Konten dari Pengguna

Mengapa Perpustakaan Harus Jadi Jantung Sekolah?

Titania Nelvi Safira
Seorang mahasiswi baru Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan manajemen pendidikan fakultas tarbiyah dan ilmu keguruan. Memiliki minat di dunia literasi, kepenulisan, seni dan bisnis serta memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.
4 Mei 2025 14:52 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Titania Nelvi Safira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rak buku berbentuk kapal menjadi ikon unik di perpustakaan MR. Besar Mertokusumo, Tegal. Interior perpustakaan ini dirancang tematik untuk menarik minat baca anak-anak dan menciptakan pengalaman literasi yang menyenangkan. foto: dokumentasi pribadi oleh Titania Nelvi Safira pada 4 september 2023.
zoom-in-whitePerbesar
Rak buku berbentuk kapal menjadi ikon unik di perpustakaan MR. Besar Mertokusumo, Tegal. Interior perpustakaan ini dirancang tematik untuk menarik minat baca anak-anak dan menciptakan pengalaman literasi yang menyenangkan. foto: dokumentasi pribadi oleh Titania Nelvi Safira pada 4 september 2023.
ADVERTISEMENT
Di tengah gencarnya modernisasi pendidikan dan derasnya arus digitalisasi, perpustakaan sekolah kerap terpinggirkan. Tak jarang ia hanya menjadi ruang kosong berdebu, sekadar pelengkap bangunan, bukan bagian dari denyut kehidupan belajar mengajar. Padahal, di situlah seharusnya terletak jantung sekolah pusat pengetahuan, inspirasi, dan pembentukan karakter peserta didik.
ADVERTISEMENT
Perpustakaan bukan hanya tempat menyimpan buku. Ia adalah sumber belajar yang hidup, yang menyediakan ruang bagi siswa untuk menggali informasi, memperluas wawasan, dan mengasah daya pikir kritis secara mandiri. Di sana, seorang anak bisa belajar tanpa tekanan, membaca tanpa batasan waktu, dan menumbuhkan kecintaannya pada ilmu secara alami.
Sayangnya, masih banyak sekolah di Indonesia yang belum menempatkan perpustakaan pada posisi strategis dalam proses pembelajaran. Menurut data Perpusnas, lebih dari 60 persen perpustakaan sekolah masih jauh dari standar kelayakan, baik dari sisi koleksi, fasilitas, maupun tenaga pustakawan. Dalam situasi seperti ini, bagaimana mungkin perpustakaan bisa berperan optimal?
Lebih dari sekadar ruang baca, perpustakaan adalah pusat literasi dan pembentukan karakter. Kebiasaan membaca yang tumbuh di perpustakaan tidak hanya memperkaya pengetahuan siswa, tetapi juga membentuk nilai-nilai seperti ketekunan, kejujuran akademik, dan rasa ingin tahu yang sehat. Di ruang inilah proses pendidikan yang holistik dapat dijalankan, menyentuh ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik secara seimbang.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, perpustakaan juga bisa menjadi ruang aman dan inklusif bagi seluruh siswa. Ia memberikan tempat bagi mereka yang membutuhkan ketenangan, yang ingin berdiskusi, atau yang sekadar ingin menyendiri sejenak dari hiruk-pikuk kelas. Di sinilah nilai humanisme pendidikan benar-benar terasa.
Namun semua itu tidak akan terwujud tanpa adanya kolaborasi. Perpustakaan sekolah harus menjadi ruang interaktif antara guru, siswa, dan pustakawan. Guru bisa memanfaatkan perpustakaan sebagai laboratorium literasi tempat siswa mengembangkan proyek riset kecil, menulis kreatif, atau bahkan membuat media pembelajaran sendiri. Pustakawan, bukan hanya penjaga buku, tapi juga fasilitator belajar yang mampu mengarahkan siswa menemukan sumber yang tepat, mengelola informasi, dan berpikir kritis.
Memang, revitalisasi perpustakaan tidak mudah. Banyak kendala yang dihadapi: anggaran minim, SDM pustakawan yang belum memadai, dan kurangnya perhatian dari pengelola sekolah. Tapi bukan berarti tak mungkin. Kolaborasi dengan perpustakaan daerah, pelatihan guru dan pustakawan, digitalisasi koleksi, dan penyusunan kebijakan literasi yang konkret adalah langkah-langkah realistis yang bisa diambil.
ADVERTISEMENT
Pendidikan yang berkualitas bukan hanya soal kurikulum dan ujian. Ia tumbuh dari ekosistem belajar yang sehat dan menyenangkan. Dan perpustakaan jika dikelola dengan baik adalah jantung dari ekosistem itu.
Sudah saatnya kita mengubah cara pandang terhadap perpustakaan sekolah. Bukan sekadar ruang penyimpanan, melainkan ruang kehidupan. Karena sekolah yang hidup adalah sekolah yang perpustakaannya hidup.