Menempa Rasa Ingin Tahu

Heru Indrabudi
Ayah dari 3 Anak. Bekerja sebagai PNS/ASN di Politeknik Negeri. Penulis Pemula. Ingin mengukir sejarah.
Konten dari Pengguna
20 Maret 2023 14:51 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heru Indrabudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Ilustrasi laki-laki sedang berpikir. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi laki-laki sedang berpikir. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pagi tadi tidak seperti biasanya. Saya menelan penyesalan yang luar biasa hebatnya. Kalau waktu bisa diulang, saya akan meminta satu kesempatan lagi untuk mengulang hari ini. Pagi tadi, saya, melewatkan rutinitas yang begitu saya cintai. Yang membuat hidup saya semakin “hidup”. Sebagai manusia, sebagai hamba-Nya.
ADVERTISEMENT
Saya melewatkan banyak keberkahan, di mana langkah kaki seharusnya berjalan menuju rumah yang dinantikan oleh anak-anak kecil menjelang buka puasa. Rumah yang membangunkan saya di waktu-waktu tertentu untuk segera menyudahi lamunan agar segera bisa bergegas menuju rumah-Nya. Kali ini tidak. Saya hampir tak sadar, karena tenggelam dalam kesalahan.
Dengan mengambil langkah sigap, saya segera menuju garasi. Memanaskan sepeda motor saya untuk berangkat ke kantor. Sambil menunggu sepeda motor saya menunjukkan sinyal kalau mesinnya sudah cukup panas, tangan kanan saya mengambil buku tebal berukuran 21 cm x 30 cm di atas rak kecil di kamar saya. Buku yang membuat saya bergairah dalam menjalani hidup. Sebagai kompensasi dari saya, yang melewatkan salah satu waktu terbaik yang diberikan kepada hamba-Nya.
ADVERTISEMENT
Sesekali, saya terdiam. Pikiran saya belum bisa beranjak dari kejadian tadi pagi. Bagaimana bisa saya melewatkan “waktu pagi” yang begitu saya nantikan setiap harinya. Bagaimana bisa saya melewatkan “satu waktu” yang saya ingin terus melakukannya. Tapi, mau tidak mau saya harus fokus dalam berkendara menuju ke kantor. Saya, terpaksa memangkas pikiran saya untuk sementara.
”Kami sudah siap, ya, Yah!” suara nyaring terdengar dari halaman depan rumah. Si Sulung dengan bekal makan siang ditenteng di tangan kanannya sudah menunggu saya di depan. Saya kemudian mengambil kunci, lalu menyalakan mesin. Dan, ya, saya lepaskan satu kecupan manis di kening si bungsu.
Di sepanjang perjalanan menuju sekolah, kami hanya diam. Tidak ada obrolan seperti biasanya. Sesekali, saya hanya melemparkan senyum. Seakan saya tidak ada gairah untuk melakukan aktivitas apapun. Bahkan untuk mengajak mengobrol seperti rutinitas mengantar si Bungsu pun saya tidak bisa melakukannya. Pagi ini, saya gagal menjadi seorang Ayah. Saya gagal menjadi manusia.
ADVERTISEMENT
Pikiran saya masih tertuju pada “satu waktu” yang saya lewatkan. Lagi-lagi, bagaimana bisa saya meninggalkan waktu yang dicintai oleh Sang Pemberi Cinta? Bagaimana bisa? Saya masih terus mencari tahu pelajaran berharga apa yang akan Maha Kuasa beri dari kejadian ini. Saya menarik napas panjang.
Jika tidak hari ini, ya, nanti saya harus menerima pelajaran berharga itu. Pelajaran yang saya tunggu-tunggu. Pelajaran yang membuat saya harus lebih mawas diri. Lebih disiplin. Lebih menghargai waktu. Saya, harus bisa menerima. Saya, jauh bisa melepaskan bahwa memang saya melewatkan salah satu waktu terbaik untuk terus dekat dengan-Nya. Saya, akan menerima dengan baik pelajaran yang sudah menjadi jatah bagi saya nantinya.
Saya berusaha mendidik diri hingga sampai pada sebuah pemahaman. Bahwa sejatinya rasa ingin tahu harus mampu mengarahkan seorang hamba pada titik di mana menjadikan dirinya tahu diri akan posisi siapa sebenarnya dirinya. Saya simpan rapat rasa ingin tahu ini. Sembari berharap tidak akan terjadi sesuatu yang buruk menimpa hari ini.
ADVERTISEMENT

Kejutan Pertama

Tibalah saya di halaman parkir kantor tersayang. Saya coba mencari tempat kosong dan agak ke pinggir dengan maksud agar pada saat keluar siang nanti lebih leluasa dan gampang. Saya memang sering keluar pada saat siang dan agak sorean. Bukan berniat menghindar dari tanggung jawab pekerjaan, tetapi sekadar mengerjakan kewajiban sebagai muslim pada waktu yang sudah ditentukan.
Sambil membawa bekal yang dimasak oleh istri tercinta, saya naik ke lantai 3 Gedung Direktorat tempat di mana saya bekerja. Belum sempat duduk dan meletakkan bekal, saya kemudian ditodong sebuah pernyataan, “bang nanti kalau ada waktu aku mau cerita sedikit”, seru teman yang usianya jauh lebih muda dari saya.
Saya sempat bertanya dalam hati, ada apa gerangan si Ragil ini. Dia memang yang paling muda di antara kami dan sedang disibukkan dengan segala hal terkait pernikahannya. Tapi ini tidak biasanya, dia khusus datang dan mengajukan sebuah permohonan. Singkat cerita, tepat pukul 07.50 WIB dia menghampiri dan mulai bertanya.
ADVERTISEMENT
Rupanya si Ragil ini sudah sering kali dihinggapi rasa ingin tahu. Ingin tahu tentang bagaimana cara saya menyikapi hidup, khususnya kehidupan setelah pernikahan. Entah mengapa lidah ini mudah saja mengajarkan aturan tentang hidup dalam ikatan pernikahan.
Mulai dari hak dan kewajiban menjadi suami atau istri, hingga fase-fase di mana kita saling belajar mengenal pasangan hidup yang punya latar belakang berbeda dengan kita. Saya begitu lancar saat memberikan nasihat-nasihat pernikahan yang semoga bisa dijalankan dengan istiqomah meskipun tidak mudah.
Semua terjadi atas kuasa-Nya, Allah punya banyak rahasia pada hamba-Nya. Bahwa lidah yang biasa banyak berucap kata-kata tak bermakna, tiba-tiba saja mampu dan lancar menjawab semua pertanyaan terkait pernikahan.
Sementara lidah ini adalah bagian dari manusia yang pagi tadi baru saja gagal menjadi hamba yang tetap dalam ketaatan. Sungguh, rasa ingin tahu sering sekali mengarahkan kita pada prasangka. Tetapi Allah malah menukar dengan kasih sayang-Nya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, pada sesi perbincangan yang memakan waktu hampir 20 menit saya menutupnya dengan kalimat titipan. Bahwa hidup bersama wanita yang kita cintai dalam bingkai rumah tangga itu, harus punya dasar ilmu agama yang kuat dan dalam.
Itu mengapa sebagai muslim kita dituntut untuk mewujudkan rasa ingin tahu terhadap ilmu agama yang kita anut. Sebab tantangan, cobaan serta godaannya jauh lebih sulit daripada kehidupan kita di masa masa menempa pendidikan bahkan pengalaman hidup dalam dunia pekerjaan.

Kejutan Kedua

Sebagian besar Rasa Ingin Tahu manusia mengarah pada sesuatu yang salah. Foto: dok. pribadi
Waktu menunjukkan tepat pukul 12.15 WIB. Setelah saya selesai menyantap bekal yang saya bawa tadi, saya pamit pada teman-teman yang masih di ruangan. Tanpa berlama-lama saya pacu sepeda motor hingga sampai di salah satu Masjid terbaik di kota tempat tinggal saya.
ADVERTISEMENT
Saya mengambil wudu dan menunaikan kewajiban. Saya kian bersemangat karena siang ini ada jadwal kajian. Tentang ilmu, tentang keberkahan yang selalu saya nantikan.
Kajian pun selesai hanya dalam waktu 30 menit. Saya segera bangkit dan menghampiri Ustaz yang menjadi imam sekaligus penceramah. Saya menjulurkan tangan kanan. Sebelum memberikan tangan, dengan sedikit mengernyitkan dahinya, “Antum seperti sering saya lihat.”
Sejenak saya terkejut. Bagaimana mungkin beliau hafal sementara jamaahnya begitu banyak. Saya juga selalu berpindah tempat, dan tidak sedikit Rabu yang saya lewatkan di masjid ini.
Tiba-tiba, beliau menawarkan dan menyuruh saya untuk menyimpan nomor HP-nya dan berjanji akan mengirimkan beberapa rekaman video ceramahnya dan sharing broadcast ilmu fikih dakwah kepada saya. Wow, bagi saya ini sesuatu yang luar biasa. Perasaan saya campur aduk. Saya genggam kuat tangannya, dan berucap terima kasih kepadanya.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi Allah mengejutkan saya pada sebuah peristiwa yang tak disangka-sangka. Bagaimana bisa seorang Ustaz yang begitu disegani banyak orang meminta saya untuk menyimpan nomornya tanpa ada suatu alasan apapun.
Bagaimana bisa seorang alim ulama yang mempunyai banyak jemaah bisa mengenali saya. Bagaimana bisa hamba yang secara terang terangan meninggalkan keberkahan pagi-Mu, Kau beri sentuhan hangat pada jiwa dan hati ini.
Larut pada aktivitas penghambaan masih saja menawarkan rasa ingin tahu yang berlebihan pada akhir kehidupan kita. Bagaimana jika saat ajal menjemput, hanya ada beberapa orang saja yang bersedia datang untuk melakukan fardu kifayah. Atau mungkin pada saat mengembuskan napas terakhir masih sedalam kondisi yang Dia benci. Dia tidak sukai.
ADVERTISEMENT
Parahnya, ketika rasa ingin tahu itu mengarahkan pikiran kita pada prasangka-prasangka menyesatkan. Hal ini mengajarkan pada kita bahwa ibadah tidak serta merta menjadi penghalang untuk kita tidak melakukan hal-hal “seharusnya”. Kadang, ya, tanpa disadari ada kesombongan dari dalam diri setelah melakukan hal baik.
Tentu kepasrahan seorang hamba harus tertuju pada satu Tuhan. Rasa ingin tahu cukuplah kita arahkan pada batas-batas wajar kita sebagai hamba-Nya atau bahkan sebagai manusia. Allah Maha Pengasih, bahkan pada hamba-hamba yang tidak tahu berterima kasih.
Kejutan yang berawal dari rasa ingin tahu mengajarkan banyak sekali peristiwa berharga pada saya. Saya menjadi lebih bijak dalam hidup dan kehidupan ini. Saya teringat pada sebuah hadis, “Yaumuhuu khairunn min amsihi”, hari ini lebih baik dari kemarin. Wallahua’lam...
ADVERTISEMENT