Konten dari Pengguna

Transgender dalam Pembangunan Manusia di Indonesia

Tunjung Wijanarka
Mahasiswa Magister Hubungan Internasional UGM
6 Juli 2021 13:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tunjung Wijanarka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ketidaksetaraan akses bagi kaum transgender. Sumber: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ketidaksetaraan akses bagi kaum transgender. Sumber: shutterstock.com

Pembangunan Manusia

ADVERTISEMENT
Melansir definisi pembangunan manusia dari United Nations Development Programme (UNDP), secara sederhana dapat dipahami bahwa pembangunan manusia merupakan proses pembangunan yang bertujuan untuk menciptakan lebih banyak pilihan, khususnya dalam pendapatan, kesehatan, dan pendidikan. Setidaknya tiga dimensi ini, yaitu ekonomi, kesehatan, dan pendidikan menjadi landasan utama bagi UNDP untuk melakukan penilaian terhadap keberhasilan pembangunan manusia di suatu wilayah negara tertentu. Tujuan utamanya tentu adalah untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyat untuk menikmati umur panjang, sehat, dan menjalankan kehidupan yang produktif.
ADVERTISEMENT
Lalu pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana dengan posisi pembangunan manusia di Indonesia? Jika didasarkan pada torehan pencapaian pembangunan manusia yang dilansir oleh UNDP pada tahun 2020, Indonesia berada pada posisi 107 dari 190 negara yang telah dilakukan survei oleh UNDP. Apabila dijabarkan secara rumpun wilayah geografis, posisi Indonesia masih berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Filipina. Memang jika dilihat dari posisi ranking dan data pencapaian pembangunan manusia yang didasarkan pada tiga dimensi pembangunan, pencapaian pembangunan manusia Indonesia tidak dapat dikatakan buruk, namun juga belum dapat dikatakan berhasil.
Lalu faktor apa yang memberikan hambatan dalam proses pembangunan manusia di Indonesia? Tentu saja banyak sekali faktor yang dapat menghambat dalam sebuah proses pembangunan manusia. Sebab, keberhasilan pembangunan manusia di suatu wilayah negara tertentu merupakan kelindan rumit dari banyak faktor yang menyelimuti. Mulai dari peran pemerintah, swasta, birokrasi, etika, bahkan manusia dan masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan manusia.
ADVERTISEMENT
Namun, salah satu faktor nyata yang dapat menjadi penghambat dalam proses pembangunan manusia adalah ketidaksetaraan akses. Ketidaksetaraan akses seperti apa yang dimaksud di sini? Yang dimaksud dengan ketidaksetaraan akses di sini adalah kondisi di mana individu maupun kelompok tertentu belum atau tidak dapat mengakses secara setara terhadap tiga dimensi pembangunan manusia, yaitu ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.
Ketidaksetaraan inilah yang setidaknya masih dialami oleh kaum transgender (transpuan) sebagai salah satu kaum marjinal, yang mau tidak mau harus kita akui keberadaannya dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Ketidaksetaraan dalam mengakses ketiga dimensi pembangunan manusia yang dialami oleh kaum transgender inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses pembangunan manusia secara utuh. Lalu seperti apa korelasi dan penjabarannya?
ADVERTISEMENT

Ketidaksetaraan Akses bagi Kaum Transgender dalam Pembangunan Manusia

Dalam pembangunan manusia terdapat tiga dimensi penilaian yang menjadi tolok ukur dalam menilai keberhasilan pembangunan manusia. Dimensi pertama adalah dimensi ekonomi, yang di dalamnya terdapat faktor penilaian berupa pendapatan per kapita sebagai basis utama untuk melihat keberhasilan di dalam dimensi ekonomi. Dimensi kedua adalah dimensi kesehatan, yang di dalamnya terdapat faktor penilaian seperti angka harapan hidup yang dijadikan salah satu landasan dalam melakukan penilaian. Serta, yang ketiga adalah dimensi pendidikan, yang di dalamnya terdapat penilaian seperti rata-rata lama sekolah sebagai basis utama penilaian.
Dari ketiga dimensi pembangunan manusia yang telah disebutkan di atas, kaum transgender di Indonesia setidaknya memiliki permasalahan yang sama di dalam mendapatkan akses yang setara terhadap ketiga dimensi pembangunan manusia tersebut. Pertama dalam dimensi ekonomi. Bagi kaum transgender, pemenuhan aspek ekonomi melalui sektor pekerjaan yang layak dan mapan menjadi sesuatu yang sulit diterapkan. Ketidaksetaraan ini disebabkan oleh belum diakuinya identitas gender kelompok minoritas tersebut ke dalam bagian dari legalitas hukum (Kartu Tanda Penduduk/KTP) di Indonesia. Hal inilah yang membuat kelompok ini kesulitan untuk mengakses pekerjaan formal. Alhasil, banyak dari kaum transgender yang hanya mampu mengakses pekerjaan informal, tanpa adanya perlindungan hukum kerja yang jelas sebagaimana yang dapat diakses oleh pria dan wanita pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Dengan tidak adanya pekerjaan yang layak, maka pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kebutuhan dasar tidak akan terpenuhi dengan baik. Sehingga, dengan adanya keterbatasan pekerjaan ini, maka peluang untuk memberikan kehidupan yang berkualitas dan layak pada dimensi ekonomi juga akan terhalang. Sebab, masih terdapat kelompok-kelompok minoritas yang memiliki ketidaksetaraan akses di dalam salah satu dimensi penilaian pembangunan manusia.
Dimensi kedua adalah dimensi kesehatan. Berkaca dari dimensi ekonomi, belum diakuinya gender ketiga bagi kaum transgender di Indonesia juga menjadi permasalahan bagi kaum minoritas ini. Permasalahan tersebut juga berkutat pada identitas diri atau KTP yang menjadi penghalang dalam mendapatkan akses kesehatan. Dengan tidak dimilikinya KTP sebagai basis utama pemerintah melakukan pelayanan kesehatan, maka dampak yang ditimbulkan bagi kelompok ini adalah kesulitan mereka untuk mengakses pelayanan kesehatan sebagaimana penduduk yang memiliki KTP secara resmi.
ADVERTISEMENT
Tidak dapat diaksesnya pelayanan kesehatan tentunya menjadi masalah krusial dalam keberhasilan proses pembangunan manusia. Permasalahan ini menjadi semakin kompleks ketika kaum transgender di Indonesia kesulitan dalam mengakses beberapa layanan kesehatan yang paling krusial saat ini, yaitu vaksinasi COVID-19 yang menggunakan basis nomor induk kependudukan, maupun aksesibilitas terhadap layanan kesehatan lainnya. Dengan rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan bagi kaum minoritas ini, maka akan memberikan dampak pada rendahnya kualitas kesehatan masyarakat yang juga akan memberikan dampak buruk terhadap angka harapan hidup. Rendahnya harapan hidup ini dapat dilihat dari masih sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan bagi kaum transgender. 
Pembahasan berikutnya berlanjut pada dimensi ketiga, yaitu dimensi pendidikan. Bagi kaum transgender di Indonesia, memiliki pendidikan yang tinggi menjadi sesuatu yang bisa dicapai namun dalam kondisi yang sulit. Kesulitan ini didapatkan ketika kaum transgender mendapatkan perlakuan diskriminatif selama menempuh pendidikan. Permasalahan ini tentu saja menjadi polemik, tatkala perlakuan diskriminatif ini menjadi salah satu penghambat bagi didapatkannya hak memperoleh pendidikan bagi masing-masing individu.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya kondisi tersebut, maka hal ini akan memberikan hambatan tersendiri bagi kaum marjinal untuk mendapatkan kesempatan pendidikan. Pendidikan yang layak, menjadi modal penting untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan kehidupan yang baik. Tanpa adanya akses terhadap hal tersebut, maka akan memberikan hambatan bagi terciptanya pembangunan manusia secara utuh. Sebab, tanpa adanya akses terhadap bidang pendidikan, maka akses terhadap ekonomi dan kesehatan juga menjadi terhambat dalam konteks pembangunan manusia. 
Dari ketidaksetaraan akses pada tiga dimensi pembangunan manusia tersebut, setidaknya kita dapat memahami bahwa masih terdapat kelompok tertentu yang belum mendapatkan akses yang setara. Dengan belum adanya akses yang setara bagi kaum transgender, maka akan memberikan hambatan bagi terciptanya pembangunan manusia yang berkualitas secara utuh. Walaupun memang pada Juni 2021, pemerintah Indonesia telah memberikan kemudahan dalam pembuatan KTP bagi kaum transgender, namun perbedaan fisik masih menjadi penghalang bagi kaum ini untuk mendapatkan akses yang setara terhadap tiga dimensi pembangunan manusia.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, pembangunan manusia sebagai sesuatu yang kompleks dan kelindan antara berbagai macam kepentingan dan kebijakan, tentu harus memiliki tujuan utama untuk kesejahteraan manusia. Dengan adanya ganjalan birokrasi, maka akan memberikan dampak buruk bagi terciptanya ruang diskriminasi dalam akses terhadap kesejahteraan manusia sebagaimana yang masih dialami oleh banyak kaum transgender. Pembangunan manusia dengan tujuan menciptakan peluang dan kebebasan terhadap akses dimensi pembangunan adalah hal mutlak yang perlu diciptakan secara bijak dan beretika bagi keutuhan pembangunan manusia yang berkualitas. No one is left behind!