Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Riset Sebut Eropa Tak Ramah bagi Muslim Perempuan
12 April 2017 7:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Mahasiswi Indonesia Aghnia Adzkia merasa mendapat perlakuan tak menyenangkan saat berada di bandara Italia. Ia diminta membuka kerudung dengan alasan pemeriksaan acak keamanan bandara (random check). Ia, yang tak langsung percaya dengan alasan itu, lantas meminta ditunjukkan dasar hukum dari permintaan petugas tersebut --yang berujung dengan perdebatan panjang antara keduanya.
ADVERTISEMENT
“Anda tak cukup aman bagi penerbangan kami,” ucap petugas ketika Aghnia ngotot tidak mau membuka kerudungnya. Bagi petugas tersebut --yang mengatakan hanya menjalankan tugas dan prosedur yang berlaku, Aghnia bisa saja menyembunyikan barang berbahaya di rambutnya. [Baca: Mahasiswi Indonesia Diminta Buka Jilbab di Bandara Italia ]
Perlakuan seperti yang diterima Aghnia bukan hal yang baru sekali-dua kali terjadi pada perempuan muslim dunia. Nafees Syed, seorang pengacara sekaligus penulis berbasis di New York, Amerika Serikat, juga kerap mengalami hal itu.
ADVERTISEMENT
“Saya harus terus datang sekitar satu jam lebih awal ketimbang orang lain, karena saya tahu ini bukanlah pemeriksaan yang acak,” ucapnya seperti dilansir The New York Times .
Syed mengatakan, ia selalu ditarik secara khusus dalam proses pemeriksaan keamanan atau security check di bandara untuk proses screening kedua. Ia juga harus merelakan petugas memegang dan meraba kepalanya, untuk tahu pasti apa yang ada di balik hijabnya.
Tak hanya perlakuan bias di bandar udara, perlakuan tak menyenangkan berbau homofobia kepada muslim juga berlangsung dalam kehidupan sehari-hari di Eropa.
ADVERTISEMENT
Serangan berbau islamofobia di Benua Biru meningkat seiring peningkatan aktivitas terorisme di Eropa dalam beberapa tahun terakhir. Dan serangan-serangan itu lebih banyak menimpa perempuan ketimbang lelaki.
Pascakejadian Charlie Hebdo tahun 2015, ketika terjadi penembakan di kantor majalah satir Charlie Hebdo di Paris yang menewaskan 12 orang, sebanyak 147 serangan anti-Islam terjadi di Prancis.
Sebanyak 26 masjid diserang, dari pembakaran, perusakan, hingga pelemparan granat. Namun keadaan lebih memilukan tergambar di balik angka itu. Dari semua serangan yang terjadi, 80 persennya ditujukan kepada perempuan muslim .
Penelitian di Inggris menunjukkan keadaan nahas yang sama. Kepolisian Metropolitan Inggris pada September 2015 mengeluarkan statistik yang menunjukkan bahwa kriminalitas anti-muslim meningkat 70 persen dari 2014 hingga 2015. Dari angka tersebut, 60 persen dari korban lagi-lagi perempuan.
ADVERTISEMENT
Di Belanda pun demikian. Organisasi Meld Islamofobie yang mencermati laporan soal praktik islamofobia di Belanda, mengatakan bahwa 90 persen korban islamofobia adalah perempuan .
Fiyas Mughal, direktur lembaga swadaya masyarakat Faith Matters yang berbasis di Inggris, juga mengatakan telah puluhan kali menerima laporan serangan islamofobia ke perempuan.
“Perlakuan kejam seperti peludahan, penarikan, dan menyobek hijab dan niqab, bahkan pelemparan kotoran anjing ke perempuan, kerap kami temukan di negara-negara Eropa. Caci maki juga sering terjadi, termasuk panggilan ‘muslim jalang’, ‘muslim sundal’, dan panggilan-panggilan seperti ‘Muzzie’ yang punya konotasi negatif,” ucap Mughal.
Mengapa perempuan lebih banyak menjadi korban sentimen anti-Islam di Eropa?
“Karena perempuan Islam lebih bersifat jasmaniah dalam memperlihatkan keislamannya. Para penyerang bergantung pada apa yang terlihat. Ini berarti hijab, niqab, menjadi pedoman bagi orang-orang dalam menyerang perempuan muslim,” ujar Fiyas Mughal, yang juga pendiri Tell Mama, lembaga swadaya masyarakat yang memonitor serangan-serangan islamofobia.
ADVERTISEMENT
“Dari semua data yang kami peroleh, perempuan-perempuan tersebut lebih kerap menerima serangan di jalanan. Perempuan dengan hijab kadang-kadang menjadi korban kekerasan islamofobia, sementara perempuan yang menggunakan niqab akan menerima serangan yang lebih agresif lagi,” ujarnya, dilansir Telegraph .
Misalnya saja, apa yang dirasakan oleh Malaika Kayani. Perempuan Inggris tersebut berpindah agama ke Islam delapan tahun lalu. Sejak saat itu pula, ia kerap mengalami kejadian-kejadian tak menyenangkan karena menjadi muslim.
“Saya pernah berada di bus dan orang-orang menolak duduk berdampingan dengan saya hanya karena saya memakai kerudung. Saya juga pernah diteriaki, dicaci maki, dan dihina di jalanan,” kata Kayani.
“Kadang, Anda hanya tidak perlu mendengar teriakan apapun. Mata mereka saja sudah melihat kami dengan tatapan jijik,” kata Kayani. Ia bahkan sempat pernah menyerah mengenakan jilbab karena tak tahan atas perlakuan-perlakuan tersebut.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Kayani dan Mughal sependapat bahwa serangan-serangan islamofobia tersebut punya akar lebih dalam ketimbang soal jilbab semata. Hal itu dijelaskan pula oleh Sara Khan, pemimpin organisasi antiekstrem di Inggris, Inspire.
“Saya sendiri pernah diludahi di jalanan ketika saya memakai jilbab. Tapi ini bukan hanya masalah jilbab,” ujar Khan.
“Saya merasa ada isu yang beririsan antara islamofobia dan kekerasan terhadap perempuan. Jelas ada elemen gender pada masalah ini, di mana orang-orang rasis itu berpikir, ‘Ah tidak masalah, mereka perempuan. Mereka tidak akan melakukan apa-apa’,” kata Khan mendedah kerentanan perempuan-perempuan muslim terhadap serangan.
“Yang jelas, mereka harus melapor ke polisi. Ada yang bisa dilakukan terhadap serangan-serangan ini. Melapor ke polisi juga bermanfaat dalam melepas seseorang dari beban memori kejadian-kejadian ini,” kata Khan.
Mussurut Zia dari Jaringan Perempuan Muslim Inggris mengatakan, cara satu-satunya untuk menghentikan serangan terhadap perempuan muslim adalah dengan cara mengubah persepsi orang Eropa terhadap Islam itu sendiri.
ADVERTISEMENT
“Orang berpikir bahwa perempuan-perempuan dengan hijab itu orang-orang yang bisa tunduk semata, bahwa mereka adalah bahaya buat masyarakat, bahwa mereka tidak akan berinteraksi dengan orang luas,” ucap Zia.
“Kita semua harus punya tanggung jawab dalam menghancurkan mitos dan stereotip ini. Kita harus membuang jauh-jauh ketakutan-ketakutan yang dialami oleh orang muslim sebelum bisa mencapai masyarakat yang lebih toleran,” pungkasnya.
Aghnia yang merasa mendapat perlakuan diskriminatif di bandara karena diminta membuka jilbab untuk pengecekan keamanan, mengatakan ia sesungguhnya sudah lolos pemeriksaan metal detector ketika diperintahkan untuk membuka hijab.
Ia berkukuh harus ada aturan hukum jelas atas random check yang terjadi di bandara internasional. "Kalaupun pengecekan itu sudah berdasar hukum kuat, lakukan ke semua orang yang berpenutup kepala, tak cuma muslim."
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Duta Besar Indonesia untuk Italia Esti Andayani yang baru dilantik bulan lalu, mengimbau semua warga untuk tak tersinggung apabila mengalami pemeriksaan ketat di bandara Eropa, terlebih belakangan benua itu dilanda teror beruntun, mulai insiden di London, pemboman di St. Petersburg, sampai penyerangan di Stockholm yang terjadi hanya dalam sebulan terakhir. [Selengkapnya ]