Konten dari Pengguna

Memahami Beauty Filter dan Cara Perempuan Memandang Tubuh

Uswah SahaL
Student of Literary and Cultural Studies Universitas Airlangga
8 November 2022 17:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Uswah SahaL tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika menilik ke belakang, kebiasaan menggunakan beauty filter bukan sesuatu hal yang baru. Berawal dari budaya swafoto (selfie) yang dipopulerkan oleh media sosial facebook dan MySpace pada awal tahun 2000-an. Pada awal mulanya kehadiran beauty filter hanya sebagai gimmick guna menghilangkan rasa bosan, namun saat ini beauty filter justru menjadi aplikasi yang dominan digemari oleh semua kalangan mulai dari anak-anak, remaja hingga orang tua.
Ilustrasi gambar (Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar (Pixabay)
Aplikasi media sosial yang digandrungi seperti Instagram, Tiktok, Snapchat memiliki fitur filter selayaknya makeup yang bisa digunakan untuk mengoreksi penampilan wajah seseorang. Dengan menggunakan beauty filter seseorang yang ingin hidungnya lebih mancung, wajah tirus, menghilangkan bekas jerawat, kulit mulus dan wajah terlihat glowing akan merasa lebih percaya diri dengan cara instan dengan hitungan menit saja.
ADVERTISEMENT
Hingga hari ini pengguna beauty filter kian bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun hal tersebut diketahui berdasarkan penelitian yang dilakukan berdasarkan dampak negative yang ditimbulkan. Karena penggunaan aplikasi beauty filter.
Journal International of Eating Disorder pada tahun 2015 menyebut berdasarkan hasil penelitian remaja yang secara teratur mengunggah selfie yang sudah menggunakan filter tidak memiliki kepercayaan dan kepuasaan diri yang tinggi, harga diri yang lebih rendah dan penurunan tingkat kepuasan hidup. Bahkan dalam jurnal tersebut dijelaskan penggunaan beauty filter secara berlebihan bisa memicu risiko gangguan dismorfik tubuh atau Body Dysmorphic Disorder (BDD) gangguan mental yang ditandai dengan obsesi berlebihan untuk menutupi kekurangan yang menurut anggapan orang lain bisa ditemukan pada tubuhnya, padahal sebenarnya perasaan insecure muncul dari perasaaanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Sementara hasil survey tahunan American Academy of Facial Plastic and Recontruktive Surgery tahun 2017 menyebut bahwa 55% dokter bedah kosmetik mendapatkan pasien yang ingin menjalani operasi kecantikan agar wajah aslinya sama dengan hasil selfie yang mereka edit sendiri dengan beauty filter. Fenomena ini disebut oleh psikologis Snapchat dysmorphia.
Snapchat dysmorphia bisa diartikan ketika seseorang menggunakan beauty filter, ia akan merasa senang karena hasil selfie mampu mendekati standar kecantikan ideal sesuai konstruksi masyarakat. Rasa senang tersebut akan diperkuat ketika selfie yang diunggah di media sosial mendapatkan apresiasi berupa pujian. Rasa senang inilah yang merupakan bentuk reward positif yang membuat ia ingin kembali menggunakan beauty filter.
Kejadian ini barangkali sering dialami oleh kebanyakan orang, salah satunya diri saya sendiri. ketika berfoto dengan teman-teman yang banyak memilih foto menggunakan filter Instagram karena akan menutup wajah yang kusam dan terlihat lebih segar tentu itu akan meningkatkan kepercayaan diri ketika diunggah di media sosial.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya yang perlu dipahami adalah cara menyikapi seseorang terhadap beauty filter sangat subyektif berdasarkan kondisi psikologis dan bawaan masing-masing. Hemat saya, seseorang yang menggunakan beauty filter secara terus menerus didasari oleh body image negative dan rasa percaya diri yang kurang baik. Seseorang merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri kalau hasil selfie tidak memenuhi standar kecantikan ideal yang berlaku di masyarakat.
Hal yang dikhawatirkan adalah ketika seseorang menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengedit foto dengan beauty filter akan menimbulkan ketergantungan dan menghalangi dirinya menjadi diri sendiri (be yourself).