Sapardi dan Kisahnya tentang Hujan Bulan Juni

19 Juni 2017 7:55 WIB
clock
Diperbarui 29 Oktober 2019 23:32 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bertahun-tahun lalu, mendiang Andries Teeuw --pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda-- pernah berujar bahwa di dalam bait-bait Sapardi, orang bisa menemukan kedalaman serta kebaruan yang “...sangat mengejutkan dalam segala kesederhanaannya”.
Ia kemudian mengatakan, Sapardi “telah menciptakan genre baru dalam kesusastraan Indonesia yang sampai kini “...belum ada nama yang sesuai untuknya”.
Soal apakah kata-kata Teeuw berlebihan atau tidak, tak jadi soal. Fakta bahwa ia, mijnheer Belanda yang beralih mencintai Bahasa Indonesia, sampai mengatakan hal tersebut adalah bukti bahwa 50 tahunan Sapardi berkarya memang memberikan napas tersendiri bagi perkembangan perpuisian nasional.
Lalu ingatan kita terpetik, bahwa umumnya penyair-penyair kenamaan memiliki frasa yang menjadi simbol dan karakter buat dirinya sendiri. Yang dimaksud di sini, misal, Chairil Anwar dengan “jalang”, Amir Hamzah dengan “sunyi”, Seno Gumira dengan “senja” dan Joko Pinurbo dengan “celana”. Tentu saja, Sapardi teguh-teduh dengan serba-serbi “hujan”.
Puisi-puisi yang, meski tidak semua, membawa rona basah dan teduh mendung dalam bait-bait kuatrinnya itu menjadi yang paling bertanggung jawab atas status Sapardi sebagai penyair rakyat sebenarnya ketimbang WS Rendra --setidaknya begitu menurut kritikus sastra Nirwan Dewanto.
Nirwan menyebut puisi-puisi Sapardi memiliki “kesederhanaan yang menjadi sebentuk ambiguitas, sementara keadaan yang penuh ambiguitas itu tetap dapat dipahami oleh khalayak ramai”. Hal itu menunjukkan kemampuan yang spesial dari puisi-puisi itu, dan hanya Sapardi yang bisa membuatnya.
Seperti jika harus memiuhkan sajak Sapardi sendiri, hasil karyanya adalah puisi-puisi yang dapat “dicintai dengan sederhana”. Sementara kita tahu mencintai dengan sederhana adalah hal yang luar biasa sulit, sesederhana itu pulalah memahami dan mencintai karya-karya Sapardi.
Dan satu, dari mungkin ratusan (atau ribuan?) puisi yang telah diciptakan Sapardi dari tahun 50-an adalah sebuah puisi berjudul Hujan Bulan Juni.
Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
(1989)
Sajak kuatrin tiga bait tersebut bertarikh 1989, berbarengan penciptaannya dengan puisi masyhur lain berjudul Aku Ingin. Hujan Bulan Juni pertama kali terbit dalam buku kumpulan puisi yang berjudul sama, terbitan Grasindo pada 1994.
Lalu apa yang menjadi puisi tersebut sedemikian fenomenal, hingga kerap dibubuhkan di undangan pernikahan orang-orang?
Sapardi, tak mengecewakan reputasinya sebagai penyair yang humoris dan rendah hati, menjawab enteng saja, “Ah itu kan terkenal gara-gara dinyanyikan saja sama AriReda,” ucapnya di sela rangkaian acara Makassar International Writer Festival, Mei 2017.
Sapardi memang begitu.
Memang tak lama setelah Hujan Bulan Juni ia buat, puisi itu digubah oleh M. Umar Muslim, kemudian direkam-nyanyikan oleh Ari Malibu dan Reda Gaudiamo.
Lagu tersebut merupakan salah satu materi dalam album musikalisasi puisi Sapardi berjudul Hujan Bulan Juni yang proyeknya disponsori oleh Ford Foundation. Album itu sempat beberapa kali dirilis ulang karena laku di pasaran.
Tak berhenti di situ, beberapa lagu di album tersebut juga sempat menjadi bahan utama lomba musikalisasi puisi yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Termasuk ketika musikalisasi Aku Ingin juga sempat dibawakan ulang oleh Ratna Octaviani, dan menjadi soundtrack film Cinta dalam Sepotong Roti (1991) yang semakin membawa puisi-puisi Sapardi melambung dan dinikmati kalangan lebih luas.
Sapardi Djoko Damono (Foto: Youtube/ Lontar Foundation)
Sapardi menulis puisi Hujan Bulan Juni berdasarkan pengalaman yang tak muluk-muluk. Saat berada di Yogya dan Solo pada masa mudanya, ia selalu menjalani Juni yang kemarau kering dengan malam-malamnya yang dingin menusuk tulang. Juni-Juli adalah masa libur buat mahasiswa, dan hujan tak pernah diingatnya mampir ke bulan-bulan tersebut.
“Tapi kemudian, setelah saya ke Jakarta, kok di bulan Juni malah hujan?” celetuk Sapardi ketika disambangi kumparan, Kamis (8/6).
Hujan yang turun “salah jadwal” di bulan Juni itu kemudian memantik sulur-sulur serebrum Sapardi untuk menuliskan puisi Hujan Bulan Juni.
Kala itu, bagi Sapardi (dan bentangan imajinasinya), hujan salah jadwal tersebut janggal dan jadi masalah. Kenapa hujan mesti repot-repot datang di bulan Juni yang merupakan puncak kemarau?
“Kalau sekarang nggak masalah, ya. Juni juga hujan. Tapi dulu nggak pernah begitu,” ujar Sapardi.
Keringanan hati Sapardi terlihat lagi saat ia ditanya soal makna puisinya. Seperti layaknya jawaban seorang sastrawan yang (mungkin) separuh bosan ditanya hal serupa, ia mengatakan bahwa karya-karyanya banyak yang merupakan hasil ngawur semata.
“Memang ngawur. Aku tuh dulu nulis opo, sudah nggak paham lagi. Kok tiba-tiba aku nulis itu, ya,” kata Sapardi.
Sapardi Djoko Damono. (Foto: Prabarini Kartika/kumparan)
Tahun 2003, Sapardi menerima penghargaan Bakrie Awards untuk kategori kesusastraan. Pada sambutannya di acara tersebut, Sapardi mengatakan, kadang penyair tak bisa menjawab secara pasti mengapa ia menulis suatu puisi.
Bagi Sapardi, puisi mewujud bukan sebagai jawaban atas suatu keadaan. Justru, mengutip Nirwan, puisi Sapardi menjadi ambiguitas yang keberadaannya memantik pembacaan bebas yang tak habis-habis --meski di saat yang sama ia dapat dipahami.
Namun begitu, bagi penyair seperti Sapardi, arti sebuah puisi ia serahkan kepada pembaca untuk memaknainya sendiri. Sebab tugasnya sebagai seorang penyair sudah selesai ketika sebuah sajak rampung ia tuliskan. Untuk membacakannya pun, menurut Sapardi, sudah bukan tugasnya lagi.
“Kalau seorang penyair meluncurkan buku itu kan sekarang dituntut, ‘Baca bukunya, baca bukunya!’ Loh, saya bilang pekerjaan saya kan sudah selesai, menulis,” protes Sapardi terhadap permintaan tak terelakkan yang pasti menerpa seorang penyair.
“Tapi akhirnya tetep aja saya baca,” ujar lelaki 77 tahun itu, terkekeh.
Sapardi memang begitu.
Sapardi Djoko Damono (Foto: Resnu Andika/kumparan)
Bagi Sapardi, makna karya-karyanya tak pernah jadi beban. Tak ada amanat saklek dari penyair kepada pembaca lewat puisi-puisinya. Justru, pembaca harus memburu makna dan amanat dari pilihan-pilihan kata yang sudah diramu para penyair tersebut.
“Dan semakin banyak tafsir, semakin kaya sajak tersebut,” katanya kepada Hasan Aspahani, penyair asal Kutai, dalam sebuah wawancara tahun 2005.
Sebaliknya, sajak yang baik, menurut Sapardi, mengundang tafsir yang kaya.
“Kalau kita membaca puisi, kita lebih baik menciptakan gambar dulu dari situ. Dari puisi itu gambarnya apa. Kan ada hujan, pohon, jejak-jejak kaki, nah itu kita gambarkan seperti apa kira-kira. Hujan itu dibayangkan sebagai apa di situ, kan menghapus jejak-jejak kakinya,” kata Sapardi, mengajak meresapi langkah-langkah pemaknaan puisi legendarisnya tersebut.
“Jadi dengan cara demikian, kita akan bisa menangkap gambar (puisi)nya itu. Gambar itu Anda yang menafsirkan.”
“Yang selalu ditanyakan orang itu, ‘Kenapa hujannya di bulan Juni?’ Ya karena, kalau hujannya di bulan Desember ya nggak jadi masalah,” ujar Sapardi, terkekeh.
Yang ia maksud, Desember memang musim hujan, dan karenanya wajar hujan turun saat jadwalnya turun --sebuah aksioma dasar yang kini harus diperdebatkan lagi.
Sapardi Djoko Damono (Foto: Resnu Andika/kumparan)
Sapardi menduga ada penyikapan lain oleh seorang pembaca pada sebuah puisi yang juga bisa dilakukan. Ia percaya pada ucapan T.S. Eliot tentang sebuah puisi, bahwa puisi bisa dihayati (experienced) bahkan sebelum mampu dipahami (understood).
“Jadi ada hujan, kan kalau Juni itu biasanya nggak hujan. Tapi ada pohon, yang membutuhkan hujan. Nah itu ada hubungan antara hujan dengan pohon. Hubungannya seperti apa, ya Anda yang menafsirkan,” ucapnya.
Puisi, bagi Sapardi, bukan milik penyairnya lagi, tapi milik siapa yang menggunakannya.
“Jangankan pemaknaan, saya saja ikhlas ketika puisi yang ada di undangan pernikahan itu disebut milik Kahlil Gibran,” ujar Sapardi, kembali tertawa keras.
Tabah seorang Sapardi, mungkin lebih dalam dari sekadar sabarnya hujan bulan Juni.