Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Makam Sewu, Peristirahatan Terakhir Sang Kreator Islam di Bantul
17 Desember 2018 17:03 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:52 WIB

ADVERTISEMENT
Tradisi buka bersama dengan bubur di Masjid Sabiilurrosyaad, Kauman Wijirejo, Pandak setiap bulan ramadan menjadi simbolisasi dari penyebaran agama Islam di Bantul pertama kali dulu.
ADVERTISEMENT
Ketua Takmir Masjid, Haryadi mengatakan, tradisi bubur memang tidak lepas dari filosofi yang terkandung di dalamnya. Sama dengan masjid di Solo, bubur ternyata juga memiliki maksud sama untuk melakukan syiar agama islam. Seperti yang dilakukan oleh Panembahan Bodho, kakak dari Panembahan Senopati.
"Bubur sangat cocok untuk buka puasa karena lembut, segar sehingga enak di perut yang baru saja kosong karena puasa. Secara ekonomi, bubur juga hemat karena dengan bahan yang sama, dapat menghasilkan porsi lebih banyak dibanding dengan dimasak seperti nasi,"paparnya, Senin (17/12/2018).
Haryadi menyebutkan, di samping pertimbangan ekonomis dan kesehatan tersebut, sebenarnya cerita sesepuh desa, semua yang diajarkan oleh para pendahulu tentu memiliki nilai, makna dan arti. Demikian pula dengan burub yang diajarkan oleh sesepuh desa tentu memiliki kandungan maksud.
ADVERTISEMENT
Bubur, ujar Haryadi, bisa bermakna Bibiin berarti hal yang bagus, yaitu di masjid harus menjadi sumber dan pusat kebaikan dan hal yang bagus bagi masyarakat. Beber, yaitu membeberkan, menjelaskan, karena di dalam masjid Kanjeng Panembahan Bodho menerangkan ajaran islam.
Babar, yaitu meratakan ajaran agama islam ke seluruh lapisan masyarakat. Dan Bubur, artinya melebur yaitu ajaran agama Islam agar dapat melebur dengan jiwa masyarakat penganutnya. Hal ini dapat dipahami, pada jaman dahulu makanan merupakan hal penting sebagai sarana dakwah.
"Panembahan Bodho sendiri merupakan tokoh yang mendirikan dan membangun masjid tersebut. Ia merupakan ulama besar yang diyakini sebagai Waliyulloh (kekasih Allah, red). Dia diyakini pembawa ajaran Islam pertama di Bantul,"terangnya.
Panembahan Bodho pada masa kecilnya mempunyai nama Raden Trenggana. Ia adalah putra Raden Timbal/Raden Kusen yang putera dari Raden Damar (adipati di Palembang) dengan seorang istri bernama Dewi Dwarawati. Dewi Dwarawati merupakan putri triman 'pemberian' dari Prabu Brawijaya kepada Raden Damar.
ADVERTISEMENT
Menurut cerita Kabag Kesra Desa Wijirejo ini, pada saat Raden Trenggana dewasa, di Kerajaan Demak sedang terjadi perebutan kekuasaan. Raden Trenggana tidak mau terlibat dalam perselisihan tersebut. Hal ini berlanjut sampai pada masa pemerintahan Pajang (Sultan Hadiwijaya)
Pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya ini Raden Trenggana dimintai tolong untuk membantu Pajang dalam rangka menegakkan superioritas Pajang, tetapi Raden Trenggana menolaknya. Bujukan- bujukan yang dilakukan oleh pihak Kasultanan Pajang terhadap Raden Trenggana ini tidak membawa hasil.

Setiap kali ia dibujuk untuk membantu, ia selalu mengatakan bahwa dirinya adalah wong bodho 'orang Bodhoh’ yang tidak tahu apa-apa. Pada saat ia dimintai tolong oleh Raden Sutawijaya pun ia tidak bersedia.
"Oleh karena selalu mengatakan dirinya sebagai wong bodho, maka lama-kelamaan ia terkenal dengan sebutan Kyai Bodho,"paparnya.
ADVERTISEMENT
Pada usia 50 tahun, lanjutnya, Raden Trenggana diperintahkan oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarkan agama Islam. Dari Temanggung ini ia membawa salah seorang putranya yang bernama Raden Cakrawesi. Sementara tempat yang digunakan untuk menyebarkan agama tersebut adalah Desa Kadek (termasuk dalam Kecamatan Pandak, Bantul).
Setelah beberapa waktu berada di Desa Kadek, ia dikawinkan dengan salah seorang anak Sunan Kalijaga yang bernama Nyai Brintik. Kyai Bodho ini setelah peristiwa Ki Ageng Mangir dengan Panembahan Senopati, diberi tempat di alun-alun Pasar Gede/ Kotagede.
"Tempat tersebut kemudian terkenal dengan nama Kampung Bodhon. Di tempat ini ia diangkat menjadi panembahan,"terangnya.
Gelar panembahan diberikan oleh Panembahan Senopati setelah diberikannya kedudukan sebagai penguasa tanah Perdikan yang letaknya di sebelah timur Sungai Progo ke utara sampai kaki Gunung Merapi. Tanah ini diberikan Panembahan Senopati agar Ki Bodho tidak mendapat pengaruh dari musuhnya yakni Kyai Ageng Mangir.
ADVERTISEMENT
Panembahan bodho meninggal sekitar 1600M Dan di makamkan di komplek pemakaman Makam Sewu Dusun Gesikan, Kalurahan Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul. Kini, makam tersebut sering digunakan untuk mencari berkah orang-orang tertentu. , petilsan Panembahan Bodho masih banyak dikunjungi oleh masyarakat, terutama yang memiliki tujuan tertentu. (erl/adn)