Konten dari Pengguna

Periodisasi Sastra Indonesia (1)

Tutur Literatur
O Captain, My Captain. (Whitman, 1865)
19 Mei 2017 22:37 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tutur Literatur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Periodisasi Sastra Indonesia (1)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sebelum bahasa Indonesia diresmikan pada 28 Oktober 1928, sastra Indonesia sudah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Sastra Indonesia baru berdiri tegak pada tahun 1920-an dengan munculnya Balai Poestaka. Sejak saat itu, sastra di Indonesia mengalami perkembangan hingga saat ini. Berikut ini merupakan uraian singkat mengenai perkembangan sastra Indonesia dari masa ke masa yang bisa menambah pengetahuanmu mengenai ciri, karakteristik dan berbagai perubahan yang terjadi dalam karya sastra.
ADVERTISEMENT
Angkatan Balai Pustaka
Cikal bakal angkatan ini berawal ketika pemerintah Belanda mendirikan Sekolah Bumi Putera yang pada perkembangannya berubah menjadi Balai Poestaka. Sekolah ini didirikan dengan tujuan menyediakan bahan bacaan yang 'tepat'dan tamat sekolah dengan sistem pendidikan Barat.
Balai Poestaka sebagai pusat produksi karya sastra memiliki beberapa strategi dengan merekrut dewan redaksi, menentukan jaringan distribusi buku, menentukan kriteria literer serta mendominasi kritik sastra. Beberapa lulusan sekolah Minangkabau kemudian ditunjuk menjadi dewan redaksi, karena pada saat itu bahasa Melayu Riau dianggap sebagai bahasa Melayu paling baik dibanding daerah lainnya. Beberapa yang menjadi dewan redaksi adalah Armijn Pane dan Alisjahbana.
Novel yang pertama kali dikeluarkan oleh Balai Poestaka adalah Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang mengangkat tema cerita tentang kawin paksa, yang menjadi tren baru bagi dunia sastra. Adapun ciri-ciri karya sastra angkatan ini menggambarkan tema pertentangan kaum muda dan kaum tua, kaum adat, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Angkatan Pujangga Baru (1933 - 1942)
Angkatan ini muncul sebagai bentuk reaksi keras terhadap banyaknya sensor yang dilakukan Balai Pustaka terhadap karya sastrawan. Terutama yang menyangkut nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
Awal kemunculan angkatan ini ditandai dengan berdirinya majalah Poejangga Baru yang diprakarsai oleh Armijn Pane, Hamzah dan Sultan Takdir Alisjahbana. Majalah ini diharapkan menjadi wadah bagi para penulis yang karya-karyanya ditolah oleh angkatan Balai Pustaka.
Karakteristik sastra pada zaman ini adalah pengaruh barat yang cukup kental serta beraliran romantis dan utopis. Hal ini kemudian menghasilkan beberapa perbedaan pandangan di kalangan sastrawan pada masa itu sehingga terbagi ke dalam dua kelompok. Kelompok "seni untuk seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah, serta "Seni untuk pembangunan masyarakat" oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
ADVERTISEMENT
Angkatan 45
Berakhirnya angkatan baru, melahirkan Angkatan 45 yang terbentuk karena angkatan pujangga baru dianggap gagal melaksanakan gagasannya. Pujangga baru yang mulanya memiliki gagasan baratisasi sastra Indonesia, nyatanya berakhir dengan mentok di belandaisasi.
Kemunculan angkatan ini juga tak lepas dari peranan Chairil Anwar. Dalam panggung sastra Indonesia, Chairil Anwar menampilkan sajak-sajak bernilai tinggi yang mamberikan sesuatu baru bagi dunia sastra tanah air.
Bahasa yang disajikan Chairil Anwar dalam karya-karyanya bukan lagi bahasa buku, melainkan percakapan sehari-hari yang diberikan sentuhan nilai sastra. Sementara angkatan pujangga baru dinilai terlalu romantis, terlalu utopis dan mementingkan estetika belaka, angkatan 45 ini beraliran ekspresionisme - realistik .
Tema-tema yang diangkat pada angkatan ini adalah tema-tema tentang perjuangan serta kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Angkatan 1950
Sepeninggal Chairil Anwar, pada tahun ini dikenal sebagai angkatan krisis sastra. Disebut demikian karena berkurangnya jumlah buku-buku yang terbit. Disamping itu, pada angkatan ini juga muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan yang tergabung bersama Lekra. Sastra dalam bingkai Lekra ini berkonsep realisme-sosialis. Hal ini kemudian menyebabkan timbulnya perpecahan di kalangan sastrawan dan berakibat mandegnya perkembangan sastra karena masuk pada politik praktis dan beeakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Bersambung ke bagian 2