Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Tiga tahun dan 304 korban meninggal kemudian, kapal feri itu diangkat. Doa, dan mungkin sumpah serapah tak rela, terpanjat oleh ratusan saksi yang berkerumun di sekitar bangkai kapal.
ADVERTISEMENT
Kamis, 23 Maret lalu, kapal feri Sewol seberat 6.825 ton itu naik ke permukaan. Wujudnya yang dipenuhi lumpur menyimpan harap bagi puluhan pasang mata. Sudah tiga tahun kapal tenggelam dan 9 orang masih dinyatakan hilang tanpa diketahui rimbanya.
Sewol adalah tragedi. Hari ini tiga tahun yang lalu, kapal tersebut tenggelam pada pukul 8.52 waktu setempat. Melewati alur Maenggol dengan arus bawah laut yang deras, kapal gagal berbelok. Kesalahan pada sistem kemudi diperparah dengan kelebihan penumpang membuat kapal limbung dan terbalik ke sisi kiri.
Sebanyak 476 penumpang berada di atas kapal itu. Dari angka tersebut, 325-nya adalah siswa SMA Danwon, yang berencana melakukan perjalanan sekolah yang berakhir di pulau wisata Jeju. Malang tak bisa disangkal, 304 penumpangnya justru harus tewas meregang nyawa.
ADVERTISEMENT
Hasil penyelidikan tim investigasi gabungan dan upaya peradilan memberi kapten kapal Lee Jun Seok hukuman penjara seumur hidup atas pembunuhan karena lalai dalam melaksanakan tugasnya. Sementara itu, 14 petugas lainnya menerima hukuman yang lebih ringan dibanding kapten kapal dengan dakwaan pelanggaran aturan keamanan kapal. Ia terbukti meninggalkan kapal dengan penumpang yang masih ada di dalam.
Usai kapten dan kru kapal dihukum penjara, polisi juga menerbitkan perintah pencarian bagi Yoo Byung Eun. Byung Eun adalah pemilik Chonghaejin Marine, operator kapal Sewol. Ia tak bisa ditemukan. Baru tiga bulan kemudian, tepatnya pada 22 Juli 2014, jasadnya yang telah membusuk ditemukan di Suncheon, tepatnya 300 kilometer di selatan Seoul. Tak pernah jelas apa sebab kematiannya.
ADVERTISEMENT
Sewol adalah tragedi. Di saat ratusan penumpang masih terjebak di bawah dek, belasan ABK bersama kapten kapal justru jadi yang pertama menyelamatkan diri. Bahkan, ketika kapal mulai oleng dan air laut mulai masuk lewat pintu samping dan ruang kargo, beberapa kru kapal justru berteriak kepada penumpang untuk tetap berada di dalam ruangan.
“Jangan bergerak. Tetap tinggal di mana sekarang kalian berada. Berbahaya apabila kalian bergerak, jadi tetap diam di situ,” ucap kru kapal, seperti dikutip dari CNN .
Tentunya, penumpang yang kebingungan dengan kapal yang tiba-tiba miring hanya bisa menuruti perintah tersebut. Sebagian menangis berteriak, sebagian lagi kebingungan memakai jaket penyelamat, sementara itu ada pula yang bercanda, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
ADVERTISEMENT
Sewol adalah tragedi. Proses evakuasi korban tak berjalan maksimal. Pada awalnya, operasi penyelamatan yang dilakukan polisi laut Korea berhasil menyelamatkan 80 orang. Namun setelah itu, kapal terus tenggelam dalam posisi miring lebih dari 64 derajat. Ini tentu saja membuat operasi penyelamatan berjalan lambat.
Ketika kapal mulai terbalik dan tenggelam, korban yang terjebak di dalam ruangan jelas sulit diraih. Arus bawah laut yang kencang ditambah jarak pandang yang jauh membuat 40 penyelam dari pasukan khusus militer Korea Selatan tak mampu berbuat banyak.
Sampai tengah malam tiba, hanya ada 75 siswa Danwon yang berhasil diselamatkan. Pada pukul 10.00 waktu setempat, atau satu jam setelah kapal mulai terbalik dan tenggelam, sebuah pesan singkat diterima oleh ayah dari seorang siswa yang terjebak di dalam kapal, “Ayah, aku tak bisa keluar karena kapal miring terlalu curam. Aku juga tidak melihat siapapun di koridor luar.” Tak jelas apakah siswa tersebut selamat atau tidak.
ADVERTISEMENT
Dua hari setelah kejadian, wakil kepala sekolah SMA Danwon, Kang Min Kyu, ditemukan gantung diri. Dalam sebuah catatan yang ditemukan di dompetnya, ia menulis, “Untuk dapat hidup sendirian itu terlalu menyakitkan. Saya bertanggung jawab.” Ia meminta jasadnya dibakar dan abunya ditaburkan di lokasi kejadian. Min Kyu, yang seorang guru, ingin ikut tetap dekat dengan murid-muridnya.
Sewol adalah tragedi. Hingga kapal diangkat, 4 orang siswa masih hilang. Mereka, bersama 2 orang gurunya juga belum ditemukan. Saat prosesi pengangkatan yang berbiaya 76 juta dolar AS itu berlangsung, para keluarga berkumpul di sebuah kapal untuk menjadi saksi atas upaya pertanggungjawaban terakhir pemerintah Korea Selatan.
“Melihat Sewol lagi...aku tak tahu apa yang aku rasakan saat ini,” ujar Huh Hong Hwan, yang bersama istrinya menyaksikan prosesi pengangkatan kapal tersebut. Dikutip dari Al Jazeera , anak perempuan Hong Hwan yang berusia 16 tahun menjadi salah satu korban dalam peristiwa tersebut. Mayatnya hingga kini belum ditemukan. “Ini sudah terlalu lama,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sewol adalah tragedi. Tiga tahun kemudian, masyarakat Korea Selatan masih marah akibat peristiwa tersebut. Termasuk ketika Park Geun Hye, mantan presiden Korea Selatan, dimakzulkan beberapa bulan lalu. Dalam unjuk rasa terbesar dalam sejarah Korea Selatan yang terjadi pada November 2016 lalu, ketidakbecusan Geun Hye dalam menangani tragedi Sewol menjadi salah satu penyebab marahnya masyarakat.
Termasuk ketika Geun Hye telah resmi dimakzulkan, ia disebut-sebut tetap berada di tempatnya tinggal selama tujuh jam setelah mengetahui kabar tragedi Sewol. Ia tak berada di kantor, dan memilih untuk menyerahkannya ke Pusat Penanggulangan Bencana Korea Selatan. Baru pada malam harinya, ia meminta kelanjutan pencarian korban, “Kita tidak boleh menyerah.”
ADVERTISEMENT
Tapi semua sudah terlambat.