Konten Media Partner

Kisah Korban UKT UNY: Jual Sapi Satu-satunya hingga Tangisan Bapak

17 Januari 2023 18:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
UNY. Foto: Tugu Jogja
zoom-in-whitePerbesar
UNY. Foto: Tugu Jogja
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kisah pilu perjuangan Nur Riska Fitri Aningsih mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga akhir hayatnya menyedot perhatian netizen. Rupanya, Riska tidak sendirian. Setidaknya ada puluhan bahkan ribuan cerita pilu lainnya yang tak terungkap di publik terkait polemik UKT UNY.
ADVERTISEMENT
Diskusi bertajuk Ada Apa Dengan UNY? yang digelar Senin (16/1/2023) malam di salah satu cafe di Sleman membongkar fakta bahwa banyak mahasiswa yang menghadapi problem yang sama. Belum lama ini, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi UNY bersama UNY Bergerak mulai dari 21 Desember 2022 sampai 2 Januari 2023 mengadakan survei. Dari 1.045 responden, 97 persen di antaranya mengajukan keluhan terkait besaran UKT yang mereka terima.
"97 persen dari yang mengisi angket yang disebarkan UNY Bergerak mengatakan bahwa UKT yang mereka terima tidak sesuai kemampuan bayar mereka," ujar Mahasiswa Ilmu Sejarah UNY Rachmad Ganta Semendawai, Senin (16/1/2023).
"Itu baru cuma dari angket itu. Yang kita nggak tahu gimana nasib yang lain," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Malam itu, diskusi pun berlanjut dengan sesi pengakuan sejumlah korban UKT UNY. Setidaknya ada sejumlah orang yang membeberkan sekelumit kisahnya malam itu secara virtual tanpa menampilkan wajah mereka dan juga secara anonim.

Pinjam Uang ke Bank

Membayangkan kuliah di UNY serasa seperti mimpi bagi seorang mahasiswa asal desa. Bagaimana tidak, dalam benaknya, kuliah di universitas negeri diharapkannya akan membuatnya mampu mengakses pendidikan dengan biaya terjangkau.
Semula memang tak dirasakan berat. Putra dari seorang bapak yang bekerja di sebuah angkringan dan ibu buruh pabrik itu memang sempat tercengang ketika mendapatkan golongan UKTnya termasuk yang cukup tinggi.
"Saya mendapatkan UKT 4,2 juta yang menurut saya cukup tinggi melihat kondisi ekonomi saya segitu. Saya mulai berpikir pendidikan ini nggak semurah yang saya harapkan di awal," ujar mahasiswa laki-laki itu.
ADVERTISEMENT
Kondisi itu membuatnya tergerak untuk mencari pekerjaan sampingan dengan harapan tak membebani orang tua soal biaya kuliah. Di semester awal, mahasiswa yang mengaku sempat jadi buruh di salah satu perusahaan perkebunan itu menyebut masih sempat bisa membayar kuliah.
Namun situasi tak dinyana ketika pandemi COVID-19 datang. Angkringan tempat bapaknya bekerja sepi pelanggan, pun dengan ibunya yang terpaksa diminta libur beberapa hari oleh pabrik hingga mengurangi jumlah bayaran membuat situasi perekonomian di keluarga itu kian terjepit.
Demi tetap kuliah, keluarga itu pun terpaksa menjual barang berharga buat mereka dan satu-satunya yakni seekor sapi. Padahal tadinya sapi itu dipersiapkan untuk membiayai sekolah anak terkecil di keluarga itu yang juga akan menelan biaya yang tak sedikit.
ADVERTISEMENT
"Ketika saya di semester 2 atau 3 saat pandemi, ibu dan bapak saya menjual sapi satu-satunya. Padahal itu untuk tabungan adek saya nanti bisa masuk ke sekolah SD," bebernya.
"Setelah bapak dan ibu saya menjual sapi sebagai alasan kuliah, ternyata ada satu cerita lagi biaya pendidikan yang saya tempuh sekarang ini adalah hasil berhutang dari bank," ungkap mahasiswa itu.

Terpaksa Cuti Kuliah hingga Tangis Seorang Bapak

Kisah pilu lainnya juga terungkap dalam diskusi malam itu. Seorang mahasiswa yang kini bekerja di sebuah restoran sebagai pelayan demi menutup biaya kuliah mengaku kesulitan untuk mengusahakan membayar UKT yang membuatnya mau tak mau harus mengambil cuti kuliah.
Mahasiswa angkatan 2021 yang masuk dari jalur mandiri ke UNY itu merasakan getirnya usaha untuk membayar UKT padahal kondisi ekonomi di keluarganya tak baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
"Saya dapat UKT golongan 4 padahal kondisi keluargaku tidak baik-baik saja," aku mahasiswi itu.
"Waktu itu lagi COVID, tempat kerja bapak yang pertama gulung tikar, bosnya melarikan diri. Intinya bapak pulang ke rumah nggak bawa uang pesangon, nggak dapat apa-apa. Akhirnya di rumah kerja serabutan," ungkapnya.
Semester awal di masa pandemi itu dia lalui dengan mulus. Meski sempat kesulitan bayar UKT, keluarganya putar otak, meminjam uang ke tetangga. Lalu untuk membayar utang itu, keluarga sang mahasiswi itu kemudian menjual motor mereka satu-satunya.
Mahasiswa itu juga sempat lega ketika dirinya bisa memperoleh beasiswa dari daerah yang menopangnya kuliah di semester 1 dan 2. Namun menginjak semester berikutnya, permohonan pencairan dana ditolak menyusul pergantian skema yang membuatnya baru bisa mencairkan beasiswa di semester 3 baru bisa diambil di semester 7.
ADVERTISEMENT
Dia pun pulang dengan perasaan kecewa dan menceritakan kondisinya pada orangtuanya. Persoalan biaya sempat memicu pertengkaran antara bapak dan anak tersebut pasalnya keluarga itu juga sedang memutar otak lagi untuk mencukupi biaya dua orang adik yang juga masuk sekolah.
"Akhirnya aku putusin sendiri buat cuti kuliah. Akhirnya aku bilang sama bapakku 'nggih sampun pak, kulo tak cuti mawon di semester ini (ya cukup pak, saya tak cuti saja di semester ini)'. Bapakku langsung sedih karena posisi kita masih marah marahan juga," katanya.
"Terus paginya mamakku bilang 'semalem bapakmu nangis'. 'Kenapa mak?'. 'Karena bapakmu nggak bisa ngusahain bayar UKT'," ungkapnya.