Wiji Thukul Muda si Murid Badung

19 Januari 2017 9:29 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Wiji Thukul muda saat membacakan puisi. (Foto: Dokumentasi pribadi Wahyu Susilo)
zoom-in-whitePerbesar
Wiji Thukul muda saat membacakan puisi. (Foto: Dokumentasi pribadi Wahyu Susilo)
pada masa kanak-kanakku setiap jam tujuh pagi aku harus seragam bawa buku harus mbayar ke sekolah
ADVERTISEMENT
Remaja kurus kering itu bersiap berangkat ke sekolah. Terlihat jelas ia bukan pelajar teladan. Baju seragam tak rapi. Ujung kemeja putih yang seharusnya dimasukkan ke dalam celana biru, malah dikeluarkan. Berantakan.
Badung. Itulah kesan kawan-kawan sekelasnya tentang si kerempeng. Dia sering bercanda dan ribut sendiri, sampai dimarahi ketua kelas dan guru.
Ah, siapa bisa lupa si badung? Kenangan tentangnya, tentang masa sekolah 37 tahun silam bersamanya, tak jua lapuk dari ingatan teman-temannya.
Si badung kemudian dikenal dengan nama Wiji Thukul, sang penyair pemberontak yang ditakuti rezim Orde Baru, mata badai dalam sejarah Indonesia, orang yang hilang tak tentu rimbanya --dengan puisi-puisi karyanya yang menggema melintasi masa.
Wiji Thukul membaca puisi. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Wiji Thukul membaca puisi. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
“Yang namanya Thukul itu bikin gaduh terus di kelas. Dia sepertinya enggak bisa ngomong pelan. Pas istirahat, kadang juga pas jam pelajaran, dia teriak-teriak. Dia sering dimarahi ketua kelas, dimarahi guru-guru,” kata Suparno, teman sekelas Thukul di SMP Negeri 8 Surakarta.
ADVERTISEMENT
Kepada kumparan, Minggu (15/1), Suparno yang kini menetap di Purworejo, Jawa Tengah, berbagi kenangan masa sekolahnya bersama Wiji Thukul --yang dulu bernama Widji Widodo.
Suparno ingat jelas, Thukul muda punya temperamen keras. Ia bukan seorang peragu. Gaya bicaranya pun ceplas-ceplos, seakan tak ada yang ia takuti di dunia.
“Dia itu berangasan, cengengesan terus. Omongannya kasar. Orang ndeso kluthuk lah,” kata Suparno. “Walau saya ini urakan juga, tapi termasuk serius dibanding Thukul,” imbuhnya.
Tembok sekolah tampaknya tak cocok dengan jiwa muda Wiji Thukul. Ia tak betah. Bagi dia, dinding-dinding sekolah mengungkung kebebasan dirinya. Sejumlah peraturan ia labrak. Paling sederhana ya soal baju seragam.
Baju seragamnya yang morat-marit jadi bentuk perlawanan kecilnya. Sebuah mula. Benih “kun” dalam proses “fayakun” yang panjang. Sepercik api dari jiwa berontak yang muskil tenang.
ADVERTISEMENT
Lakunya yang harusnya diam, diteriakkan. Batinnya meronta: buat apa?
pada masa kanak-kanakku aku jadi seragam buku pelajaran sangat kejam aku tidak boleh menguap di kelas aku harus duduk menghadap papan di depan sebelum bel tidak boleh mengantuk
“Wiji itu agak bandel. Saking sering bercanda di kelas, dia dinilai nakal sama guru, Mbeling,” kata Daryanti, tetangga kampung sekaligus teman sekelas Wiji Thukul di kelas 3A SMP Negeri 8 Surakarta.
“Anak itu ngomongnya kasar. Sukanya misuh. Kalau dia teriak-teriak ‘asu’ itu sudah biasa. Kalau jengkel, dia mengumpat-umpat sendiri,” imbuh Suparno.
Suparno dan Daryanti bercerita terpisah, namun keduanya sepakat akan satu hal: Thukul badung.
Meski demikian, Thukul tak pernah sampai kurang ajar, tak pernah berkata kasar, kepada guru-gurunya.
ADVERTISEMENT
“Kalau pas ada guru, enggak pernah teriak yang gimana-gimana,” ujar Suparno, menggali ingatan yang terkubur bertahun-tahun lalu.
katanya aku bodoh kalau tidak bisa menjawab pertanyaan guru yang diatur kurikulum
Sebadung-badungnya Thukul, ia tetap baik di mata Daryanti. Ia menilai Thukul sebagai sosok sederhana, di rumah maupun di sekolah.
“Wiji itu anaknya nyantai, lucu. Ngguya-ngguyu, ketawa-ketawa saja. Sukanya gojek, guyon,” ujar ibu dua anak itu, ikut tertawa mengenang tawa Thukul.
Perempuan yang kini menjadi dosen di Universitas Tunas Pembangunan Surakarta itu lantas menirukan seloroh Thukul.
Ayo ning omahe Daryanti, golek pelem,” ujarnya. Artinya kira-kira, “Ayo ke rumah Daryanti, ambil mangga.”
Jika musim mangga, ujar Daryanti, Thukul dan teman-teman mereka memang sering main ke rumahnya. “Manjat pohon mangga di depan rumah.”
Wiji Thukul semasa remaja (Foto: Muhammad Faisal/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Wiji Thukul semasa remaja (Foto: Muhammad Faisal/kumparan)
Rumah Daryanti yang dekat dengan tempat tinggal Thukul membuatnya sedikit banyak mengenal keluarga Thukul.
ADVERTISEMENT
Thukul sekeluarga ialah rakyat jelata, dengan kondisi ekonomi pas-pasan, tak seberuntung orang lain. Ayah Thukul, Kemis Harjosuwito, menghidup keluarganya dari menarik becak.
Kemis kerap bertandang ke toko kelontong milik ibu Daryanti untuk sekadar membeli rokok atau penganan.
“Rumah saya kan di pinggir jalan ya. Nah, kebetulan ibu saya buka warung. Jadi saya sering lihat bapaknya si Wiji itu. Pak Kemis mangkal becak dekat rumah saya,” kata Daryanti.
Wiji Thukul muda usai membacakan puisi. (Foto: Dokumentasi pribadi Wahyu Susilo)
zoom-in-whitePerbesar
Wiji Thukul muda usai membacakan puisi. (Foto: Dokumentasi pribadi Wahyu Susilo)
aku dibentak dinilai buruk kalau tidak bisa mengisi dua kali dua aku harus menghafal mataku mau tak mau harus dijejali huruf-huruf
Mau bagaimana lagi, Wiji Thukul muda memang tak suka belajar di kelas. Ia sampai kerap dimarahi Daryanti, kawannya.
“Ya sebenarnya bukan memarahi,” kata-kata Daryanti tertahan di tenggorokan. “Lebih seperti memberi tahu, mengingatkan teman,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Kebetulan, waktu itu Daryanti ketua kelas. Mengingatkan teman yang badung semacam Thukul adalah hal biasa baginya.
Tapi Thukul tetaplah Thukul, dengan sukma bak bara api menggelegak.
aku harus tahu siapa presidenku, aku harus tahu ibukota negaraku tanpa aku tahu apa maknanya bagiku
Tentu saja, bukan cuma Thukul yang punya perasaan seperti itu. Mungkin banyak anak sekolah, dari dulu sampai sekarang, yang memendam pikiran serupa.
Bedanya, Thukul menyuarakannya dengan lantang. Jiwanya burung rajawali. Terbang garang tak bisa dikekang.
penjara sekalipun tak bakal mampu mendidikku menjadi patuh
Adik Thukul, Wahyu Susilo, amat memahami isi hati sang kakak. Ia sepakat pendidikan tak hanya bisa didapat di bangku sekolah, tapi juga lewat pembelajaran di alam terbuka, di lingkungan sekitar, dengan metode-metode yang membebaskan.
ADVERTISEMENT
Thukul bukannya tak peduli pendidikan. Ia bahkan berhenti sekolah agar adik-adiknya bisa bersekolah, agar biaya pendidikan yang berat dipikul keluarganya dicurahkan untuk adik-adiknya.
“Dia sendiri tetap membaca buku. Dia memberi jalan keluar ketika aku masuk kuliah dan enggak punya biaya, dengan dia menjadi loper koran,” tutur Wahyu mengingat perjuangan kakaknya untuk dia.
Wahyu Susilo, adik kandung Wiji Thukul. (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Wahyu Susilo, adik kandung Wiji Thukul. (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
Kesempatan yang diberikan Thukul kepada Wahyu untuk mengenyam pendidikan, hingga kini menjadi peninggalan yang paling berharga dari sang kakak. Wahyu tahu benar pendidikan seperti apa yang diinginkan Thukul: pendidikan membebaskan sebagai jalan untuk melawan kekuasaan lalim.
Sejak muda, Thukul telah memulai perjalanannya menuju kegigihan sikap, jiwa juang yang meneriakkan: tirani harus tumbang!
Wiji Thukul menjadi buronan. (Foto: Muhammad Faisal/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Wiji Thukul menjadi buronan. (Foto: Muhammad Faisal/kumparan)
Kenali Wiji Thukul lebih dalam
ADVERTISEMENT