Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Menyanyikan Sapardi, Cara Reda Gaudiamo Menikmati Puisi
19 Juni 2017 15:17 WIB
Diperbarui 29 Oktober 2019 23:38 WIB
Mereka berdua sempat tak peduli selama puluhan tahun. Bagi mereka, alunan puitis itu hanya satu episode yang numpang lewat dalam gairah masa muda mereka.
Namun beberapa tahun terakhir, hal tersebut berbalik arah. Mereka sadar masih dicintai dan memutuskan untuk membalas cinta itu lewat alun nada melodius yang tak putus-putus.
***
Ari Reda, begitu nama duo folk minimalis itu. Si laki-laki memetik gitar, sementara si perempuan menggenggamkan kedua tangannya demi mencapai nada-nada tinggi. Pabila puisi-puisi Sapardi membuat basah nurani, maka Ari Malibu dan Reda Gaudiamo memastikan basah itu mengalir ke kedua sembab pipimu.
Sunyi yang meraung dan petikan minor yang mendesak marah. Kau tak akan selamat.
Rambut keduanya telah memutih. Ari dengan kemeja lengan panjang yang dilipat sekenanya, sedangkan Reda dengan kacamata bingkai tebalnya. Tak terasa, sudah hampir 30 tahun mereka menjadi fragmen tak terganti dalam musikalisasi puisi negeri ini.
Tak mudah, ujar salah satunya. Sempat setelah masa jaya di akhir dekade 80-an itu, mereka istirahatkan gitar dan menggantung vokal. Mati suri.
Beruntungnya kami, pada Minggu yang gersang itu (11/6), Reda mau bertatap muka.
Senyum menyambut kami di Kedai Tjikini. Bersalaman di awal jumpa, kami berpeluk dekat menjelang pulang. Perempuan kelahiran ‘62 itu hangat senantiasa.
***
Namanya Reda Gaudiamo. Nama itu sama dengan nama ibunya sendiri.
“Kok bisa,” tanyamu. Tapi begitulah tradisi keluarganya yang berasal dari Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur.
Oke, sebetulnya tak tepat begitu. Keluarga mereka memberikan nama yang sama dari nenek ke cucu perempuan nomor satu.
Nama Reda Gaudiamo seharusnya jadi milik anak pelantun musikalisasi puisi Aku Ingin dan Hujan Bulan Juni itu. Namun ayah Reda kelewat cinta dengan nama istrinya.
“Maka jadilah saya bernama Reda,” ujarnya.
Reda, apabila kau sempat tengok di Kamus Besar Bahasa Indonesia, merujuk pada “keadaan mulai berkurang, tenang kembali, atau menjadi surutnya suatu hal.”
Hujan sudah reda. Angin ribut mulai reda. Panasnya mereda.
Namun “Reda” pada Reda Gaudiamo punya pengucapan lain. Bukan “e” pada “reda”, namun “e” yang berada pada kata “beda”.
Dan beda reda, beda pula artinya. Beda arti, beda pula nasibnya.
Saat musisi lain kariernya semakin reda saat mereka makin tua, Reda dan Ari sebagai duetnya justru menghebat saat mereka menua.
Konser terdekat Reda adalah di Malang, tepatnya di Folk Music Festival 2017. Digelar 17 Juli nanti, presale tiket tahap 2-nya sudah habis sejak beberapa waktu lalu.
Padahal, tak sampai 10 tahun lalu, jangankan bersibuk-sibuk mengurus konser ke luar kota, Ari dan Reda masih sempat berdebat, mau dibawa ke mana duo folk ini: apa memang harus fokus ke dunia musikalisasi puisi, atau harus rajin-rajin membawakan lagu sendiri dan terlepas dari Chairil, Goenawan Mohamad, hingga Sapardi.
“Sejak 2014. Kalau dihitung-hitung, jumlah manggung kami menyanyikan puisi dari 2014 sampai sekarang, dibandingkan dengan tahun 1988 sampai 2014, banyakan sekarang,” kata Reda soal karier musiknya.
Kini mereka berdua telah mantap memilih puisi sebagai lahan karya mereka.
Selain belum banyak tergarap di belantika musik negeri, menyanyikan puisi-puisi dalam Bahasa Indonesia memiliki tingkat kesulitan tersendiri bagi seorang musisi.
Ketika si empunya syair mengangguk-angguk senang dengan karya mereka, kepuasan yang hadir jauh melebihi membawakan sebatas lagu-lagu pop cover ataupun tembang yang tengah populer saat ini.
Semua berawal dari grant Ford Foundation buat Sapardi Djoko Damono tahun 1989. Saat itu, Sapardi memilih menggunakan dana hibah tersebut untuk membuat album musikalisasi puisi-puisinya yang baru. Pada album itu, Reda dan Ari diajak bergabung
Pada tahun itu, kegiatan cipta-puisi Sapardi memang tengah moncer-moncernya. Beberapa puisi Sapardi yang paling terkenal lahir di tahun itu, seperti: Di Restoran, Hujan Bulan Juni, dan Aku Ingin.
[Baca juga: Menemui Sapardi di Juni Basah Miliknya ]
“Komposernya, Umar Muslim, memang membuatkan lagu itu (Hujan Bulan Juni) buat kami berdua, buat saya dan Ari. Jadi kami yang nyanyikan,” ujar Reda.
Album tersebut sukses. Bahkan sempat beberapa kali dirilis ulang karena laku di pasaran.
Tak hanya sampai di situ, salah satu lagu yang dinyanyikan Reda, Aku Ingin, menjadi soundtrack film Cinta dalam Sepotong Roti (1991) dan dibawakan ulang oleh Ratna Octaviani.
Tak ayal, musikalisasi puisi miliknya --tentu pula dengan puisi dan nama Sapardi sendiri-- semakin melambung ke kalangan yang lebih luas.
Namun begitu, turun naiknya pamor seniman cepat betul menghampiri duet tersebut. Meski memiliki harapan besar dan mendapatkan penerimaan awal di kampus-kampus yang lumayan, duet tersebut perlahan-lahan redup di bawah radar.
“Lama kemudian hilang, nggak muncul-muncul lagi, dan kayaknya nggak ke mana-mana lagi. Jadi ya sudah,” kata Reda saat berbincang dengan kumparan.
Ketika itu, Reda dan Ari telah lulus kuliah. Dan ketika duet Ari Reda mengisyaratkan peluang yang tak baik-baik amat, keduanya pun memilih fokus pada pekerjaan masing-masing. Bahkan hingga kini pun, keduanya tetap memiliki pekerjaan tetap yang menyita waktu dari Senin hingga Jumat.
Maka ketika proyek duet itu mandek, Reda tak pusing-pusing amat.
Justru ketika belakangan pamor mereka naik kembali, Reda justru sedikit kaget.
“Mengapa tiba-tiba menjadi tenar lagi?” tanya kami.
Reda menjawab enteng, “Saya juga nggak tahu ya,” ucapnya, dibuntuti tawa renyah separuh senang.
“Saya pikir mungkin karena kaminya lebih agak serius menangani ini. Kami berhenti melakukan musikalisasi puisi itu --kecuali memang diminta secara khusus-- mungkin tahun 1998-1999. Baru pada tahun 2005, Nana (Tatyana Subianto) mengajak kami buat album, akhirnya menghasilkan album Gadis Kecil, saya dan Nana yang nyanyi,” kata Reda.
Ajakan tersebut sebetulnya iseng pula. Nana dan Reda menganggapnya ikhtiar untuk mendokumentasikan karya-karya mereka dulu. Maka materi-materi lawas, dihidupkan kembali. Beberapa puisi seperti Gadis Kecil ganti dinyanyikan duet Reda dan Nana yang bernama Dua Ibu.
“Waktu itu kami iseng, browsing di internet, ‘Ada nggak ya yang masih inget dengan karya kami dulu itu?’ Nah, waktu itu zamannya Multiply, ternyata orang-orang memasang lagu itu bertubi-tubi di Multiply,” bebernya.
Ternyata, masih banyak kalangan yang mendengarkan lagu tersebut. “Ketika kami komentar, ‘Eh, kami loh yang buat lagu itu,’ wah, langsung dibalas, ‘Bikin lagi dong, bikin lagi,’ jadi seperti itu.”
Dari situ momentum dibangun. Tahun 2007, Reda dan Ari mencoba menghidupkan kembali api musik mereka berdua. Dan ini tak mudah.
Meski terlihat hangat-mesra dalam setiap penampilannya di panggung, Reda mengakui ia dan Ari Malibu bukan duet yang terlalu harmonis.
“Suka berantem, nggak ngomong. Kalau nggak mood, nggak pingin nyanyi juga,” kata Reda soal temannya duet tersebut. “Sempat bertahun-tahun sebelum album itu dibuat, kami nggak ngomong.”
Masalah tak hanya menerpa hubungan antarpersonal duo tersebut. Ari Malibu juga sempat merasa bahwa AriReda tak boleh dicap sebagai duet yang hanya bisa memusikalisasi puisi.
“AriReda harus punya lagu sendiri, nggak boleh ‘cuma’ musikalisasi puisi saja,” kenang Reda akan keberatan kompatriotnya.
Namun demikian, meningkatnya tawaran manggung di awal dekade 2010-an membuat keduanya terpetik.
Pada 2011, mereka diundang Bentara Budaya di Bali. Konser itu --lebih tepatnya, antrean ribuan penonton yang mengular demi menonton mereka-- disebutnya menyadarkan mereka kedua bahwa AriReda sudah teramat dicintai.
“Ya ampun, orang ngantre nonton kita dari siang. Padahal acaranya malam,” kata Reda menirukan ucapan rekan duetnya tersebut.
Sejak saat itu, hubungan Reda dan Ari semakin baik. Grup mereka kian matang.
Dulu tak ada manajer, mereka kini punya Felix Dass. Mereka kini juga punya Demajors, perusahaan rekaman Indonesia yang dapat diandalkan mengurus printilan keperluan musik mereka.
Singkat cerita, keduanya kini mantap menggarap lahan musik yang tak tersentuh itu. Mereka pun membuat album baru lain, Menyanyikan Puisi (2015), yang kini digarap dengan konsep lebih matang.
“Karena akhirnya kami menyadari bahwa ya memang ini lahan kami. Memang kami harus serius dengan lahan ini.”
Sejak 2014, AriReda terlahir kembali.
Musikalisasi puisi tak semudah kelihatannya.
Pembacaan terhadap suatu puisi saja sudah sedemikian sulit, tak ayal menyanyikannya adalah misi yang jauh lebih sulit. Mempertemukan maksud penulis, penghayatan pembaca, dengan memilih nada-nada yang mempersatukan semua elemen itu, adalah sulit luar biasa.
Untungya, puisi-puisi Sapardi diakui Reda lebih memudahkan ia untuk menyanyikannya.
“Saya mencoba mencari rasionalnya. Memang puisi-puisi Sapardi itu --kecuali yang memang panjang-panjang sekali-- kayaknya semuanya itu singable. Semuanya sangat bisa dinyanyikan,” ucap Reda.
[Baca juga: Sapardi dan Kisahnya tentang Hujan Bulan Juni ]
Sapardi memang dikenal sebagai penyair yang memiliki sajak-sajak bersifat liris. “Kata-kata dalam bahasa Indonesia itu kan agak sulit dinyanyikan, tapi kalau puisi-puisi Sapardi itu nggak ada yang berlebih. Rasanya pas banget.”
Terlebih bagi duet Reda, yang memang memiliki pengetahuan dan rasa cukup dalam bagi puisi. Lihatlah bagaimana Reda getol menggarap sajak-sajaknya sendiri di redagaudiamo.com. Maka, untuk menyanyikan sajak-sajak terbaik salah satu penyair besar Indonesia, ada kesulitan tersendiri yang dihadapinya.
Reda, setiap menyanyikan puisi-puisi Sapardi, harus mengalami pemaknaan ulang yang selalu berkembang dari satu masa ke satu masa yang lain.
“Kayak Aku Ingin itu ya. Lagunya udah dinyanyiin dari tahun 1988. Saya awal-awalnya fokus sama pilinan suara dan otak-atik nadanya --saya harus ke mana, Ari harus ke mana. Waktu itu, saya merasa itu cuma lagi cinta, ‘Ya ampun, orang ini cinta banget sama seseorang ini sampai gitu,’” kata dia.
Namun belakangan pembacaan Reda terhadap puisi itu berubah.
“Ya ampun, aku ingin mencintai dengan sederhana itu kan susahnya bukan main. Kayu mau jadi abu saja harus gosong dulu, jadi arang, baru jadi abu. Dan itu baru ‘ingin mencintai’, ya ampun. Pemahaman-pemahaman yang datang belakangan inilah yang bikin ketika nyanyi keinget Pak Sapardi, ‘Wah orang ini gila banget, luar biasa banget ini bisa nulis seperti ini.’”
[Baca juga: Ikhtiar Sapardi dalam Kelindan Bahasa ]
Reda, yang pada masa mudanya tak begitu menyukai puisi, kini takluk pada bahasa-bahasa musykil Sapardi.
“Dulu saya kalau nyanyi lempeng aja. Tapi sekarang ada bagian-bagian yang harusnya softer, lebih slow, dan lain-lain. Nah sekarang, wah, setiap kali nyanyi, misalnya Pada Suatu Hari Nanti, saya bisa terharunya kelewatan,” ujarnya.
Alunan puisi dan melodi musikalisasi puisi tak hanya menguras emosi penonton. Emosi dan jiwa Reda juga ikut terkuras kering karenanya --sesuatu yang hanya bisa diambil dari pilihan Ari Reda untuk menggarap lahan yang ‘cuma’ musikalisasi puisi tersebut.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada