto: REUTERS/Romeo Ranoco)
zoom-in-whitePerbesar
Warga Marawi, Filipina (Foto: REUTERS/Romeo Ranoco)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aksi militer Filipina untuk menangkap Isnilon Hapilon, 23 Mei, gagal total. Alih-alih menangkap buronan nomor satu FBI sekaligus pentolan kelompok militan Abu Sayyaf itu, kelompok Maute yang sama-sama terafiliasi pada ISIS justru menyerang balik secara besar-besaran.
ADVERTISEMENT
Upaya militer Filipina untuk mempertahankan serangan pada skala kecil pun gagal. Kelompok Maute justru tampil all out dengan pertama-tama merebut dan membakar bangunan-bangunan, menangkap warga Kristen yang mereka temui, dan membebaskan tahanan yang ada di penjara kota Marawi.
Konflik skala besar tersebut membuat masyarakat kota Marawi tersandera di tengah-tengahnya. Presiden Rodrigo Duterte pun langsung menerapkan darurat militer di Mindanao. Status keamanan tersebut akan berlangsung selama 60 hari, atau hingga minggu terakhir Agustus depan.
“Kalau saya pikir kalian harus mati, maka kalian akan mati. Jika kalian melawan kami, kalian akan mati. Dan jika itu berarti banyak orang lain akan mati, maka tak masalah,” ucap Duterte, mempertahankan keputusan pemberlakuan martial law-nya.
ADVERTISEMENT
Hingga Selasa kemarin (30/5), meski mengaku telah mengambil alih kendali di mayoritas wilayah selatan Filipina, pertempuran di beberapa wilayah masih berlanjut. Kini, tentara Filipina terus mengisolasi kantong-kantong militan di Marawi untuk menghentikan pasokan logistik.
Rodrigo Duterte (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Rodrigo Duterte (Foto: Reuters)
Meski perkembangan pertempuran menunjukkan tanda-tanda kemajuan, ketakutan lain mengendap-endap di balik krisis keamanan tersebut. Dalam dua hari, 22-24 Mei, terjadi tiga serangan ISIS besar. Dua di antaranya terjadi di Asia Tenggara --Filipina dengan serangan Maute, dan Indonesia lewat serangan bom di Kampung Melayu.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyadari adanya tren perubahan mekanisme teror oleh ISIS. Terus merangseknya pasukan koalisi di Suriah dan Irak disebut-sebut berhasil membatasi ruang gerak ISIS di Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
"Sentralnya diserang dan mereka terpecah. [Mereka] perintahkan sel-sel pendukungnya di berbagai negara untuk melakukan serangan di negaranya. Indonesia merupakan sel yang terkait melalui Bahrun Naim," kata Tito, Jumat (26/5).
Mengingat keadaan ISIS yang terus terdesak di ladang pertempurannya di Suriah dan Irak, apakah mungkin bahwa tempat bertempur nantinya berganti ke negara-negara di Asia Tenggara?
Snapshot salah satu video propaganda ISIS yang menampilkan Abu Muhammad al Indonesi (Foto: Noxious/Youtube)
zoom-in-whitePerbesar
Snapshot salah satu video propaganda ISIS yang menampilkan Abu Muhammad al Indonesi (Foto: Noxious/Youtube)
Tentakel ISIS di Asia Tenggara
“Pemerintah harus mengakhiri masalah ini untuk selama-lamanya. Saya tak bisa main-main dengan ISIS. Mereka di mana-mana,” ucap Duterte, Kamis (25/5).
Pendapatnya --meskipun diikuti kebijakan penanganan yang luar biasa keras dan sangat memungkinkan menjadi pintu pelanggaran hak asasi manusia-- memiliki derajat kebenaran tertentu. ISIS memang ada di mana-mana, dan itu bukan fakta baru.
ADVERTISEMENT
Di Asia Tenggara, ISIS telah memiliki banyak “cabang”. Di Indonesia ada Jamaah Ansharut Daulah (JAD) pimpinan Aman Abdurrahman yang baru saja menyerang Terminal Kampung Melayu, juga kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso. Sementara di Filipina, Abu Sayyaf telah bergabung dengan ISIS sejak Juli 2014.
“ISIS itu dari dulu sudah mempunyai basis-basis di Asia Tenggara, misalnya di Filipina dan Thailand Selatan. Jadi sebelum ada ISIS, mereka adalah kelompok-kelompok militan bersenjata di masing-masing negaranya,” ujar Ridwan Habib, peneliti sekaligus pengamat gerakan terorisme di Indonesia.
Yang terjadi kemudian adalah apa yang disebut dengan franchising ideology. Seperti halnya perkembangan bisnis yang mengglobal, ISIS tak harus memasok personelnya ke negara-negara lain. Asal percaya dengan ideologi yang dianut ISIS dan punya kemauan melakukan praktik-praktik teror guna membangun kekhilafan model ISIS, sebuah kelompok militan di mana saja bisa menjadi cabang ISIS yang baru.
ADVERTISEMENT
Tentara bagikan foto buronan anggota Abu Sayyaf. (Foto: Reuters//Marconi B. Navales)
zoom-in-whitePerbesar
Tentara bagikan foto buronan anggota Abu Sayyaf. (Foto: Reuters//Marconi B. Navales)
“Misalnya kelompok Pattani di Thailand Selatan, kelompok gerilyawan Abu Sayyaf, MILF, juga Maute, itu adalah kelompok-kelompok yang dari awal sudah mempunyai kemampuan bersenjata, bahkan sebelum ada ISIS,” jelas Ridwan. “Baru ketika ada khilafah ISIS di tahun 2013, mereka membaiatkan diri atau menyatakan bergabung ke kelompok ISIS.”
Kelompok-kelompok itu, menurutnya, melakukan bandwagoning dengan bergabung dengan ISIS. Ini menguntungkan kedua belah pihak, baik bagi ISIS yang mendapat perluasan pengaruh, juga bagi kelompok militan lokal terkait yang mungkin mendapatkan insentif dari ISIS.
Insentif tersebut bisa berupa apa saja, dari materi yang bersifat tangible (terlihat dan nyata) maupun yang intangible (tak berbentuk, misal ide). Kelompok-kelompok seperti JAD dan Abu Sayyaf bisa mendapatkan akses senjata, perlindungan, hingga pelatihan personel dari ISIS.
ADVERTISEMENT
Dengan bergabung dengan ISIS, mereka juga mendapatkan nama besar yang bisa membangun nama kelompok itu sendiri hingga menggentarkan lawan politik mereka.
“Maute contohnya. Mereka sudah lama bersenjata. Tapi setelah bergabung dengan ISIS, dia bisa mendapatkan support dari, misalnya, orang-orang Indonesia yang simpati dengan perjuangan mereka untuk bergabung ke sana, dengan alasan sama-sama percaya bahwa ideologi ISIS adalah ideologi yang benar,” kata Ridwan kepada kumparan, Selasa (30/5).
Kondisi di Marawi Filipina (Foto: REUTERS/Erik De Castro)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi di Marawi Filipina (Foto: REUTERS/Erik De Castro)
Potensi Eskalasi Konflik
Lalu, mungkinkah sel-sel ISIS di beberapa negara Asia Tenggara tersebut memulai konflik dengan skala lebih besar?
Yang jelas, eksistensi ISIS di Asia Tenggara hanya terbatas pada beberapa negara. ISIS Asia Tenggara, menurut Ridwan Habib, hanya berada di Filipina Selatan, Thailand Selatan, dan beberapa sel baru di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Sayap-sayap itu, kecuali di Filipina Selatan, Thailand, dan Indonesia, kecil semua.” Malaysia, yang dulu memiliki kelompok Jamaah Islamiyah pun disebutnya tak memiliki pecahan ISIS dengan kekuatan yang signifikan.
“Malaysia mungkin ada, tapi kecil sekali. Plotnya ada, tapi selalu terbongkar lebih dulu.” Ia menyebut sangat kecil kemungkinan perang antara teroris-negara seperti di Timur Tengah, terjadi di Asia Tenggara, termasuk di negara ini.
“Kalau di Indonesia saya kira sulit. Kemampuan militer kelompok ISIS di Indonesia sangat terbatas, termasuk juga kemampuan logistik --seperti granat, senjata. Kemudian dari sisi teritorial juga sulit. Contohnya MIT dan Santoso di Gunung Biru. Poso itu juga gagal setelah operasi Tinombala,” ujarnya.
Ucapan ini senada dengan pendapat Joseph Liow, dekan dan profesor Perbandingan Politik Internasional di Rajaratnam School of International Studies (RSIS) NTU Singapura. Ia menyebut, tak ada kelompok yang beraliansi dengan ISIS di Asia Tenggara yang memiliki kapabilitas serang dengan level katastrofik.
ADVERTISEMENT
Joseph kemudian membandingkan aksi-aksi ISIS di Asia Tenggara dengan apa yang terjadi di Eropa. Pada serangan di Jakarta awal 2016 lalu, “hanya” ada empat orang sipil meninggal. Sementara pada serangan Kampung Melayu jelang Ramadhan, 33 persen yang tewas karena serangan adalah para teroris itu sendiri, sementara sisanya ialah polisi.
Hal ini sangat kontras dengan apa yang terjadi, misalnya, pada serangan Paris November 2015, yang dalam sekali skema serangan terkoordinasi, berhasil menewaskan 130 masyarakat sipil.
Tentara di Paris (Foto: Reuters/Philippe Wojazer/File photo)
zoom-in-whitePerbesar
Tentara di Paris (Foto: Reuters/Philippe Wojazer/File photo)
Beberapa hal punya andil terhadap lebih baiknya keadaan negara-negara Asia Tenggara, terutama Indonesia, dalam melawan terorisme. Aksi Polri sebagai petugas utama pengendalian terorisme di Indonesia jelas perlu mendapatkan apresiasi.
Selain itu, jumlah orang-orang Asia Tenggara yang turut berangkat ke Irak maupun Suriah untuk membela ISIS, juga tak sebanyak Eropa --yang lantas berpengaruh pada minimnya transfer kemampuan dan tingkat penerjemahan ideologi ke aksi-aksi terorisme nyata.
ADVERTISEMENT
Angka paling moderat yang menghitung masyarakat Asia Tenggara yang berangkat ke Suriah hingga tahun 2016 adalah sekitar 800-900 orang. Angka ini mayoritas diisi oleh orang-orang Indonesia. Meski demikian, tak semua dari mereka turut mengangkat senjata dan terjun langsung berperang.
Sebanyak 40 persen dari total jumlah orang yang pergi ke Suriah adalah ibu dan anak-anak yang mengikuti suami dan ayah mereka. Beberapa dari mereka pun telah terbunuh dalam pertempuran melawan pasukan Kurdi. Sementara, tak semua dari angka tersebut juga membela ISIS; banyak di antara mereka yang tergabung dalam kelompok pemberontak lain seperti Fron Al-Nusra.
Betul bahwa penyebaran ideologi dan cara-cara melakukan serangan terorisme mudah dilakukan dengan adanya kemajuan internet, seperti lewat Bahrun Naim yang dengan mudahnya berkampanye via Telegram.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, keadaan demikian membuat pola gerakan ISIS di Asia Tenggara hingga saat ini masih terdesentralisasi ke tingkat individual, bukan kelompok-kelompok yang mempunyai kapabilitas lebih tinggi seperti masa-masa Jamaah Islamiyah di dekade 2000-an. Saat itu JI bisa bergerak masif dan efektif karena memiliki pentolan-pentolan mantan mujahidin yang turut serta dalam konflik Afghanistan-Soviet pada dekade 1980-an.
Konteksnya pun berbeda antara masa itu dan ISIS kini, di mana para “mujahidin” yang berangkat ke Afghanistan memang mencari pelatihan untuk melawan rezim Soeharto yang secara keras menekan kelompok muslim di Indonesia. Dan dengan sistem demokrasi yang berlaku saat ini, setidaknya, alasan tersebut tak ada lagi.
Asap akibat perang antara ISIS dan Irak. (Foto: Reuters/Goran Tomasevic)
zoom-in-whitePerbesar
Asap akibat perang antara ISIS dan Irak. (Foto: Reuters/Goran Tomasevic)
Selain itu, konteks kekuatan ISIS di Timur Tengah dan Asia Tenggara juga sangat jauh berbeda. Sampai saat ini, tak pernah benar-benar ada “ISIS Asia Tenggara” ataupun kebijakan dari pusat ISIS yang mengumumkan rencana khusus untuk meningkatkan keterlibatannya di Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Termasuk dengan kemampuan ekonomi ISIS di Timur Tengah yang jelas berbeda dengan negara-negara Asia Tenggara. Pada tahun 2015 sampai 2016, ISIS mendapatkan pemasukan dari penjualan minyak ilegal sebesar 50 juta dolar AS per bulannya.
Minyak yang diambil dari ladang di Suriah dan Irak tersebut dijual di pasar gelap, dengan pembeli dari Turki dan bahkan Bashar Al Assad sendiri yang paling banyak menjadi konsumennya.
Sementara itu, di tahun 2017, dengan semakin berkembangnya perlawanan militer di batas-batas wilayah yang dikuasai ISIS, kelompok pimpinan Abu Bakar al Baghdadi tersebut sudah kehilangan semua sumber minyak dari Irak.
Kelompok militan yang terafiliasi dengan ISIS di Asia Tenggara jelas tak memiliki sumber daya macam itu, membuat pendanaan terhadap mereka juga minim, seperti dicontohkan kelompok Abu Sayyaf yang masih harus melakukan penculikan terhadap kapal-kapal di dekat perairan Filipina Selatan.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, bukan berarti ancaman peningkatan konflik oleh kelompok-kelompok ISIS di Indonesia sama sekali nihil. Misalnya, yang terkuak dari kelompok JAD Cilegon yang tertangkap Maret lalu. Mereka mengaku ingin memindahkan basis Poso ke Halmahera.
Namun, apakah ISIS akan mengakibatkan peningkatan konflik di Asia Tenggara seperti di Timur Tengah? Jawabannya: tak sejauh itu.