Petuah Ibnu Khaldun soal Jejak Kebohongan dan Hoaks

1 Juni 2017 9:03 WIB
clock
Diperbarui 9 Mei 2019 14:10 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Hoax (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hoax (Foto: Thinkstock)
Saat sejarah Barat menjelaskan asal usul hoaks sudah dimulai pada abad ke-17, seorang begawan sejarah Islam asal Tunisia rupanya telah membahas hal yang sama ratusan tahun jauh sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Lahir pada tahun 1332, Ibnu Khaldun menjelaskan hoaks sebagai salah satu bagian sejarah dengan sebutan “falsehood” atau kebohongan lewat buku tebal yang disebut Prolegonema --yang kita kenal dengan sebutan “Muqaddimah”.
Muqaddimah ia selesaikan dalam waktu lebih dari tiga tahun, sebagian besar saat ia berada di negeri yang kini menjadi Aljazair. Tujuannya membuat Muqaddimah waktu itu adalah untuk menjadi bab pembuka dalam seri buku sejarah dunia, yang ia beri judul Kitāb al-ʻIbar wa-Dīwān al-Mubtadaʼ wa-l-Khabar fī Taʼrīkh al-ʻArab wa-l-Barbar wa-Man ʻĀṣarahum min Dhawī ash-Shaʼn al-Akbār. Meski begitu, berbagai ilmuwan menganggap Prolegonema telah pantas dianggap sebagai karya individual sendiri yang punya konten mumpuni.
Pada Muqaddimah, Ibnu Khaldun membahas berbagai hal, dari filosofi sejarah, sosiologi, ekonomi, hingga politik, dan sejarah kemiliteran. Namun satu hal yang tak bisa diabaikan begitu saja, dari segala yang bisa ia katakan sebagai pengantar buku tersebut, Ibnu Khaldun membahas soal “kebohongan”, “ketidakbenaran”, yang kini juga mewajah di kehidupan modern sebagai apa yang disebut dengan hoaks.
Muqaddimah oleh Ibnu Khaldun Foto: Wikimedia Commons
Dalam muqaddimah di buku Muqaddimah tersebut, Ibnu Khaldun menjelaskan “kebohongan” dan pentingnya manusia menemukan jalan untuk menghadapinya agar tak terlalu jauh memengaruhi kebenaran historical information atau fakta sejarah.
ADVERTISEMENT
Ibnu Khaldun menganggap “untruth”, “falsehood”, atau kebohongan itu sendiri adalah hal yang tak bisa dihindari dalam perkembangan zaman. Ia secara alami memengaruhi derajat kebenaran sebuah informasi sejarah. Baginya, ini disebabkan karena tujuh hal.
Yang pertama adalah keberpihakan seseorang terhadap sebuah opini dan juga mazhab. “Apabila jiwa seseorang tak memihak ketika menerima sebuah informasi, ia akan menerima informasi tersebut dan menyambutnya dengan investigasi kritis yang pantas dikenakan padanya. Maka dari itu, benar tidaknya suatu hal menjadi jelas baginya,” tulis Ibnu Khaldun.
Ia mempermasalahkan jiwa-jiwa yang sudah ‘terinfeksi’ sebuah keberpihakan terhadap kubu-kubu pendapat dan mazhab-mazhab. Ini, menurutnya, akan mendorong orang-orang menerima informasi tanpa sejedapun keraguan bahwa informasi tersebut adalah benar. Prasangka dan keberpihakan mengaburkan penglihatan kritis akan suatu hal. Baginya, hasilnya menjadi berbahaya, di mana “kebohongan” akan mudah diterima dan diteruskan pada yang lain.
ADVERTISEMENT
Yang kedua adalah derajat keandalan penyampai atau pemberi informasi. Menurut Ibnu Khaldun, kritik personal kemudian menjadi penting untuk menentukan apakah sumber informasi yang kita dengar terpercaya atau tidak.
Ibnu Khaldun (Foto: http://mirfaces.com/)
zoom-in-whitePerbesar
Ibnu Khaldun (Foto: http://mirfaces.com/)
Yang ketiga adalah ketidaktahuan kita soal latar belakang sebuah kejadian. Penyampai informasi kadang tak mengerti bagaimana latar belakang dari sebuah kejadian; Ibnu Khaldun melihat bahwa pemberi informasi hanya mendeskripsikan apa yang terjadi tanpa tahu makna signifikan dari hasil observasinya tersebut. Baginya, ini hanya akan membawa informasi tersebut ke arah ketidaktepatan informasi.
Yang keempat adalah asumsi bahwa informasi yang didapat pastilah benar. Ini, hampir mirip dengan poin kedua, adalah ketergantungan kita pada sebuah pemasok informasi.
ADVERTISEMENT
Yang kelima adalah ketidakpedulian kita terhadap kesesuaian suatu kejadian dengan distorsi realitas. Bagi Ibnu Khaldun, kondisi suatu hal selalu terpengaruhi oleh ambiguitas dan distorsi kenyataan. Informan hanya melaporkan kondisi seperti apa yang ia lihat, sementara sejauh mana penglihatannya benar atau salah tak pernah ia sadari derajatnya.
Yang keenam adalah fakta bahwa orang-orang memandang orang-orang berstatus dengan kacamata yang tak murni lagi. Terlebih bahwa ia sendiri terus mencari ketenaran dan puji-pujian. Ini membuat apa yang mereka sampaikan tak netral lagi karena kemungkinan melebih-lebihkan agar mendapatkan pujian.
Yang terakhir, dan yang menurut Ibnu Khaldun paling penting, adalah ketidakjelian kita bahwa hal-hal terjadi dalam latar belakang dan kondisi peradaban yang berbeda, yang membuat suatu hal unik dibanding yang terjadi sebelumnya, semirip apapun itu.
Patung Ibnu Khaldun di Aljazair Foto: Wikimedia Commons
Ibnu Khaldun kemudian mencontohkannya dengan cerita Al Masudi, dalam buku Muruj adh-dhahab yang juga soal sejarah Arab, yang di salah satu bagiannya menceritakan sepenggal cerita soal Raja Aleksander yang Agung. Dalam cerita tersebut, Aleksander yang hendak membangun Alexandria (Iskandariyah) dihalang-halangi oleh monster laut di pesisir selatan Mesir.
ADVERTISEMENT
Dalam cerita itu, Aleksander kemudian membuat sebuah kotak kaca besar, dan melarung kotak kaca tersebut dengan ia berada di dalamnya. Di dasar lautan, ia kemudian menggambar monster-monster laut tadi. Setelah kembali ke permukaan, ia kemudian membangun patung-patung besi yang menyerupai makhluk laut yang sebelumnya ia gambar, dan diletakkannya patung-patung besar tadi di mana bangunan Alexandria tengah dibangun. Saat kemudian monster-monster laut tadi muncul, mereka ketakutan melihat patung-patung raksasa berbentuk monster dan akhirnya kabur. Maka dari itu Aleksander berhasil merampungkan Alexandria.
Ibnu Khaldun memprotes keras cerita Al Masudi ini. Terlebih pada orang-orang yang membaca dan mempercayai cerita itu. Baginya, orang tak harus percaya begitu saja pada cerita itu apabila mau sedikit mengkritisi cerita itu meskipun berasal dari sebuah buku sejarah yang, waktu itu, diakui.
ADVERTISEMENT
Ibnu Khaldun menjelaskan, seseorang seharusnya paham bahwa seorang raja macam Aleksander yang Agung tak mungkin menyelam sendiri. Apabila betul pun, ia akan menyuruh seseorang. Menurut Ibnu Khaldun, ketiadaan raja di tempatnya malah akan membuat revolusi pecah. Alih-alih menunggu sang raja balik dari misi berbahayanya, sudah akan ada perebutan kekuasaan saat ia tak ada di tempat. Termasuk bagaimana monster laut takut pada patung-patung semata, dan sebagainya.
Menurutnya, detail cerita-cerita tersebut, apabila dipikirkan lebih lanjut, akan memunculkan kecurigaan-kecurigaan di benak pembaca. Keraguan-keraguan kecil terhadap apapun yang didengar oleh seseorang, menurut Ibnu Khaldun, menjadi hal yang mutlak diperlukan agar seseorang tak menjadi korban kabar-kabar hoaks, apalagi sampai-sampai turut menyebarkannya.
Bagaimana menurut Anda?
ADVERTISEMENT