Konten dari Pengguna

Adakah Perdamaian di Tanah Kanaan?

Umar wiranegara
Mahasiswa komunikasi UB
8 Oktober 2024 9:27 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Umar wiranegara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi harapan damai Palestina-Israel, By : Umar Wiranegara
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi harapan damai Palestina-Israel, By : Umar Wiranegara
ADVERTISEMENT
Tanah Kanaan, yang kini dikenal sebagai Israel, Palestina, Jordania, Lebanon dan sekitarnya, telah menjadi pusat konflik yang berkepanjangan, penuh dengan ketegangan militer dan politik. Sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948, wilayah ini telah menjadi saksi dari perebutan tanah, pengusiran paksa, dan penindasan, terutama terhadap rakyat Palestina. Bahkan setelah Hamas kelompok paramiliter pada Oktober 2023 lalu berani menerobos wilayah Israel dengan cara yang tak terduga. Tentu hal ini membuat masalah Israel dan memantik eksalasi pertikaian yang semakin besar di tanah Kanaan, tanah yang di dalamnya ada tempat suci dari 3 agama samawi. Keberanian dari masing masing pihak dan semakin cengkarutnya politik global membuat banyak negara mengkhawatirkan terjadinya perang dunia 3 yang berpotensi menyeret banyak negara terlibat. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah masih ada harapan untuk perdamaian di Tanah Kanaan?
ADVERTISEMENT

Sejarah Konflik Palestina-Israel

Sejarah konflik di Tanah Kanaan merupakan cerminan dari akar-akar kolonialisme, nasionalisme, dan ketegangan agama. Pada tahun 1948, deklarasi berdirinya negara Israel diikuti dengan perang yang menyebabkan pengusiran massal orang-orang Palestina, yang dikenal sebagai Nakba. Konflik terus memuncak, terutama pada Perang Enam Hari 1967, di mana Israel menduduki Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur. Pendudukan ini dianggap ilegal oleh hukum internasional, dan meski ada resolusi PBB yang menyerukan penghentian pendudukan, Israel terus memperluas permukiman ilegal di wilayah ini.
Pemukiman ini menjadi salah satu sumber utama ketegangan, di mana tanah Palestina secara sistematis dirampas untuk pembangunan pemukiman Yahudi. Para penduduk Palestina di Tepi Barat dan Gaza hidup di bawah kontrol militer yang ketat, menghadapi blokade, pengusiran paksa, dan kekerasan yang terus-menerus. Di sisi lain, serangan dari kelompok-kelompok militan Palestina seperti Hamas terhadap wilayah Israel telah menambah lingkaran kekerasan, yang sering kali dibalas dengan serangan militer besar-besaran oleh Israel.
ADVERTISEMENT

Hamas dan Fatah: Pejuang atau Teroris?

Dari perspektif rakyat Palestina, Hamas dan Fatah adalah dua faksi utama yang memperjuangkan hak mereka atas tanah yang diduduki Israel. Hamas, yang menguasai Gaza, dikenal sebagai kelompok militan yang sering terlibat dalam konflik bersenjata dengan Israel, sementara Fatah, yang memimpin Otoritas Palestina di Tepi Barat, mengambil pendekatan yang lebih moderat dalam mencari solusi politik.
Namun, perdebatan muncul mengenai bagaimana perjuangan ini dipandang oleh komunitas internasional. Israel, yang secara militer jauh lebih kuat dan didukung oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan sekutunya di Eropah sering menggolongkan Hamas sebagai kelompok teroris karena keberaniannya menyerang terhadap fasilitas sipil Israel. Di sisi lain, banyak pihak melihat Hamas sebagai bagian dari gerakan perlawanan yang sah terhadap pendudukan Israel yang melanggar hukum internasional. Dalam konteks ini, definisi “pejuang” dan “teroris” sangat bergantung pada perspektif politik dan etis.
ADVERTISEMENT

Fakta Pelanggaran Hak Asasi: Siapa yang Lebih Bersalah?

Jika ditelusuri dari data-data pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan oleh berbagai organisasi internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, Israel lebih sering dinyatakan melakukan kejahatan yang lebih besar. Pendudukan Israel di wilayah Palestina melanggar berbagai resolusi PBB dan Konvensi Jenewa. Israel telah melakukan pembunuhan warga sipil dalam serangan militernya, membangun permukiman ilegal di Tepi Barat, dan memblokade Gaza, yang menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah.
Namun, ini tidak berarti bahwa Hamas sepenuhnya bebas dari pelanggaran walau dalam rangka perjuangan untuk merdeka. Peluncuran roket ke wilayah Israel yang kadang menargetkan warga sipil juga dianggap sebagai pelanggaran hukum perang. Meskipun jumlah korban dari sisi Palestina jauh lebih banyak, kedua belah pihak dinyatakan telah melakukan kekerasan yang mengakibatkan kematian warga sipil.
ADVERTISEMENT

Blokade Gaza: Penjara Terbuka

Gaza, yang sering digambarkan sebagai “penjara terbuka,” mengalami blokade total oleh Israel sejak 2007, yang membuat kehidupan di wilayah tersebut sangat sulit. Blokade ini, yang melibatkan pemutusan suplai makanan, obat-obatan, dan bahan bakar, telah menempatkan dua juta orang Palestina dalam situasi yang mengenaskan. Krisis ekonomi yang parah, ditambah dengan serangan militer yang terus berulang, membuat Gaza tidak memiliki prospek untuk berkembang.
Blokade ini merupakan salah satu faktor utama yang memicu kebencian dan perlawanan dari rakyat Palestina. Ketika seluruh wilayah terisolasi dan diblokade, tidak mengherankan jika Gaza menjadi tempat subur munculnya militansi, yang oleh barat distigma dengan “radikal”. Sangat wajar, mereka adalah orang-orang yang putus asa lalu mencari jalan keluar melalui perlawanan bersenjata.
ADVERTISEMENT

Solusi Dua Negara: Harapan atau Ilusi?

Solusi dua negara (two-state solution), yang telah lama dipandang sebagai jalan keluar paling adil untuk menyelesaikan konflik ini, kini terlihat semakin jauh dari kenyataan. Meski komunitas internasional, termasuk PBB dan Uni Eropa, terus mendorong solusi ini, kebijakan permukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur membuat solusi dua negara hampir mustahil tercapai.
Israel, di bawah pemerintahan yang semakin konservatif, tampaknya tidak berniat untuk menghentikan ekspansi permukiman. Sebaliknya, mereka terus mendorong kebijakan aneksasi de facto atas wilayah Palestina. Tanpa tanah yang cukup untuk membentuk negara Palestina yang berdaulat, solusi dua negara menjadi sekadar ilusi.

Peran Negara-Negara Arab: Dilema Dukungan

Di satu sisi, negara-negara Arab secara historis mendukung Palestina dalam perjuangan mereka. Namun, belakangan ini, banyak negara Arab mulai menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, seperti yang terjadi melalui Abraham Accords yang difasilitasi oleh Amerika Serikat. Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Maroko adalah beberapa negara yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel, yang dipandang sebagai pengkhianatan oleh rakyat Palestina.
ADVERTISEMENT
Negara-negara ini menghadapi dilema antara kepentingan geopolitik dan ekonomi dengan solidaritas terhadap Palestina. Di satu sisi, mereka membutuhkan aliansi strategis dengan Israel dan Amerika Serikat untuk menjaga stabilitas regional dan melawan pengaruh Iran. Di sisi lain, mereka tidak bisa sepenuhnya mengabaikan nasib rakyat Palestina yang masih hidup di bawah pendudukan.

Tantangan dalam Upaya Perdamaian: Siklus Kekerasan yang Berulang

Siklus kekerasan yang berulang menjadi salah satu tantangan terbesar dalam mencapai perdamaian di Tanah Kanaan. Setiap kali ada eskalasi militer, seperti serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan respons militer besar-besaran dari Israel, harapan untuk gencatan senjata dan negosiasi damai semakin pudar. Dalam konteks ini, sulit membayangkan bagaimana perdamaian dapat dicapai ketika kedua belah pihak terjebak dalam siklus balas dendam.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perubahan geopolitik di Timur Tengah, seperti keterlibatan Iran dalam mendukung kelompok militan seperti Hamas dan Hezbollah, semakin memperumit konflik ini. Israel, yang merasa terancam oleh pengaruh Iran di kawasan tersebut, terus memperkuat aliansi dengan negara-negara Arab yang berseberangan dengan Iran. Bahkan beberapa minggu lalu mulai membabi buta berani membunuh presiden Iran, pemimpin Hisbullah dan terakhir meledakkan perangkat komunikasi pager dan handy talky yang membunuh puluhan orang dan melukai lebih dari 2000 orang. Sungguh semakin membuat miris penduduk dunia akan kekhawatiran pecah perang yang semakin melebar, perang dunia ketiga.

Peran Organisasi Internasional: Apakah Cukup Efektif?

PBB dan berbagai organisasi internasional telah berulang kali mengeluarkan resolusi yang mengecam pendudukan Israel dan menyerukan pembentukan negara Palestina. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tekanan dari organisasi-organisasi ini sering kali tidak cukup untuk memaksa Israel mengubah kebijakan pendudukannya. Meskipun ada beberapa langkah positif seperti pengakuan simbolis Palestina di PBB sebagai negara pengamat non-anggota, hal ini belum membawa perubahan signifikan di lapangan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Dewan Keamanan PBB sering kali terhambat oleh hak veto dari anggota tetap seperti Amerika Serikat, yang secara konsisten mendukung Israel. Ini menunjukkan bahwa tanpa dukungan penuh dari kekuatan global, upaya untuk mencapai perdamaian di Tanah Kanaan akan terus terhambat.

Apakah Masih Ada Harapan Perdamaian?

Pertanyaan besar ini tidak memiliki jawaban yang mudah. Di satu sisi, upaya diplomatik terus berlanjut, dan ada beberapa negara serta kelompok yang berkomitmen untuk mencari solusi damai. Namun, di sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kekerasan, pendudukan, dan kebencian semakin mengakar di kedua belah pihak.
Untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan, diperlukan langkah-langkah yang lebih berani dari komunitas internasional untuk menekan Israel agar menghentikan pendudukannya dan mengakui hak-hak rakyat Palestina. Selain itu, rekonsiliasi di antara faksi-faksi Palestina juga perlu dikuatkan lagi agar mereka bisa bersatu dalam memperjuangkan kemerdekaan melalui jalur politik.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, perdamaian di Tanah Kanaan hanya bisa tercapai jika ada pengakuan akan hak-hak dasar setiap manusia untuk hidup dengan damai, bebas dari pendudukan dan kekerasan. Meski jalan menuju perdamaian tampak gelap, harapan itu masih ada, selama ada tekad untuk menghentikan siklus kekerasan dan membangun masa depan yang lebih adil bagi semua pihak.