Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menikmati Keajaiban Pertunjukan Sulap
21 Desember 2017 18:19 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Ulfa Rahayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya masih ingat pertama kali menyaksikan pertunjukan debus di lapangan sepak bola depan SD Jatisampurna, Bekasi, saat masih kelas 4.
ADVERTISEMENT
Para penonton melingkar mengelilingi para pemain debus yang menjadikan rumput lapangan sepak bola sebagai panggung pertunjukan mereka.
Tubuh kecil saya merangsek kerumunan orang demi mendapat saf terdepan.
Pertunjukan pertama dimulai. Seorang pria gondrong bertelanjang dada membawa obor di tangan kiri dan sebotol bensin di tangan kanan. Sambil melotot menatap penonton, ia menenggak bensin hingga memenuhi mulutnya.
Lalu burrrrrrrrrrrrr, si gondrong menyemburkan bensin ke arah obor, membuat api meletup ke udara. Membuat penonton terbelalak seraya ber “whoaaaa” takjub.
Selanjutnya, performer kedua bersiap. Kali ini seorang anak laki-laki dibebat kain putih. Ia didandani layaknya pocong. Lalu bapak-bapak berpakaian serbahitam beraksi. Dia datang membawa cambuk dan mulai mencambuk pocong itu tanpa ampun.
ADVERTISEMENT
Jantung saya berdebar-debar menunggu ikatan pocong satu per satu dibuka. Mata saya tebelalak melihat anak itu sehat tanpa luka. Wow!
Saat itu saya merasa menjadi penonton yang bertepuk tangan paling keras sembari berpikir “Keren, pasti kekuatan pocong yang membuat dia tetap sehat.”
Terlebih, aksi selanjutnya menampilkan seseorang yang memakan pecahan beling sambil berlagak kesetanan.
Kejadian itu sudah belasan tahun lalu. Seiring bertambah dewasa, saya tahu deretan aksi debus itu semacam trik sulap tanpa campur tangan jin atau setan.
Sama seperti yang dilakukan Mr. Robin saat membuat tongkatnya menari, seperti Deddy Corbuzier saat menghilangkan roller coster, atau saat si pesulap terkaya di dunia David Copperfield menembus tembok besar China.
Semua tentang keterampilan menggunakan sains menjadi sebuah seni pertunjukan--yang tentu saja telah melalui perjalanan panjang dalam penyempurnaannya.
ADVERTISEMENT
Tapi saya tidak merasa dibohongi ataupun menyesal pernah merasa sebegitu takjub dengan pertunjukan debus. Saya menikmatinya.
Trik-trik sulap semakin berkembang, dan para pesulap memiliki spesialisasinya masing-masing. Ada pesulap klasik, mentalist, escapologist, fakir magic, bizzare illusionist, mathemagic, dan beberapa aliran turunan lainnya.
Mereka juga memilih nama panggung dan membangun karakternya masing-masing.
Seperti The Sacreed Riana yang bekerja keras membangun karakter horor untuk memberi efek nyata pada penampilannya di panggung pertunjukan.
Penampilan Riana dengan poni panjang yang menutupi separuh wajahnya, dan kepala yang bergedek-gedek, seakan datang dari dunia lain. Saking berhasilnya Riana membangun karakter mistik, sampai-sampai banyak yang mengira Riana adalah penyihir hitam.
“Ketika orang bilang, wah harus dirukiyah nih, ya kami ketawa-ketawa aja,” kata Bow Vernon, manajer Riana, saat saya dan editor saya, Anggi Kusumadewi, mengunjungi “kantor” mereka, Trilogy Magic Factory, November lalu.
ADVERTISEMENT
Saya tidak kenal Riana, sih. Tapi kalau dia mau membuat pertunjukan sulap hebat dengan nuansa seram seperti film horor di bioskop, saya tak keberatan menontonnya dengan asyik.