Mungkinkah Laki-laki Berbagi Ruang Publik dengan Perempuan?

Wahyu Tanoto
Pembelajar, penyuka jadah goreng dan kopi hitam pahit. Tergabung di Perkumpulan Mitra Wacana Yogyakarta.
Konten dari Pengguna
19 Juli 2022 16:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Tanoto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: https://pixabay.com/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: https://pixabay.com/
ADVERTISEMENT
Perempuan dan laki-laki hakikatnya sederajat. Tetapi, akibat munculnya pandangan yang menyebut bahwa laki-laki sebagai pemegang mandat kekuasaan telah berakibat pada keinginan menguasai seluruh aspek kehidupan. Termasuk, tidak bersedia berbagi ruang dengan perempuan. Hal ini terjadi karena selama ini laki-laki menikmati keuntungan (deviden). Tidak mengherankan kerap terjadi kekerasan berbasis gender.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada 2 keuntungan yang akan dinikmati dalam masyarakat patriarki, yaitu: Pertama, privilese. Laki-laki mendapatkan perlakuan istimewa sejak sebelum dilahirkan. Kedua, kekuasaan. Laki-laki memiliki kewenangan untuk mengakses berbagai sumber daya, mempengaruhi dan bertindak dalam proses-proses pengambilan keputusan.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2019 juga menyebutkan, faktanya dari 575 Anggota DPR RI terpilih hasil pemilu tahun 2019, 79,48% atau 455 diantaranya adalah laki-laki. Sisanya 120 atau 20, 8% adalah perempuan. Keterlibatan perempuan yang menjabat sebagai menteri juga demikian. Dari 34 Menteri Kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin hanya ada 6 perempuan, 28 lainnya adalah laki-laki.
Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2020, proporsi perempuan yang menempati posisi manajerial pada tahun 2020 hanya 33, 08%. Sedangkan selebihnya sebanyak 66, 02 persen ditempati laki-laki. Hal tersebut selaras dengan data Global Gender Gap Report tahun 2021 yang menyebutkan bahwa posisi perempuan hanya 27 persen pada level manajerial, 8% pada posisi CEO dan hanya 26% pada posisi Board of Directors.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan situasi di atas, penulis meyakini akan ada konsekuensi dari privilese dan kekuasaan yang didapatkan oleh laki-laki, seperti: memonopoli ruang publik (termasuk politik, sosial dan ekonomi). Laki-laki juga semakin "menggila" mengendalikan akses dan kontrol pada berbagai sumberdaya. Penulis khawatir jika hal ini dibiarkan maka akan terjadi pemakluman di kemudian hari ketika laki-laki menjadi pelaku kekerasan.
Sebaliknya, akan dianggap aneh jika perempuan memiliki keinginan terlibat dalam berbagai proses pengambilan keputusan. Dalam bayangan penulis, agaknya kondisi seperti ini masih terjadi. Tidak mengherankan jika pada akhirnya ada sebagian kalangan laki-laki bersama perempuan tergabung dalam gerakan “merebut” akses sumberdaya yang menuntut laki-laki agar berbagi ruang publik dengan perempuan.
Dominasi laki-laki yang terjadi di berbagai ranah, akan melahirkan konsekuensi dalam proses kehidupan sosial. Misalnya, kepentingan laki-laki yang berhubungan dengan produksi menjadi prioritas. Sedangkan kepentingan dan isu perempuan yang berkaitan dengan reproduksi atau pengelolaan kehidupan diabaikan.
ADVERTISEMENT
Munculnya semboyan “laki-laki sudah terlalu lama menikmati privilese dan kekuasaan” yang dewasa ini semakin menggejala di berbagai ruang publik bukanlah tanpa alasan. Kekuasaan dan privilese laki-laki telah menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan. Oleh karenanya, tuntutan agar laki-laki berhenti memonopoli ruang publik dan harus memulai berbagi peran dengan perempuan merupakan sebagai tanggung jawab etis laki-laki. Demikian juga di ranah politik, laki-laki memiliki tanggung jawab untuk memastikan representasi perempuan di parlemen.
Berbagi ruang dengan perempuan mestinya menjadi spirit gerakan yang disuarakan terus menerus. Ada beberapa lokus yang bisa dijadikan acuan untuk memulai. Pertama, di ranah individu. Laki-laki bisa memulai dengan dirinya sendiri dengan mengubah keyakinan akan nilai maskulinitas yang justru menjadi penyebab laki-laki rentan menjadi korban kekerasan. Misalnya dalam asumsi stereotip, laki-laki makhluk kuat, jantan dan gagah. Namun dalam praktiknya tidak semua laki-laki bisa memenuhi tuntutan ini.
ADVERTISEMENT
Meyakini bahwa setiap jenis kelamin tidak boleh menghalangi terhadap akses, kontrol, partisipasi dan manfaat sumber daya juga perlu dipahami oleh laki-laki. Karena, ruang domestik dan publik merupakan ruang bersama yang "haram" dimonopoli oleh satu jenis kelamin.
Kedua, sebagai pasangan. Berbagi peran dan tanggung jawab bisa dimulai dari ranah domestik. Jika ada kebiasaan turun temurun yang menyebut laki-laki harus dilayani maka harus mulai mengubahnya menggunakan pendekatan prinsip kesalingan, yaitu saling melayani satu sama lain. Dengan begitu, akan melahirkan nilai menghargai terhadap setiap peran.
Laki-laki, juga perlu mendukung pasangan untuk mengambil peran di ranah publik agar memiliki kesempatan mengeksplorasi pengetahuan dan kemampuannya. Jika proses ini dilakukan, maka stigma terhadap laki-laki harus “selalu” tampil dihadapan publik akan meredup yang pada akhirnya peran publik merupakan hak setiap individu. Sebagai pasangan, baik laki-laki maupun perempuan perlu mengapresiasi (memberi nilai) positif terhadap segala bentuk perubahan yang mengarah pada pembagian peran.
ADVERTISEMENT
Ketiga, sebagai agen perubahan sosial. Keterlibatan laki-laki dalam upaya menghilangkan norma-norma sosial yang merugikan dan menghalangi perempuan di ranah publik hendaknya menjadi gerakan massif. Termasuk mempromosikan kepemimpinan perempuan di berbagai tingkatan. Tidak kalah penting, laki-laki perlu mendorong dan mendukung hadirnya kebijakan program yang inklusif dan mewujudkan iklim kerja yang aman, nyaman bagi semua.
Sebagai catatan penutup, penulis ingin menggaris bawahi satu hal bahwa pembedaan jenis kelamin akan berdampak luas karena merugikan banyak pihak, terutama perempuan. Deviden yang selama ini dinikmati oleh laki-laki yang berimbas pada masih minimnya keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan membuat ruang publik dimonopoli. Semoga.