Kenapa Memilih Bunuh Diri?

24 Januari 2017 20:39 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Suicide attempt (Foto: Pixabay)
“Pada akhirnya, orang memerlukan keberanian lebih untuk hidup ketimbang bunuh diri.”
ADVERTISEMENT
Ucapan itu diutarakan oleh penulis dan filsuf Perancis, Albert Camus. Ia menganggap bunuh diri sebagai jalan pengecut, ketidakmauan dan ketidakmampuan seseorang untuk terus melangkah menapaki hidup yang tak mulus.
Tapi bagi sebagian manusia lain, mereka mungkin masuk kubu komedian Amerika Serikat Bill Maher yang mengatakan, “Bunuh diri adalah cara manusia berteriak pada Tuhan, ‘Hei, Anda tak bisa memecat saya --saya mundur!”
Kemarin, seorang lelaki mencoba bunuh diri dengan meloncat dari tepi jalan layang di Bandung. Ia terduduk di jalan layang, sambil beberapa waktu lamanya melambai-lambaikan tangan ke orang-orang yang menonton di bawah. Ia lalu berdiri, dan meloncat begitu saja.
Itu semua terekam di video --yang berakhir sebelum tubuh lelaki itu memeluk tanah. Tidak dijelaskan kenapa ia menantang maut.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, sebagian orang berniat bunuh diri karena menganggap kondisi atau masalahnya tidak tertanggungkan lagi dengan cara apapun.
Menurut mereka yang berpikiran demikian, mati jadi satu-satunya jalan.
Ilustrasi orang berniat bunuh diri (Foto: Common Wikimedia)
Pemicu orang bunuh diri macam-macam. Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut bahwa terdapat tiga pemicu utama bunuh diri di Indonesia. Kasus terbanyak adalah putus cinta, disusul masalah ekonomi, dan soal pendidikan.
Meski demikian, bunuh diri bukan hanya soal ketidakmauan melanjutkan hidup.
Jepang, misalnya. Negara di tepi Samudra Pasifik itu memiliki sejarah kebudayaan yang panjang dan lekat dengan praktik bunuh diri.
Harakiri (腹切り) dan seppuku (切腹), dua istilah dengan arti sama, merupakan kebudayaan bunuh diri Jepang yang paling terkenal, dilakukan dengan cara membelah perut sendiri menggunakan sebilah katana --pedang panjang Jepang
ADVERTISEMENT
Aksi tersebut semula dilakukan para samurai yang memilih mati secara terhormat ketimbang tertangkap musuh. Alasan lain yang mendasari aksi itu biasanya karena upaya menebus rasa malu atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan sebelumnya.
Budaya bunuh diri itu juga terbawa hingga masa Perang Dunia II. Pada periode akhir Perang Dunia II, Angkatan Udara Jepang menggunakan strategi kamikaze, di mana pilot mengorbankan diri dengan menabrakkan pesawat mereka ke pesawat musuh.
Ide kamikaze diinisiasi oleh Captain Motoharu Okamura karena dianggap lebih efektif dalam menghancurkan kapal musuh. Saat itu Jepang berada pada kondisi yang tidak menguntungkan dalam Perang Dunia II. Maka kamikaze digunakan sebagai strategi putus asa untuk mengupayakan kerusakan dari pihak musuh ketimbang mengalami kekalahan.
ADVERTISEMENT
Kamikaze attack (Foto: Common Wikimedia)
Tahun 2004, muncul gerakan untuk membentuk “Klub Bunuh Diri” di dunia maya. Kelompok tersebut saling mengajak untuk mengakhiri hidup secara bersama-sama. Setidaknya terdapat 20 orang mati dalam kurun waktu November hingga Desember 2004 karena fenomena ini.
Saat ini pun persoalan bunuh diri masih menjadi isu nasional yang ditangani serius oleh pemerintah Jepang. Hampir tiap tahun, angka kematian akibat bunuh diri di Jepang lebih tinggi 60 persen ketimbang rata-rata angka kematian akibat bunuh diri secara global.
Pada 2014 saja, rata-rata 70 orang melakukan aksi bunuh diri setiap harinya di Jepang.
Strategi bunuh diri untuk menghancurkan musuh tersebut juga masih digunakan sampai sekarang. Bukan lagi hanya didominasi Jepang dan budayanya, strategi yang mengorbankan nyawa pelaku serangan juga dilakukan oleh para teroris.
ADVERTISEMENT
Menurut Chicago Project on Security and Terrorism, terdapat 5.292 kali serangan terorisme bunuh diri yang terjadi dari tahun 1982 hingga 2016. Strategi serangan bunuh diri tersebut digunakan karena jauh lebih sulit untuk dideteksi dan mampu menyesuaikan dengan berbagai kondisi di lapangan.
Di Indonesia misalnya, suicide bomber dikenal dengan istilah pengantin bom. Sebutan tersebut berasal dari janji bagi para pelaku bom bunuh diri. Mereka diyakinkan akan mendapatkan 72 bidadari di surga nanti, setelah mati.
Dari pernikahan dengan 72 bidadari surga itulah sebutan “pengantin” bagi suicide bomber berasal.
Ilustrasi bidadari. (Foto: Pixabay)
Bunuh diri tak selamanya menjadi hal yang tidak diinginkan. Kadang, bunuh diri menjadi jalan yang paling masuk akal untuk beberapa kasus. Hal ini setidaknya dirasakan oleh Hassan Kusuma ketika menyaksikan istrinya, Agian Isna Nauli, terbaring koma berbulan-bulan usai menjalani operasi persalinan di tahun 2004.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Hassan meminta kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengizinkan praktik eutanasia (suntik mati) kepada istrinya. Alasannya, ia tak kuat lagi melihat istrinya menderita dalam keadaan koma dalam waktu panjang tanpa ada harapan sembuh.
Permohonan eutanasia Hassan atas Agian ditolak pengadilan. Hassan sendiri saat itu melihat bunuh diri bukan sebagai hal yang dihindari. Ia melihat bunuh diri sebagai jalan keluar.
Ilustrasi Euthanasia (Foto: Pixabay)
Penempatan diskursus bunuh diri sebagai sebuah jalan keluar, telah diamini oleh beberapa negara di dunia. Setidaknya ada 4 negara yang melegalkan upaya eutanasia, yaitu Belanda, Belgia, Kolombia, dan Luksemburg.
Sementara assisted suicide (bunuh diri terbantu) legal dilakukan di beberapa negara lain seperti Swiss, Jerman, Jepang, Kanada, dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Perbedaan antara eutanasia dan assisted suicide terletak pada keterlibatan dokter dalam proses kematian seseorang. Pada proses eutanasia, dokterlah yang melakukan aksi “pembunuhan,” misal dengan menyuntikkan cairan mematikan yang tidak terasa oleh pasien.
Sementara pada proses assisted suicide, dokter hanya menyediakan alat-alat yang dibutuhkan pasien untuk melakukan bunuh diri. Aksi bunuh diri tetap dilakukan oleh pasien sendiri.
Ilustrasi bunuh diri (Foto: Pixabay)
Eutanasia dan assisted suicide memiliki persyaratan ketat. Kebijakan itu biasanya diterapkan kepada pasien yang mengalami tingkat kesakitan luar biasa dan tidak memiliki kesempatan untuk sembuh.
Di Belgia, sebagai contoh, pelaku eutanasia dilakukan oleh pasien kanker yang mengalami penderitaan fisik tak tertahankan. Sebanyak 1.400 kasus dilaporkan setelah legalisasi eutanasia di Belgia pada 2002.
Sampai saat ini, bunuh diri masih menjadi polemik --dan akan terus demikian. Namun yang pasti, bunuh diri menyimpan lebih banyak masalah di baliknya.
ADVERTISEMENT
Kita sebaiknya lebih sadar melihat tanda-tanda orang yang punya kecenderungan untuk bunuh diri, dan bukannya menghakimi mereka yang mencoba melakukannya.
Tak seperti mati yang mungkin bisa terjadi dengan cepat, kehidupan merupakan sebuah proses --yang kadang menyakitkan. Jatuh bangun pasti terjadi, dan karenanya manusia sudah semestinya saling menguatkan sesama.
Simak pula di artikel berikutnya
Infografis Bunuh Diri di Indonesia (Foto: Ridho Robby/kumparan)