Gempa Kecil dan Hujan Deras Picu Longsor di Imogiri, Bantul

Konten Media Partner
21 Maret 2019 14:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tanah longsor di salah satu titik di Imogiri, Bantul. Foto: erl.
zoom-in-whitePerbesar
Tanah longsor di salah satu titik di Imogiri, Bantul. Foto: erl.
ADVERTISEMENT
Hujan deras dan gempa bumi yang terjadi belakangan ini diduga menjadi penyebab adanya bencana tanah longsor dan banjir di Kabupaten Bantul, terutama di kawasan Kecamatan Imogiri. Hal tersebut sesuai dengan hasil kajian Geologi Gerakan Tanah dan Banjir di Bantul yang dilakukan oleh Fakultas Geologi UGM.
ADVERTISEMENT
Peniliti Geologi UGM, Wahyu Palopo mengatakan, ada beberapa faktor saling berkaitan yang menjadi pemicu terjadinya tanah longsor dan banjir di Kabupaten Bantul. Untuk tanah longsor sebenarnya pemicu awal adalah adanya gempa bumi. Meskipun skalanya hanya kecil namun karena sering terjadi maka dapat mempengaruhi struktur tanah.
Wahyu menyebutkan, dalam tiga bulan terakhir intensitas gempa bumi di Bantul cukup sering. Pusat-pusat gempa kebanyakan memang berada di sekeliling lokasi terjadinya bencana tanah longsor saat ini. Intensitasnya memang masih kecil, namun frekuensinya cukup sering dan titik pusat gempa tak jauh dari seputaran Imogiri.
"Meskipun kecil-kecil tetapi itu mengakibatkan daya rekat tanah menjadi goyah. Ini sama yang terjadi di Lombok kemarin," tuturnya, Kamis (21/3/2019).
Di Imogiri, sebetulnya tanah longsor tidak hanya terjadi di satu titik yaitu Dusun Kedungbuweng atau kompleks makam Raja-raja Imogiri. Namun pihaknya memantau ada 5 titik yang juga mengalami longsor, skalanyapun hampir sama dengan yang terjadi di Kompleks makam Raja-raja Imogiri. Dan karakteristik longsoran juga hampir sama dengan longsor di kompleks Makam raja-raja Imogiri.
ADVERTISEMENT
Di saat kondisi daya rekat tanah sudah berkurang, hujan turun dengan intensitas yang cukup tinggi. Berdasarkan catatan BMKG yang dicermati oleh UGM, intensitas hujan dalam tiga hari terakhir mencapai sekitar 300 mililiter perhari. Jauh lebih tinggi ketimbang peristiwa tanah longsor di Banjarnegara, Purworejo, Ponorogo ataupun Garut.
"Di Banjarnegara intensitas hujannya hanya 113 ml perhari, di Purworejo 128 ml perhari, Ponorogo lebih dari 100 dan Garut 200an ml perhari,"terangnya.
Karena curah hujan yang tinggi tersebut diperparah dengan kondisi drainase di seputaran makam Raja-raja Imogiri yang tidak mendukung mitigasi bencana maka yang terjadi adalah tanah longsor. Dan longsoran tersebut menjadi besar karena ketinggian tebing juga cukup tinggi.
Di samping itu, dari temuan yang ada di lapangan ternyata tanah yang ada di kawasan longsoran mahkota (pangkal longsoran) adalah tanah urugan, bukan tanah yang lama. Sehingga struktur tanah di kawasan tersebut juga lebih labil ketimbang dengan yang lain.
ADVERTISEMENT
"Tanah di sana sebenarnya adalah Breksi Vulkanik, tetapi kami juga temukan tanah baru bekas urugan,"tambahnya.
Kendati tanah longsor tersebut berada di pondasi bangunan perluasan kompleks makam raja-raja Imogiri, namun ia menyebut jika tanah longsor di Imogiri tersebut pemicunya adalah konstruksi bangunan baru hasil perluasan kompleks makam raja-raja Imogiri. Sebab, longsor juga terjadi di titik lain, tidak hanya di area bangunan baru.
"Logikanya kalau karena konstruksi bangunan baru, maka yang longsor hanya ada di bangunan baru. Tetapi secara umum juga terjadi longsoran di wilayah lain,"ujarnya. (erl/adn)